13. Obrolan Seorang Sahabat

Start from the beginning
                                    

"Emang kepo! Sumpah!"

"Pas gue tidur, gue kebangun karna haus, Xavier di belakang gue, terus langsung yang kayak lo liat."

"Udah?" tanya Rivan. Diandra mengangguk simpel. "Yang gue liat, kayak mau nyium lo."

"Emang!"

"Terus?"

"Terus apa?

"Kalian..."

"No! Gue gak melakukan itu ke sembarang pria!"

"Xavier bukan sembarang pria!"

"Kok lo belain dia?"

"Gue gak belain siapa-siapa." Rivan gak mau kalah. "Kalo gue jadi lo, gue pasti langsung nyosor!"

"Ih, laki-laki macem apa lo?"

"Kan kalo gue jadi lo!"

"Kenapa lo harus nyosor kalo jadi gue?"

"Ini Xavier, Di! Bukan Parjo!"

Rivan menyebut salah satu OB* di kampus mereka yang terkenal sok ganteng dan terlalu pede itu. Diandra menahan tawanya, hanya menyisakan senyuman yang masih tertahan.

"Emang Parjo kenapa?"

"Lo mau nyosor Parjo?"

"Kok jadi Parjo?"

"Ih, kok bahasnya jadi kemana-mana sih, Di?"

"Kan lo duluan!" Diandra tak mau kalah.

Rivan menyerah menghadapi sahabatnya itu. Diandra tipe orang yang susah cerita apa yang dia alami pada orang lain. Kalau pun harus cerita, dia hanya menceritakan garis besarnya.

Suasana menjadi hening, Diandra pergi ke dapur dan mengambil camilan untuk Rivan. Sebuah notifikasi pesan masuk di handphone Diandra yang dilirik oleh Rivan. Rahang Rivan mengeras melihat nama si pemilik pesan dan isinya.

Diandra baru saja menyiapkan camilan untuk Rivan dan membawanya ke ruang tamu, sahabatnya itu sudah tidak ada di tempat.

Kemana sahabatnya itu? Tidak biasanya dia pergi tanpa pamitan. Diandra spontan mengecek handphonenya di atas meja, dan terbelalak membaca pesan tersebut. Buru-buru dia keluar rumah. Dugaannya benar, Rivan membuka paksa pintu mobil sport yang berhenti di belakang mobilnya.

"Turun lo, anj*ng!"

Seorang pria tampan turun dari mobil. Raut wajahnya juga terlihat emosi. Rivan melayangkan pukulannya tepat di wajah pria itu, yang langsung di balas oleh pria itu.

"Gue emang udah lama kesel sama lo! Lo kayak pengganggu hubungan gue sama Diandra!" kata pria itu.

"Lo bangs*t, anj*ng!"

Diandra menarik lengan Rivan. Rivan yang masih emosi dan nafsu untuk melayangkan tinjunya pun melepaskan kasar lengannya.

"Rivan, Davin, udah! Kalo kalian kayak gini, gue gak mau ketemu kalian lagi. Jelas?!" tegas Diandra. Dia berbalik meninggalkan dua pria itu. Lengannya di tahan Rivan.

"Sorry, Di! Gue emosi!"

"Rivan, lo masuk!"

Perintah Diandra itu membuat Rivan semakin emosi, terlebih Davin memberikan senyum remeh padanya. Tapi dia tidak ingin mengecewakan sahabatnya lebih jauh lagi.

"Ada apa lagi, Dav?" tanyanya pelan tetapi penuh penekanan.

"Aku kangen."

"Dav, aku rasa sejak hari itu, kamu memang harus berusaha keras menahan semua rasa itu. Bahkan kamu udah gak bisa lagi selalu datengin aku hanya karna kamu kangen."

"Aku tahu."

"Aku udah menghargai pilihan kamu, sekarang kamu tolong hargai pilihan aku."

"Pilihan aku itu kamu, Di,"

Diandra tersenyum, "Mungkin kalo kamu bilang ini ke aku beberapa bulan lalu, aku masih percaya, Dav!"

"Diandra, aku bener-bener gak tahu lagi harus apa. Aku cuma mau nikah sama kamu."

Diandra tidak merespon apapun. Di umur Davin yang sekarang memang sudah memasuki waktu menikah. Diandra dan Davin memang terpaut perbedaan umur delapan tahun. Usia Davin saat ini menginjak 29 tahun.

"Kamu gak berhak bilang gitu, Dav, bener-bener gak berhak!"

"Aku tahu, Di, tapi aku bener-bener..."

"Aku minta maaf!" potong Diandra. Davin tercengang, masih diam menunggu maksud permintaan maaf Diandra. "Aku minta maaf udah menghancurkan kemauan kamu, Dav, tapi..." Diandra meraih tangan Davin. Menurut Diandra, ini dilakukannya agar hati Davin luluh, "aku gak bisa. Aku udah gak cinta lagi sama kamu."

"Bohong!" Davin menghempaskan tangannya kasar. Dia tersulut emosi. "Kamu bohong, Diandra! Dulu, kamu selalu ngerti aku, kamu selalu memahami aku, kamu selalu bilang kalo kamu cinta sama aku, kamu juga selalu bilang kalo aku masa depan kamu. Sekarang kamu tiba-tiba bilang kamu udah gak cinta? It's a bullshit!"

Diandra tersenyum lagi. Lagi-lagi wajah tenangnya itu membuat Davin semakin panik. Semakin Diandra tenang, semakin kecil harapannya untuk membujuk gadisnya itu.

"Aku... aku ngerti kamu, pahamin kamu, selalu bilang cinta sama kamu, dan bilang kalo kamu masa depan aku sebelum aku kecewa sama kamu, Dav." katanya tegar. "sekarang udah beda, aku cuma berharap kamu bisa hargai itu."

"Diandra..."

"Dav, aku rasa kayaknya kita cuma bahas masalah yang sama dengan hasil yang sama. Kamu juga baru pulang dari rumah sakit, kan? Mau mampir dulu? Aku bikinin jahe?"

Hancur! Harapan Davin hancur! Semakin dia melihat Diandra yang tegar itu, semakin dia membenci dirinya juga perempuan yang merusak hubungannya dengan Diandra.

Davin mengepalkan tangannya, memperlihatkan urat-urat tangannya. Tanpa menerima ajakan Diandra, dia pergi begitu saja dengan mobilnya.

* OB : Office Boy

* * *

Me And The Six PrinceWhere stories live. Discover now