Perkara Cinta

116 27 19
                                    

Aadidev Valdezi

"Sudah semestinya, Ayah enggak datang. Setidaknya, hal itu lebih baik daripada membawa parasit."

Aku tertegun mendengar ucapan apatis Maria. Bukan hanya diriku, bahkan ibu dan ayahnya, serta Aya juga terpaku. Berlawanan dengan sosok wanita yang sedari tadi bersama sang bapak yang kuduga sebagai ibu tirinya sedikit terisak mendengar pernyataan Maria.

Oh ayolah, aku dapat menangkap rona bahagia ketika ia mendapati bayangan ayahnya yang menyemangati dari kursi penonton, walau beberapa detik kemudian rahangnya mengeras lalu hilang kendali. Aku juga begitu yakin bahwa jauh di dalam hati, ia menanti kehadiran sosok pahlawannya itu.

Lalu sekarang, mengapa Maria berujar sarkas seolah tak punya nurani? Maksudku, hei, ia sedang berbicara pada orang tuanya, setidaknya hargai saja. Aku memang tidak mengetahui rasanya memiliki trauma, rasa sakit, atau apalah yang mengganggu hari-harinya, tapi yang kutahu Maria selalu bisa respek terhadap siapa pun.

"Sara---ah!" Belum lagi berlari, ayahnya Maria jatuh terduduk, memegangi perutnya lalu sesekali mengerang kesakitan. Tentu saja, kepanikan terjadi.

Ah, kalau tidak salah, Maria pernah bercerita tentang ayahnya yang menderita penyakit hepatitis. Apa mungkin ayahnya tengah menahan nyeri di perut yang merupakan akibat dari hepatitis? Sebelum itu, aku sempat melirik ke arah kaki ibu tirinya Maria. Kalau tidak salah ingat, ia pernah mengatakan bahwa wanita itu punya luka yang tak kunjung mengering. Atensiku membola ketika menyadari bahwa kaki itu merupakan kaki palsu.

"Dev, kejar Sara, buru!" seru Aya panik, sembari membantu ayahnya Maria untuk berdiri. Aku yang dari tadi fokus pada dua orang suami istri itu terperanjat. 

"Lo aja, lo kan sahabatnya," balasku cepat.

Aya mendelik, rahangnya mengatup, lalu netranya mendelik seperti mengisyaratkan agar aku mematuhi saja lantas menyusul Maria. Mendengkus, rasanya memang tidak elok jika aku bertukar tempat dengan Aya, karena tentu dirinya sudah lebih dikenal oleh keluarga Maria.

Ah, sudahlah. Meski tidak tahu harus mencari ke mana, kulangkahkan saja kaki ini setelah berpamitan dengan ibunya Maria.

"Nak!" panggil lelaki paruh baya itu, membuatku menoleh pada wajahnya yang sudah pasi. "Tolong ... sampaikan maaf saya pada Sara. Saya yakin, kamu temannya yang baik."

Seketika, hatiku terasa seperti ditetesi embun sejuk kala mendengar permintaan sang ayah. Itu membuatku rindu pada almarhum Papa. Namun, tanpa banyak membuang waktu untuk mengandaikan sosok papa, aku mengangguk, mulai memacu langkah sedikit berlari.

Celingukan ke kiri dan kanan, namun tidak menemukan apa pun kecuali keramaian para pedagang dan pembelinya. Melangkah ke parkiran, meneliti satu per satu motor milik Maria, barangkali gadis itu sudah pergi, tapi kemudian bernapas lega karena kuda bajanya masih terparkir di sana.

Mengikuti feeling, kakiku terus berderap menuju halaman belakang gedung olah raga ini, berharap Maria ada di sana. Entah mengapa, hatiku merasa sedikit cemas.

Bingo! Maria ada di sana dengan posisi membelakangiku di atas kursi panjang, masih mengenakan seragam karate beserta sabuknya. Siapa saja yang melihat, tentu akan langsung tahu kalau gadis itu tengah menangis, terbukti dari bahunya yang berguncang tak beraturan.

Perlahan, aku mendekat. Maria sempat menoleh, lalu kembali membuang pandangan, sibuk dengan isaknya yang tak kunjung berhenti.

Tidak ingin menggangu, kuputuskan tidak banyak bertanya atau berbicara. Membiarkannya menangis tanpa kuinterupsi dengan serbuan kata. Terdengar seperti ditahan, sepertinya Maria memang sering melalui momen menahan isaknya, seorang diri.

Merengkuh Liku Where stories live. Discover now