Aku Mohon!

520 33 2
                                    

Pak Tatang menunjukan anak-anak kucing di dalam dus yang dialasi kain. Mereka menggemaskan sekali! Ada yang berwarna hitam, putih, dan oranye. Diambilnya salah satu anak kucing. Besarnya hanya segenggam tangan orang dewasa. Warnanya putih dengan totol hitam di wajahnya. Matanya bulat berwana hijau menyala. Ekornya panjang dan tebal seperti kemoceng. Kucing kecil itu mengeong-ngeong begitu nyaring.

"Tutu mau coba pegang?"

Dadaku berdegup kencang. Aku mengangguk pelan dan membuka kedua telapak tanganku. Pak Tatang menaruhnya di tanganku dengan hati-hati. Kaki-kakinya kecil dan ramping, kuku-kukunya tajam. Kucing kecil mengeong lirih. Bulunya halus sekali, aku mengusap kepalanya dengan lembut. Pak Tatang bilang kalau aku mau aku boleh mengambil satu. Aku tersenyum lebar sekali.

"Aku mau anak kucing ini, boleh ya Bu?"

Ibu tidak menjawab, menoleh ke arah Bapak.

"Boleh ya Pak?"

Bapak menghela nafas, berjongkok dan menepuk-nepuk kepalaku. Bapak bilang kita tidak bisa membawa pulang anak kucing ke rumah. Anak kucing butuh banyak perhatian, Ibu dan Bapak tidak punya cukup waktu untuk mengurusnya.

"Aku janji akan merawatnya baik-baik, boleh ya? bolehh yaa?"

Bapak tetap dengan jawaban tidak. Ibu berusaha meyakinkanku nanti akan ada saat yang tepat untuk memelihara anak kucing. Aku menolak pulang dari rumah Pak Tatang, tidak mau berpamitan dengan si kucing kecil. Ibu menyuruhku naik ke mobil. Aku merasa sedih dan tidak ingin mengembalikannya.

"Pak Tatang bilang aku boleh ambil satu!"

Tangisku pecah, suaraku bergetar. Aku berlari ke dalam rumah Pak Tatang. Si kucing kecil kupeluk erat supaya Ibu dan Bapak tidak bisa mengambilnya. Si kucing kecil tidak berhenti mengeong dari dalam dekapku. Bapak membujukku untuk menaruhnya kembali ke dalam dus dan pulang.

"Kita tidak punya kandang dan makanannya Tu."

"Kita bisa beli!"

"Tidak ada yang merawatnya kalau kita bawa pulang."

"Aku bisa Pak! aku mau merawatnya! Aku janji, janjii, janjiii!

Aku terisak-isak, pipi dan hidungku basah. Aku tidak peduli Ibu dan Bapak melarangku. Aku belum pernah punya kucing kecil sebelumnya. Aku bersungguh-sungguh akan merawatnya. Ibu menarik tubuhku untuk berdiri. Aku menangis dengan kencang dan tetap berjongkok meringkuk sambil memeluk erat si kucing kecil. Ibu dan Bapak akhirnya menyerah.

Si kucing kecil tidur di pangkuanku sepanjang perjalanan pulang. Sebelum pulang Pak Tatang memberikanku kandang kucing berwarna ungu. Makanan kucing dan tempat makannya juga diberikan secara cuma-cuma.  Aku tidak bisa tidur memikirkan nama untuk kucing kecil. Rasanya tidak sabar untuk mengatur kandang dan memberinya makan. Dadaku terus berdegup kencang. Ini semua terasa seperti mimpi.

Semenjak ada si kucing kecil aku selalu bangun paling awal. Della bangun setelahku.

"Namanya Yahyu saja!"

Kata Della sambil menggaruk-garuk punggung si kucing kecil.

"Yahyu? Bukannya itu nama ibu penjual permen di kios depan?"

"Cuma itu yang terpikir olehku."

"Bagaimana kalau Yayu saja?"

"Apa bedanya dengan Yahyu?"

Jawab Della dengan ketus. Yayu si kucing kecil menggeliat dan berguling-guling di lantai. Aku ikut berguling-guling di sebelahnya. Ia lincah sekali! Kalau ada tali menjuntai pasti langsung dikejar. Cakar-cakarnya siap menerkam apa pun yang bergerak. Ekornya meliak-liuk setiap kali kami mengelus punggung dan kepalanya. Aku suka kalau Yayu mengeong. Jadi kupanggil namanya setiap saat. Yayu suka sekali mengikuti kami. Aku dan Della tertawa sambil berlari dari ujung ke ujung teras dan Yayu si kucing kecil akan mengejar.

Yayu tidur di kandang pemberian Pak Tatang yang diletakkan di depan jendela kamarku. Bagian bawahnya diberi potongan kardus. Kata ibu supaya kakinya tidak tersangkut di sela-sela besi.
Setiap malam aku mengintipnya dari balik tirai jendela. Yayu suka menggosok-gosokan badannya ke kandang. Kalau makan lahap sekali. Aku tidak bisa tidur kalau Yayu mengeong dengan keras. Yayu pasti sedang kesepian.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap memberi makan Yayu si kucing kecil. Yayu langsung berisik setiap kali pintu dibuka. Mangkuk minum dan makan sudah kuisi. Setelah mengusap telinga Yayu kandang kembali kukunci. Dari balik pagar ada kucing abu-abu besar yang memperhatikan kami.

"Kamu mau makan juga?"

Aku menjulurkan secuwil makanan kucing. Kucing abu-abu menggeram dan dengan cepat menyambar Yayu. Tangan kucing abu besar mencengkram tubuh Yayu dengan kuat dari balik jeruji besi kandang. Aku menjerit memanggil-manggil ibu. Kucing abu besar tidak melepas cengkramannya dari tubuh Yayu. Yayu begitu tak berdaya, banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Tangisku semakin keras. Aku ingin menolong tetapi terlalu takut.

Ibu berlari menghampiri dan mengusir kucing abu besar. Tubuh Yayu si kucing kecil lemas terkulai. Ibu kupeluk erat-erat dan aku menangis sejadinya. Yayu dikubur dekat pohon mangga di halaman rumah. Della memberikan rangkaian bunga liar di atas makamnya.

Malam hari terasa sepi tanpa suara Yayu si kucing kecil. Aku terus memikirkan Yayu. Baru kali ini aku merasa sesak di dada. Bapak menemaniku menangis sampai tertidur.

Aku tidak mengerti mengapa Yayu harus pergi begitu cepat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 22, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Semesta LembutWhere stories live. Discover now