| CHAPTER 18 | MELUKIS

Start from the beginning
                                    

"Ngapain tanya-tanya?"

"Karena ke mana pun kamu pergi, aku ikut."

Moa berhenti melangkah, kemudian menoleh. Di depannya saat ini, Cakrawala berdiri menjulang, cowok itu tersenyum kepadanya. Lagi-lagi tersenyum. Cakrawala seperti tidak ada beban, hampir setiap saat ia selalu tersenyum. Apa tidak capek?

"Gue mau ngambil kanvas, belum diambil kan?" tanyanya.

Bohong, sebenarnya Moa pergi karena ia salah tingkah. Entah mengapa berada di dekat Cakrawala menjadi semenyenangkan ini. Menyenangkan hingga membuat jantungnya serasa hampir meledak.

"Iya, sih. Tapi nggak usah."

"Kenapa?"

"Biar aku aja yang ngambil. Soalnya gede, berat. Aku kan cowok, udah jadi  tugasnya cowok buat ngangkat yang berat-berat. Sekalian latihan buat jadi suami idaman, hehe..." Cakrawala tertawa kecil.

Cakrawala berjalan mendahului Moa untuk mengambil kanvas yang berada di sudut ruangan.

"Lo gombalin gue sekali lagi, gue habisin!"

Cakrawala menoleh. "Siapa yang gombalin kamu? Aku kan cuma bilang latihan jadi suami idaman, bukan latihan jadi suami kamu."

Dug!

"Aduh!"

Cakrawala memegangi keningnya yang baru saja terkena lemparan gulungan tisu dari Moa.

"Moa tisunya jangan dilempar sembarangan, kalo rusak, kamu yang harus ganti. Aku kan nggak punya uang."

"Kesalahan terbesar gue adalah menanyakan kenapa lo diem."

Cakrawala tertawa. Sementara Moa memberengut kesal. Bibir Moa sampai maju beberapa senti. Cakrawala gemas, ia mengacak-acak rambut Moa.

Cakrawala mengangkat kanvas yang berukuran lumayan lebar itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang keranjang berisi alat-alat lukis lainnya. Ia tampak kerepotan.

Moa? Gadis itu tidak membawa barang-barang sama sekali. Kedua tangannya kosong.

Cakrawala membawa barang belanjaannya ke kasir dan Pak Mamat yang notabene si pemilik toko mulai menghitung total belanjaan Cakrawala.

"Buat Maratungga, ya?" tanya Pak Mamat.

Cakrawala mengangguk. "Iya, Pak." Ia kemudian tersenyum.

Cakrawala sudah sering ke tokonya Pak Mamat untuk membeli perlengkapan melukis. Dulu sebelum Maratungga sakit, biasanya Maratungga sendiri yang datang untuk membeli semua perlengkapan melukis. Maratungga sudah menjadi pelanggan tetap Pak Mamat sejak ia masih duduk di bangku SMP.

"Salam buat Maratungga ya, Cak."

Cakrawala mengangguk. "Iya, Pak. Makasih."

Moa mengeluarkan dompet untuk membayar semua belanjaan Cakrawala.

"Eh, sebentar."

Cakrawala berhenti, kemudian menoleh. Pak Mamat mengangsurkan kresek hitam pada Cakrawala.

"Ini buat kamu sama kakak kamu, dimakan, ya."

"Tapi pak—"

"Udah, dibawa aja."

Cakrawala mengambil kresek hitam itu. "Makasih, Pak."

"Habis dari sini langsung pulang, ya, Cak. Jangan mampir kemana-mana, biar nggak dimarahin Ayah," ujar Pak Mamat. Mengingatkan.

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now