Yang Dirindukan

Zacznij od początku
                                    

"Apa? Apa yang selama ini enggak gue tau? Apa hal tersembunyi yang kalian tutupi dari gue? Susah banget, ya, ngomong jujur? Trus, lo nyalahin gue sepenuhnya? Egois, ya?"

Fairuz tertawa sumbang, seakan meremehkan sesuatu. Aku mencebik, muak dengan tingkahnya yang seakan mengetahui banyak hal, tapi melecehkanku sebab mungkin diri yang terlihat naif.

Adik laki-lakiku itu malah membuang wajah lalu membalikkan badan dan berderap menjauh. Hei, apa-apaan itu? Lalu sekarang, siapa yang salah? Aku mengembuskan napas panjang, kepalaku terasa makin pusing, mengisyaratkan untuk berhenti berdebat. Kuputuskan untuk membalikkan badan, menatap Aya dan Dev.

"Gue masuk dulu. Kalian boleh balik. Dan tentang penyakit gue, jangan bilang ke siapa-siapa."

"Tapi, Ra, lo kan lagi‒”

"Please, Ya, bantu gue kali ini dengan nggak ngasih tau apa-apa ke nyokap."

Aya bersungut-sungut, Dev juga diam saja. Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit masuk. Meninggalkan mereka berdua yang sama-sama menampilkan ekspresi cemas. Jika tidak sedang sakit, ingin rasanya kujitak dua wajah yang menatapku dengan rasa kasihan itu.

Di dalam, terlihat Ibu yang sudah berderai air mata. Aku mematung dan tak berani mendekat kala melihat segala peralatan medis yang ditempeli di tubuh Ayah yang tanpa daya. Atensiku mengarah pada Tante Alya, membuat rahangku mengeras, saling mengatup menahan emosi yang bergolak.

"Sara, sini, Nak." Kalau bukan Ibu yang memanggil, rasanya aku enggan untuk mendekat. Namun, siapa yang tega mengabaikan panggilan dari wanita yang sudah dipenuhi air mata itu? Lekas kulangkahkan kaki ke sebelah Ibu.

Kepala Ayah menoleh ke arahku, menampilkan senyum lebar seolah berkata bahwa dirinya tidak apa-apa, hal yang biasa dilakukan ketika sedang merasa tidak baik-baik saja. Lengkung sabit di wajah itu, justru membuat hatiku nyeri. Seketika, air mataku tumpah saat tinggal selangkah lebih dekat.

Ayah mengelus sebelah pipiku, menghapus jejak air mata di sana. Ya Allah, rasa sesak yang selama ini bukan karena kebencian, tapi karena aku begitu merindukan sosoknya. Rasa sakit ini, bukan karena aku berharap dia pergi, tapi karena aku menginginkannya kembali.

Karena seberapa pun membenci, dia tetap orang yang mengalirkan darahnya padaku, mengadukan doa pada Sang Pencipta untukku, membentukku menjadi gadis kuat dan berprinsip. Lantas, mengapa harus ada yang berubah? Aku ... aku sungguh tidak sanggup membenci, aku lelah. Aku menyerah. Akhirnya, sekali lagi aku sesenggukan di hadapan Ayah.

"Sara anak yang kuat, kenapa menangis?" Berkali-kali air mataku meluncur, berulang kali pula Ayah menghapusnya sambil tersenyum.

"Sara anak yang baik, Sara enggak boleh sedih."

Sekumpulan oksigen mendesak rongga paru. Dadaku sesak, menangis adalah caraku menumpahkan rasa, tapi ruang ini seolah menghimpit paru-paruku. Perlahan, Ayah menurunkan tangannya, beralih menggenggam jemariku.

"Maafin Ayah kalau selama ini bikin kamu sedih. Boleh Ayah mendapat maaf dari Sara?"

Aku menarik napas panjang. "Ayah tau kalau aku enggak suka Ayah pergi, 'kan? Ayah tau kalau aku enggak suka ada orang lain yang lebih Ayah utamakan! Tapi kenapa Ayah lakuin itu semua? Kenapa ... kenapa Ayah pergi? Aku bikin kesalahan apa sama Ayah? Kenapa Ayah jadi jahat? Kenapa Ayah bikin aku jadi membenci geografi? Kenapa Ayah buat aku jadi harus banting ego untuk membenci Ayah? Kenapa Ayah ... enggak lagi bisa aku peluk sesuka hati?

"Kenapa Ayah membuatku harus membenci? Kenapa Ayah membuatku harus melakukan pembuktian untuk dapatin pengakuan dari Ayah? Kenapa Ayah membuatku sering menangisi waktu? Kenapa? Ayah enggak sayang aku lagi?"

Tumpah sudah, takada lagi yang perlu kutahan, baik tangis maupun perasaan. Sudah cukup selama ini aku memendamnya seorang diri, meratapi waktu, mengadu pada gemintang, menangis bersama gelap, bersahabat dengan rasa benci yang kubuat-buat. Isak tertahan Tante Alya tidak jua kupedulikan. Biar saja ia merasa aku hakimi, memang ini salahnya. Iya, aku egois, itu benar adanya.

Alih-alih menjawab, Ayah malah kembali tersenyum. Ya Allah, aku sungguh akan menangis lama jika melihat wajahnya yang sudah lelah itu masih menampilkan tarikan senyuman. Sepersekian detik kemudian, ia bangkit susah payah membuat dirinya duduk, Tante Alya membantu membuat sandaran lalu Ayah merentangkan tangan.

"Sini, Nak. Ayah juga rindu kamu. Sangat rindu."

Tanpa basa-basi, tidak juga memedulikan benda yang melilit tubuhnya, aku menghambur. Menangis di sana, menumpahkan segala sesak, merengkuh kuat sosok yang pernah hilang dari hatiku. Kepalaku merasakan elusan lembut, serta bahuku merasa basah. Apa Ayah juga tengah menangis?

Pelukan ini, hal yang kurindukan ini sekarang sudah kuraih, tapi segalanya tetap tidak akan berubah, bukan? Ayah tidak akan meninggalkan Tante Alya dan kembali tinggal di rumah.

"Ayah selalu sayang Sara, selalu rindu Sara, selalu mendoakan Sara. Ayah mau Sara bahagia. Ayah ini masih ayahmu, Nak. Mengadulah sama Ayah kalau kamu merasa sedih. Ayah akan pulang sebentar untukmu."

Aku melepas pelukan. "Kenapa sebentar? Kenapa enggak bisa tinggal lebih lama? Kenapa masih lebih milih dia?"

"Nak, selalu ada hal yang mendasari keputusan Ayah dan itu semua bukan karena Ayah membenci kalian," ujarnya lirih.

"Apa? Rahasia? Tentang apa? Kenapa enggak ada yang kasih tau aku?"

"Supaya kamu enggak merasa bersalah, Sayang." Kepalaku spontan tertoleh pada Tante Alya yang barusan angkat bicara.

"Aku enggak suka Tante menyelaku berbicara."

"Sara, Tante‒"

"Jangan ikut campur, Tante. Gara-gara Tante, aku jadi kehilangan Ayah. Makasih, udah membuatku menderita."

"Sara‒"

"Apa, Bu? Mau membela dia? Atau mau nyalahin aku? Untuk apa membela perempuan yang sudah‒"

"Berhenti, Sara. Ibu enggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap kasar sama orang yang lebih tua."

"Oh, gitu?! Perempuan murahan ini rupanya punya banyak pendukung, ya? Pakai dukun dari mana? Jin macam apa yang kaupakai‒"

Plak!

Pedih, panas. Aku menatap Ibu tak percaya. Kepalaku sempat hoyong dan merasa seperti berputar kencang saat tamparan itu mendarat. Rasa panas menjalar di pipi, tapi hatiku justru yang lebih terasa pedih.

"Ikut Ibu, kamu perlu tau semuanya."

🌠🌠🌠


One step closer ke ending, loh!
Bantu Yoru menumpas typo, ya! Komen aja, gapapa. Kritik dan saran juga akan Yoru terima dengan senang hati, kok. 😁

Terima kazii 💐

Merengkuh Liku Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz