JANJI

29 10 1
                                    

Koridor masih sepi, Helena mempercepat langkahnya menuju kelas Anjas. Beruntung chatnya langsung dibaca sehingga pagi-pagi benar mereka bisa janjian bertemu.

"Njas!" Helena menemukan cowok itu sedang menatap layar ponselnya.

"Hai! Baru aja mau hubungin, lo." Anjas memasukkan benda pipih itu di saku celananya.

"Kita ngomong di perpustakaan, aja!" ajak Anjas, di sana mereka bisa bicara dengan tenang.

"Gue sempet bingung mau minta tolong sama siapa lagi," ujar Helena membuka obrolan sesaat setelah mereka duduk berhadapan di meja paling pojok.

"Lo mau minta tolong soal apa, sih? Jujur, gue harusnya nggak nurutin lo buat ketemuan di sini. Tapi feeling gue ini masalah serius." Anjas benar, mereka tidak akrab. Hanya saling mengenal nama dan kelas berapa. Namun Helena terpaksa harus lakuin ini demi Dania.

Semua Helena ceritakan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dania harus dibantu meskipun dia hanya diam dan berlagak baik-baik saja.

"Gue nggak nyangka masalah sahabat, lo sebesar itu. Dan, dia naksir gue." Anjas menghela napas panjang. Seharusnya Anjas menembak Dania sejak lama. Tapi dia terlalu pengecut untuk bicara. Dania terlalu tinggi baginya. Kekayaan dan siapa ayahnya, membuat Anjas menyimpan rasanya.

"Gue minta tolong, dekati Dania. Perasaannya tulus banget sama lo. Gue harap dengan begini fokusnya untuk mencari Bunda akan teralihkan untuk sementara waktu, hingga kita selesai ujian," papar Helena dengan detail.

Obrolan selanjutnya tentang rencana pertemuan di taman dan satu tempat favorit Dania. Coffee shop.

Pertemuan di taman waktu itu berjalan lancar tanpa kendala. Sepertinya Anjas juga sepenuh hati menjalankan perannya. Aktingnya alami sekali, atau mungkin sebenarnya Anjas juga menaruh hati ke Dania. Helena senyum-senyum sendiri membayangkan hal itu.

Helena harus melakukan ini. Nanti di saat semua sudah membaik keadaannya, dia akan meminta maaf atas semua rencana yang dibuatnya. Helena ingin Dania meraih nilai bagus lagi. Itu kunci untuk memperoleh kelonggaran selanjutnya dari Om Bara.

***

Bara menepati janjinya pada Dania. Anto dan Edi tidak difokuskan mengawasi Dania lagi. Mereka bisa bergantian menjaga Dania setelah sebelumnya mereka harus berdua mengikuti putri semata wayang Pak Bara.

Ulangan kimia mendadak diumumkan, hampir semua murid kelabakan, tak terkecuali Dania. Namun usahanya berlatih dan menghafal rumus-rumus kimia semalam, rasanya cukup untuk menghadapi ulangan pagi ini.

"Na, gue nggak salah lihat, kan?" Dania menatap tak percaya kertas ulangan Kimia yang dipegangnya. Angka delapan puluh tertulis dengan ukuran besar di pojok kanan atas.

Helena memandang sahabatnya dengan senyum tak kalah semringah. "Iya, gue lihat. Tapi belum ada apa-apanya sama ini." Helena menyodorkan kertas ulangan lain.

Mata Dania membulat, dia belum bisa mengalahkan Helena. Lihat saja nilainya 97, nyaris sempurna. Dania cemberut, kertas miliknya ditaruh begitu saja di meja.

"Lo memang nggak bisa dikalahin, Na," gumam Dania lirih.

"Nia, angka delapan bukannya udah rekor, ya buat lo? Dengan angka itu kamu bisa tukar dengan kelonggaran dari Om Bara."

Dania terperangah, senyumnya terbit lagi. Helena benar, dengan naiknya prestasi di sekolah, kemungkinan besar akan lebih mudah membujuk Ayah. Kalau belum berhasil juga, rencana awalnya akan tetap dilakukan.

***

Dania meminta Pak Anto menunggu di mobil. Dia membebaskan Pak Anto untuk pergi dulu, mungkin jalan-jalan. Daripada bosan menunggu di sana. Hari ini Dania diminta Anjas bertemu di sebuah cofee shop yang ditunjukkan alamatnyanoleh Anjas.

Aroma petrichor menguar begitu kaki memasuki pintu depan kafe. Dania ingat kafe favoritnya dulu. Entah, masih adakah sekarang? Bunda sering mengajaknya saat weekend sekadar mencicipi tiramisu kesukaannya.

Tak berhenti Dania terpukau dengan dekorasi kafe ini. Tidak begitu besar, hanya satu lantai, tapi tampak luas dengan meja kursi yang tidak begitu banyak. Mereka menyediakan pula bagian untuk pelanggan yang ingin lesehan.

Sebuah saung ditata paling ujung dekat taman super mini, kira-kira bisa muat empat sampai enam orang. Ada audio suara gemericik air dan musik yang menenangkan hati pula di sini. Tak sadar Dania sampai terhenti di posisinya, saking mengagumi tempat itu.

Ini langkah berani pengelola kafe, biasanya dekorasi kafe akan banyak tempat duduk, sofa yang ditata sedemikian rupa. Bahkan dari aroma ruangannya hampir sama. Tapi di sini aromanya beda, alami dan hanya sesekali wangi kopi dan kue menyapa penciumannya. Satu kata kafe rekomendasi dari Anjas ini, KEREN!

"Masih mau berdiri di sini?" sapa Anjas tiba-tiba.

"Oh ... hai! Maaf, gue ... ah, sorry ... aku nggak tahu kamu datang," respon Dania gugup. Dia kaget sekaligus terpana dengan penampilan Anjas yang berbeda. Sederhana tapi pas, tidak berlebihan.

Anjas memilih tempat duduk sebelah saung. Bagian itu sangat strategis, tidak banyak dilalui orang, dan dekat jendela. Mereka bisa melihat pemandangan luar.

"Aku mau ngucapin terima kasih pas kamu bantuin aku waktu itu."

Kening Anjas berkerut, berpikir sejenak lalu menemukan apa yang dicarinya.
"Aah ... tragedi kena sambel baso." Anjas menahan tawanya meskipun masih tampak jelas bagi Dania.

"Seneng banget sih, ngelihat orang menderita," sungut Dania. Dia malu kalau ingat peristiwa itu.

"Maaf, aku nggak bermaksud ngetawain kamu. Jujur aku panik juga waktu itu, makanya aku main seret kamu aja."

Dania mengiyakan penyeretannya. Tetapi dia tidak keberatan kalau harus diulang kembali ke peristiwa itu. Awal obrolan mencairkan suasana kaku di antara mereka. Semua berjalan dan mengalir begitu saja. Tiramisu di situ tidak kalah enak dengan tiramisu di tempat favoritnya. Hhh, rindu itu makin menggebu.

***

OUR MEMORIES ( TAMAT )Where stories live. Discover now