11. Pemantik api merah

155 30 1
                                    

       
       PUNGGUNG sang dewi nyalar terbungkuk akibat rasa takut yang tak kunjung pudar, tapi ia tetap menyempatkan diri untuk menjawab lontar kata yang diucapkan Soobin, "Meninggalkanmu? Kau bicara apa? Aku sudah ketakutan karenamu! Bahkan kau mengatakan hal yang aneh padaku? Aku tak pernah meninggalkanmu!"

"Benarkah? Kalau begitu tetaplah di sisiku," monolognya kian diri semakin mendekati eksistensi si gadis, mata pun tak segan membelalak lebar setelah si pria berjongkok di hadapan gadis Choi. Refleks Vii ikut sedikit menggeserkan pantatnya ke belakang.

Mendadak Labium merah melengkung sempurna,"Aku membawamu kesini karena aku ingin kau mengingat memori yang pernah kau lakukan ketika dirimu menghilang, Vii. Di hutan ini, bersamaku. Kau sudah ingat?" Sungguh, matanya benar-benar seperti puppy.

Vii mengangguk patah, "Iya ... Namun, ingatanku tak sampai ujung jurang. Yang aku ingat hanya 'aku pernah menghilang di hutan'. Walau, aku tidak tau hutan yang mana,"

"Disini lah hutan yang kau cari, Hutan Son." Lagi-lagi Soobin tersenyum seraya menampilkan lesung dangkal yang ada di pipi, jujur ini sangat tidak baik untuk jantung, dirinya begitu manis bagai gula kapas yang mengembang sempurna.

Tanpa sadar mata Vii dan Soobin bertemu dan terdiam beberapa saat, "T-tapi, kenapa kau sangat ambisius mengejarku? Maksudku, mengapa kau terus berusaha mendekatiku?" Tanyanya setelah ia sempat melempar pandangan ke arah lain, khususnya pohon dan semak di sekitar.

Seketika pantatnya menjauh dari permukaan seraya mengusap sisa debu dan tanah kering menggunakan tangannya. "Aku ... membutuhkan seseorang yang dapat membuat bunga dalam jantungku bermekaran, alias dapat membahagiakan diriku selama aku dapat hidup kembali dalam dunia. Dan aku pikir, kau adalah manusia pertama yang dapat menumbuhkan benih memori manis yang tersimpan secara utuh di benakku."

Tak berkedip sama sekali. Vii hanya mendongak menatap wajah lelaki berparas tampan yang kini agaknya tak lagi mengenakan topeng retak seperti biasa. Dan lagi ia mengalihkan atensinya ke arah dada jantung yang menampakkan sekuntum bunga putih, merah, dan kuning---mekar indah sempurna, bersinar pula seperti adanya lampu dalam bilik. Soobin biasanya menyebutnya sebagai, bunga permata.

"Bunganya indah sekali ...," kata Vii sedari ia menatap bunga permata tanpa berkedip. Bahkan air mata yang kini menggenang di ujung mata terjun begitu saja. Mendadak Vii mengingat suatu hal yang berkaitan dengan ucapan yang belum lama Soobin jelaskan, "Tapi, apa maksudmu tentang 'selama aku dapat hidup kembali dalam dunia.' ?"

Terpaku, hanya dapat terpaku di tempat. Tiba-tiba kelopak matanya sayu dan cahaya dalam bunga permata kini sedikit memudar, sira sambil bernafas kasar mengatakan, "Aku sebetulnya sudah tak ada lagi di dunia, Vii. Aku seharusnya sudah mati."

Setiap kau mencipta melodius murni yang muncul dalam frasa, aku tertegun beberapa kali. Terkadang, air mata tak mampu menahan eloknya perkata yang telah kau rangkai demi memudahkan kami, (si manusia sesungguhnya) mencerna lisanmu. Betapa kuasa kau menahan rasa pedih kutukan yang sebetulnya tak perlu kau rasakan? Ini bukan kutukan, tetapi penyiksaan. Atau bahkan diriku salah? Setidaknya kau berhasil mengindra ekistensiku walau ku tak dapat menyelip adun di sela jemarimu. []

𝓗𝓪𝓷𝓭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝑯𝑨𝑵𝑫 | 𝒆𝒙𝒑𝒍𝒐𝒔𝒊𝒗𝒆 𝒄𝒓𝒚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang