Semesta Lembut

Tekukur

Burung nuri bunyinya seperti apa Nin?

Apakah berbunyi ciap ciap ciap?

Burung tekukur, oh, aku suka sekali bunyinya! Kalau ini aku sering dengar di pagi hari. 

Bunyinya tikukur tikukur!

Aku juga pernah lihat burung tekukur makan anggur milik Ibu Lila. Pohon anggurnya merambat panjang-panjang melilit ke batang besi penuh karat. Burung tekukur sering bertengger di atasnya.

Kalau ketahuan Bu Lila bisa dimarahi! Sapu nyere dikibas-kibaskan ke udara. Burung-burung akan langsung terbang tinggi menjulang ke langit.

Tikukur tikukur!

Pernah satu kali Bu Lila mendapati aku mengintip dari pagar pekarangannya. 

"Tutu mau anggur?"

Tanpa menjawab apa pun aku berlari kembali ke rumah Nin. Aku tidak mau anggurnya Bu Lila. Cuma mau memperhatikan burung supaya mahir menirukan suaranya. 

Dari dalam rumah aku kembali memperhatikan burung tekukur lewat jendela. Aku suka yang warnanya abu-abu.

Aku juga memperhatikan Bu Lila kembali masuk ke dalam. Tidak lama kemudian keluar membawa penggebuk kasur dari rotan. Dikibas-kibaskan ke arah burung di pohon anggur. Semuanya berterbangan ke segala arah. Bulu-bulu ikut berhamburan di atas kepala Bu Lila. 

Bu Lila baik, aku boleh memanjat pohon mangganya. Tapi kalau ada burung yang mengganggu anggur-anggurnya, Bu Lila marah. Kata Nin itu pohon anggur kesayang Pak Deden, suami Bu Lila. Aku belum pernah melihat pak Deden. 

Di rumah Nin juga ada burung-burung. Hanya saja bukan tekukur abu-abu. Burung di rumah Nin tidak bisa terbang, menempel di tirai. Bulunya berwarna putih dengan kaki-kaki panjang. Kalau kuhitung kira-kira ada 13. Belum termasuk yang ada di ujung-ujung tirai.

 Aku bingung menghitungnya, habis yang di ujung tirai cuma setengah badan. Jadi kuhitung saja kakinya. Kemarin aku bilang ke Nini kalau di tirai ada 42 kaki burung. Nin tidak percaya, dahinya mengkerut. Seharian itu aku mencoba menghitung ulang. 

1,2,3,4,5...

20,21,22,23..

Tadi berhitung sampai mana ya?