Kawanan

1K 108 34
                                    


Selain ikut Ibu ke pasar, aku suka menemani teteh mencuci baju. Teteh biasanya datang ke rumah di hari Sabtu dan Minggu. Beres-beres, mengepel, menyapu, memasak, banyak. Tempat cuci letaknya di lantai atas. Harus lewat tangga berputar yang sempit dulu. Kata Ibu aku boleh ikut teteh mencuci. Tapi tidak boleh mengganggu. Apalagi main air. Yah! Teteh mencuci baju-bajuku, baju Ibu, Bapa, juga baju Della. Digosok-gosok sampai berbusa, wangi! Diperas lalu dijemur. Baju yang dijemur dekat jendela paling sering digelitik angin. Bergerak ke kanan-kiri, semerbak harum kembang gula mengambang di udara. 

Di tempat cuci  ada jendela besar tanpa kaca, hanya ditutup kawat berkarat. Angin masuk tanpa permisi. Kadang sepoi-sepoi, kadang kencang sekali. Sampai rambutku berkibar-kibar, kusut. Di sini aku bisa lihat atap rumah-rumah di kejauhan. Bisa lihat pohon mangga dan tupai. Bisa lihat burung pulang ke sarang. Burung yang kulihat terbang di udara bunyinya kaok kaok kaok. Berbaris rapi menembus langit jingga. Menembus kepulan asap dapur yang menyembul di langit luas. Aku juga ingin bisa terbang! Menyapa semua orang dari atas. Tidak perlu bersepeda untuk cari pletekan. Mau cari ujung langit!

Dari atas sini aku juga bisa lihat rumah kawan-kawanku. Rumah Nadya tepat di sebelah kanan rumahku. Teras rumahku dan Nadya hanya dibatasi tembok bata setinggi dada orang dewasa. Kami sering berjinjit dan bertanya soal menu sarapan hari ini. Enak mana, sarapan kue cucur atau telur mata sapi? Mana yang lebih menyenangkan? Minum teh susu kental manis atau jus jambu dingin? ah, aku sih suka semuanya.

Nadya punya mata yang sama belonya seperti aku. Hanya saja, rambutnya ikal dan lebih halus. Nadya paling suka sarapan telur mata sapi. Dimasak setengah matang, ditaburi garam. Ajakan Nadya selalu mengasyikan! Melihat kepompong berubah menjadi kupu-kupu, berkeliling komplek mencari biji pohon saga, atau berlarian di lapangan melihat anak-anak lain menerbangkan layangan. lalu pulangnya banyak bunga rumput yang nyangkut di celana. Duh!

Ada juga Lidya. Rumahnya persis di depan rumahku. Catnya putih gading  sampai ke pagar rumah. Aku bisa mencium pekat kembang kering dan dupa yang dibakar setiap pagi oleh Mama Lidya. Aromanya menempel ke rambut, lengan, dan baju Lidya. Aku tidak suka baunya. Tidak manis seperti wangi kembang biasanya. Kalau main ke rumah Lidya aku pasti tahan nafas. Tutup hidung juga. Tapi kemudian dimarahi Bapa, tidak sopan katanya. 

Kalau rumah Pipi ada di samping rumah Nadya. Rumah kami bertiga berjajar berdempetan. Tapi tidak sesak. Pipi punya kaka, biasa dipanggil Mba Tia. Umur Mba Tia jauh dengan kami. Mba Tia sudah pandai baca tulis, pandai menggambar, kami belum. Pipi punya rambut ikal kecoklatan. Biasanya dikuncir tinggi. Kalau lari rambutnya ikut terlempar-lempar seperti per. Mau disisir berulang kali juga tetap ikal. Aku juga mau punya rambut seperti itu!

Waktu itu Pipi pernah membawa kotak kardus kecil ke rumahku. Isinya kumpulan bungkus permen karet. Pipi bilang kalau semua katanya terkumpul bisa jadi kaya raya. 

"Bisa beli sepeda?" 

"Bisa!"

"Bisa beli jas jus mangga setiap hari?"

"Bisa!"

"Bisa punya rumah yang tinggiii sekali?"

"Bisa!"

Wah! Aku juga mau! Tapi kata Pipi sulit untuk mendapatkan semua kata. Harus sering beli. Kalau beli juga harus cap cip cup dulu biar beruntung. Di kotak kardus kecil Pipi ada banyak huruf Y dan N, beberapa huruf A dan O. Tidak ada huruf S. 

Aku rasa kami tidak akan bisa beli jas jus mangga setiap hari.


Semesta LembutWhere stories live. Discover now