Asa memegang pipinya yang semakin memanas. Karena seluruh uangnya diambil oleh Elvan, Asa tidak memiliki sisa uang untuk membayar warnet. Alhasil, Asa meminta tolong pada tentornya dan kabar itu sampai di telinga Liam hanya dalam hitungan detik.

"Belajar kelompok," jawab Asa asal.

"Itu warnet buat main game!" Liam terus membentak. "Berani bohongi saya ya kamu?!"

"Iya! Asa cuma pengen main game!" Air mata mengalir melewati pipi, tetapi segera Asa tepis. "Kayak gitu aja nggak boleh?"

"Apa Asa nggak berhak seneng-seneng kayak orang lain? Asa capek belajar terus, Asa juga pengen refreshing bentar aja, Pah--"

"Apa?" Liam semakin maju, tatapan tajamnya terus mengarah pada sang putri. "Coba ulangi!"

Asa mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap sang Papa. "Asa capek, Pah! Capek!"

"Oh, jadi kamu cape?" Liam melepas gespernya, bersiap-siap mencambuk putri semata-wayangnya.

Hal itu membuat Asa ketakutan, Asa langsung berlutut di depan Papanya dengan tangan memohon ampun.

"Asa nggak terlahir sempurna, Pah. Maaf, Asa payah. Maaf, Asa nggak sehebat orang-orang di luar sana. Dan maaf kalau Asa selalu ngecewain Papa. Tapi, di sini Asa juga udah berusaha keras--"

PRAK! Cambukan sudah dilancarkan ke punggung Asa, gadis itu mulai merintih kesakitan.

"Berusaha keras kamu bilang?! Berusaha keras tapi bimbel aja kamu bolos?!"

"Dan apa?! Kamu malah santai-santai di warnet?! Hah?! Apa yang kamu lakuin di sana?! Siapa yang ngajarin kamu ke sana?!"

PRAK! Liam semakin gencar mencambuk Asa, seakan-akan itu hukuman paling ampuh untuk membuat Asa jera melakukan hal-hal yang tidak ia sukai.

Asa terisak, namun dia tahan sekuat tenaga. Meskipun pada akhirnya, air mata itu tetap saja terjatuh dan membasahi kedua pipinya. "Asa cuma pengen istirahat sebentar aja, Pah--"

"Kayak gini doang aja capek, ngeluh, protes terus. Jangan manja kamu! Mau jadi apa kalau hobinya males-malesan gitu?! Mau jadi gembel?!"

Liam baru ingin melayangkan gespernya lagi, tetapi Asa sudah mundur ke dinding untuk menghindarinya.

"Asa juga nggak pengen terlahir kayak gini!" Asa semakin membentak. "Asa juga pengen punya otak cerdas! Asa juga pengen gampang ngehafal semua materi! Asa juga pengen bisa jadi orang yang Papa mau!"

"Tapi sekeras apapun Asa berusaha, Papa nggak pernah liat itu. Asa selalu kurang, Asa selalu aja kurang di mata Papa."

Asa mendongak menatap Liam yang sangat marah. "Papa tau? Asa bahkan mual setiap kali liat angka, Asa nggak kuat lagi ngehafal materi beribu-ribu lembar itu, dan Asa pusing harus belajar bahasa alien!"

"Papa ngerti apa? Asa mimisan tiap malem juga Papa ga peduli, kan? Usaha Asa selama ini nggak pernah Papa hargai, sedikitpun nggak pernah."

"Kata-kata mutiara yang keluar dari mulut Papa cuma kalimat-kalimat makian, sama semua kekurangan Asa yang harus Asa perbaiki mati-matian."

"Padahal Asa juga butuh apresiasi, Pah. Asa juga pengen dibanggain kayak temen-temen, atau setidaknya Papa berhenti marahin Asa terus--"

"Nggak usah ngeluh, kamu!" sela Liam. "Nilai kamu belum sempurna, kamu nggak pantes protes kayak gini!"

Liam menyeret Asa ke kamar putrinya. "Belajar kamu, jangan tidur! Ganti waktu yang kebuang sia-sia tadi!"

Asa ingin menolak, tetapi tidak mampu. "Pah--"

Glek! Pintu kamar Asa dikunci dari luar. Asa terus mengetuk-ngetuk pintu, berharap papanya akan sedikit memakluminya kali ini.

"Pah! Asa minta maaf, Pah! Buka, Pah! Maafin Asa, Pah! Asa salah! Maafin Asa!"

"Jangan harap bisa berhenti sebelum nilai kamu sempurna! Saya pantau besok! Awas aja kalau nggak ada kemajuan sama sekali!"

Asa terduduk di lantai, dia menutup matanya yang berair menggunakan lengan kanan berbalut sweater. Asa bahkan masih memakai seragam sekolah.

"Kapan Asa bisa berhenti, Pah? Kalau Asa nyusul Bunda?"

Asa merangkak duduk di kursi belajar, dia raih frame meja yang berisi foto sang Bunda yang sama sekali belum pernah ia temui.

"Gimana rasanya punya Bunda?" Asa memeluk foto muda Tiara. "Asa bahkan nggak tau rasanya kangen sama Bunda kayak gimana."

"Bunda bisa jemput Asa aja?"

Asa melamun sementara waktu, tangisnya mulai mereda. Tanpa sadar, Asa meraih cutter di dekat meja belajar. Kemudian, membuat goresan tipis-tipis di permukaan kulit tangannya hingga mengeluarkan sedikit darah.

Entah sejak kapan Asa gemar melakukan hal itu, di tangannya bahkan sudah terlalu banyak bekas goresan-goresan cutter.

Asa hanya ingin meluapkan amarahnya saja, dan dengan melihat darah yang keluar dari tubuhnya, Asa mulai merasa tenang.

Prang!

Cutter di tangan Asa terjatuh, Asa tersentak dengan apa yang baru saja ia lakukan. Asa buru-buru membersihkan lukanya dan membalutnya dengan plester.

Tidak! Asa harus mengalihkan perhatiannya! Asa tidak boleh menyakiti diri sendiri!

Asa mengambil ponsel, kemudian menelpon seseorang. Siapa lagi jika bukan Elvan, satu-satunya orang yang terlintas di benaknya saat ini.

Nit! Telpon tersambung, dan mulai terdengar suara riuh samar-samar di sebrang sana.

"El?" sapa Asa.

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Jangan lupa follow akunku, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

DASA (END)Where stories live. Discover now