Pembelaan

198 56 112
                                    

Maria Sara Hanifa

Aku tidak tahu apakah tindakan untuk menceritakan segara resah pada Dev benar atau salah. Satu hal yang pasti, lega. Perasaanku sedikit membaik. Percaya atau tidak, aku sedikit terhibur dengan kata-katanya yang frontal dan sedikit terkesan menghakimi—menurutku, tapi tidak apa-apa.

Setidaknya aku bisa memercayai bahwa ia tidak hanya asal menasihati atau sok peduli, mengingat ia juga memiliki hidup yang mungkin taraf ketidakberuntungannya di bawahku. Yah walau begitu, prinsip tetap prinsip. Tidak menghindari Ayah bukan berarti aku berhenti membencinya. Aku hanya tidak ingin disebut pengecut karena tidak punya nyali menghadapi apa yang kubenci.

Lupakan soal mimisan tadi. Padahal aku sedang senang-senangnya melihat perkembangan Dev dalam gerakannya yang mulai tangkas. Mimisan itu merusak momen melatihku. Harusnya tadi aku masih sempat menguji refleks dari cowok kaku itu. Yah, apa mau dikata? Memang tidak sarapan membawa efek besar bagiku—sepertinya.

Aku menatap punggung kokoh Dev. Tak menyangka baru saja menceritakan rasa benci padanya yang bahkan pada Aya saja aku bungkam.

Sekali lagi dari belakang kuperhatikan siluetnya yang seakan disiram cahaya senja. Tak menyangka pemilik tubuh yang kupikir memiliki hidup monoton dan membosankan itu juga punya liku hidupnya sendiri. Ia menceritakan semuanya dengan tegar. Kukira ia akan membenci Tuhan karena telah mengambil kebahagiaannya. Ternyata tidak. Ia bahkan meyakinkanku bahwa Tuhan itu adil, terlepas dari perbedaan keyakinan kami.

Tentu setiap manusia punya pandangan masing-masing terhadap Tuhannya, bukan? Atau sosoknya yang sekarang belajar mati-matian adalah sosoknya yang tengah lari dari masa lalunya yang terenggut? Sungguh berbanding terbalik dengan diriku.

Mengenai alasan mengapa cerita itu justru harus jatuh padanya, aku tidak terlalu mengerti. Mungkin karena dia cepat menyadari statusku, atau karena intelegensinya seakan meroket, mungkin juga karena kata-katanya yang begitu menusuk tapi tak terbantahkan. Entahlah. Mungkin tidak semua rencana Tuhan harus dipikirkan.

"Aw!" ringisku. Tanganku refleks mengusap hidung yang menubruk tubuh Dev yang berhenti tiba-tiba. "Mau berhenti, bilang, dong! Untung enggak nyusruk," sungutku.

Dev bergeming. Pandangannya lurus ke depan. Mataku menguntit arah pandangannya dan seketika dikejutkan oleh keberadaan Toni di sana, masih dengan seragam.

Lelaki begundal itu berjalan cepat ke arahku yang langsung kusambut dengan wajah sangar yang kubuat-buat.

"Lo nolak makan sama gue, tapi berlama-lama sama si cupu ini di atas atap?" Toni menunjuk wajah Dev dengan penuh amarah.

"Terus? Lo cemburu? Emangnya lo siapanya gue? Enggak sadar sama posisi lo, ya?" Aku berucap sarkas. Toni menggertakkan giginya, kemudian tersenyum miring, menatapku dengan pandangan meremehkan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan yang membuat risih, tentu saja.

"Owh, gini ya ternyata. Cewek, ngakunya enggak mau dekat-dekat sama cowok, apalagi berduaan. Bukan mahram, huh? Apa tuh namanya? Kawat? Khalwat?"

Aku membalas tatapannya dengan beringas.

"Duduk di kantin bareng anak tongkrongan gue enggak khalwat sih, kayaknya. Soalnya rame, 'kan, ya? Sama si cunguk ini? Oh, iya, tau gue. Mau sok suci di depan orang ramai? Lumayan munafik sih, menurut gu—"

Bugh!

Percayalah, barusan bukan aku yang menyerang, padahal tanganku sudah terkepal dan hendak kulayangkan. Mataku terbelalak melihat bahwa baru saja Dev melayangkan tinjunya. Tidak terlalu kuat, tapi Toni sedikit terjengkang—mungkin efek kaget, sedangkan Dev napasnya sudah memburu. Aku menatap dua insan itu cemas. Toni menyeka ujung bibirnya yang lebam, tapi tanpa darah. Sudah kukatakan, bahwa tinju Dev tidak cukup kuat. Toni tersenyum sinis.

Merengkuh Liku Where stories live. Discover now