| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING

Start from the beginning
                                    

"Sayang ada ap—" ucapan Septian terpotong ketika melihat calon mantan istrinya itu datang ke rumah. Iya, calon mantan istri, mereka belum resmi bercerai karena belum ada ketukan palu pengadilan. Meskipun begitu, mereka sudah pisah rumah.

"Kamu bilang apa aja ke Moa sampai Moa benci sama aku? Ha?! Kamu kan yang mencuci otak Moa sampai dia jadi benci sama aku."

"Udah, Ma! Cukup!" Moa berlari menuju kamarnya yang ada di lantai dua, meninggalkan kedua orang tuanya.

Di lantai bawah, Septian mengembuskan napas panjang. "Sebaiknya kamu pergi dari sini." Septian menatap datar wajah perempuan di depannya.

Septian naik ke lantai dua di mana kamar Moa berada. Ia beberapa kali mengetuk pintu kamar tersebut, namun tidak dibuka.

"Moa sayang, buka pintunya, Nak. Papa mau bicara sama Moa," ujar Septian lembut.

Moa bangkit dari bibir kasur kemudian membuka pintu kamar. Ia berjalan menuju sudut kamar, Septian masuk. Saat ini Moa sedang menangis.

Septian mengelus puncak kepala Moa. Hatinya begitu teriris ketika mendengar suara isak tangis putri tunggalnya itu. "Maafin, Papa."

Septian menangis. Ia merasa gagal. "Papa sudah ngomong baik-baik sama Mama, tapi Mama nggak mau dengerin Papa," ujar Septian.

Septian sudah berusaha mempertahankan rumah tangganya, sebagai seorang laki-laki, ia juga sudah menekan egonya. Namun, istrinya itu tetap menuntut cerai darinya. Sebelum ini terjadi, kedua orang tua Moa sudah sering bertengkar hingga membuat Moa tidak betah berada lama-lama di rumah.

Hampir bertahun-tahun Moa tinggal dalam keluarga yang kurang harmonis. Suara teriakan, makian, sudah menjadi makanan harian bagi Moa Jatraji. Tak ayal jika sifat Moa seperti jelmaan iblis, ia bahkan sampai mendapatkan julukan devil lantaran sifat dan omongannya yang kasar. Tanpa sadar, orang tuanya ketika di rumah saja selalu mengajarinya seperti itu.

Katanya, anak tunggal itu selalu mendapatkan apa yang ia mau. Memang benar, apa saja yang Moa inginkan pasti terkabul, kecuali kasih sayang dari teman serta kedua orang tuanya. Mama dan Papanya terlalu egois. Papanya dengan sifat yang tidak mau kalah dan Mamanya tak mau disalahkan. Alhasil setiap hari cek-cok.

Moa memeluk Septian dan menangis terisak. "Hiks!"

———

"Selamat pagi!" Cakrawala tersenyum pada cermin di hadapannya. Hari ini ia sudah siap pergi ke sekolah.

Usia melakukan semua rutinitasnya di pagi hari, Cakrawala mengayuh sepeda kuningnya menuju SMA Elang.

Cakrawala masuk ke dalam kelas. Ia berlari dari ambang pintu menuju bangkunya. Moa Jatraji, gadis itu sudah sampai terlebih dulu. Ia mengembuskan napas kesal ketika lagi-lagi melihat Cakrawala.

"Lo ngapain di sini?" tanya Moa.

"Kamu lupa, ya. Tempat dudukku kan memang di sini, di sebelah kamu." Cakrawala melepas ransel lalu mencantolkannya ke punggung kursi. Setelah itu ia duduk.

Di depannya saat ini, Nadin diam-diam memperhatikan. Semenjak insiden Cakrawala diikat di pohon beberapa waktu lalu, hubungan Moa dan Nadin tidak kunjung membaik. Mereka bahkan sama sekali tidak mengobrol satu sama lain. Mereka bertengkar bukan karena Cakrawala. Tapi karena Moa sudah muak dengan sifat Nadin yang memperlakukannya seperti tisu, habis manis, sepah dibuang. Moa benci!

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now