CHAPTER 12 | CERMIN |

Mulai dari awal
                                    

Ceklek

Cakrawala menutup pintu kamar Maratungga. Saat ia keluar, ada sebuah mobil sedan terparkir di depan rumahnya.

TIN!

TIN!

TIN!

Pengemudi mobil itu menekan bel bertubi-tubi hingga membuat siapapun yang mendengar merasa pengang. Ia lantas menurunkan kaca jendela.

"WOY! TAI! BURUAN!" Sentak gadis tersebut.

Cakrawala kaget. Ternyata pemilik mobil itu adalah Moa Jatraji. Cakrawala melangkah mendekati mobil itu.

"Moa kenapa kamu di sini?"

"Naik sekarang atau gue habisin?" tanya Moa dengan nada ancaman dan penuh penekanan.

"Iya Moa." Cakrawala segera membuka pintu mobil bagian depan, kemudian duduk di samping Moa.

Moa mulai melajukan mobilnya. Cakrawala memandang Moa dengan senyuman.

"Moa, kamu kenapa jemput aku?" tanyanya.

Moa menoleh sekilas dan memberikan tatapan tajam.

Plak!

"Aduh!"

Moa menempeleng kepala Cakrawala cukup keras hingga membuat cowok itu mengaduh.

"Jempat jemput! Lo kira gue babu lo?! Ha?! Sekali lagi lo ngomong begitu gue robek mulut lo."

Cakrawala terkekeh.

"Jangan ketawa!"

Plak!

Sekali lagi dengan ringannya, tangan Moa melepaskan pukulan ke kepala Cakrawala. Seketika Cakrawala diam.

"Kenapa diem?"

"Kamu bilang aku nggak boleh ketawa. Yaudah aku diam. Takut kalo kamu robek mulutku," ujarnya.

"Lo ngledek gua?"

Cakrawala menggeleng. "Enggak kok, enggak."

"Ambil tas gue di kursi belakang, buka buku tugas matematika, kerjain semua soal-soalnya sekarang. Gue nggak mau tau, pokoknya sebelum duduk di kelas, tugas itu harus udah selesai."

"Tapi—"

"Buruan ambil!" Sentak Moa.

"Iya, Moa."

Cakrawala berusaha meraih tas Moa yang tergeletak di kursi belakang mobil dengan tangan panjangnya, dan, berhasil. Ia lantas membuka raslating tas Moa dan mengambil buku bersampul putih. Itu adalah buku tugas Moa.

Setelah mengambil buku itu, Cakrawala kemudian mengambil pulpen yang ada di dalam ranselnya. Kenapa nggak pake pulpen punya Moa? Moa mana pernah punya pulpen?!

Gadis itu memang kaya, tapi untuk sekedar beli pulpen saja ia tak mampu. Setiap hari, Moa selalu meminjam pulpen milik Cakrawala. Pantas saja ketika Cakrawala tidak masuk sekolah, Moa lah yang paling terkena dampaknya.

Di dalam mobil yang masih melaju, Cakrawala mulai mengerjakan soal-soal matematika di buku tugas Moa. Dengan menumpukan buku di atas pahanya, Cakrawala mulai menuliskan jawaban soal tersebut. Ia agak kesusahan saat menulis jawaban lantaran kondisi mobil tidak stabil hingga membuat tulisannya beberapa kali tercoret-coret.

Ada sepuluh soal yang harus ia selesaikan dengan segera. Semua soal matematika itu tidak terlalu susah untuk master matematika seperti dirinya.

Kemampuan Cakrawala dalam pelajaran matematika tidak perlu diragukan, ia sangat cerdas. Cakrawala Agnibrata, tahun lalu, dia lah yang menyabet gelar juara satu olimpiade matematika.

Mobil yang dikemudikan Moa memasuki gerbang SMA Elang dan Cakrawala baru sampai mengerjakan soal nomer tujuh, kurang tiga soal lagi. Moa memarkirkan mobil di parkiran. Gadis itu lantas turun dari mobil, sebelum turun, ia mengambil ransel di kursi belakangan. Cakrawala juga ikut turun.

Perhatian Cakrawala masih fokus pada buku tugas Moa. Ia berjalan menuju kelas sambil mengerjakan soal matematika, tangan kanannya bergerak menuliskan jawaban dan tangan kirinya menyangga buku. Cakrawala terlihat kerepotan, tapi Moa dengan santai berjalan di sebelah Cakrawala.

Ketika Moa berjalan, semua murid yang berada di koridor menyingkir untuk memberikan jalan. Aura devil seorang Moa Jatraji benar-benar terpancar. Menakutkan hingga murid-murid di SMA Elang tidak berani untuk mencari masalah dengannya.

Cakrawala dan Moa melangkah bersama menuju kelas.

Brak!

Moa meletakkan tas ranselnya di atas meja. Cakrawala menutup buku tugas Moa, ia tersenyum.

"Udah selesai!"

Tepat waktu. Cakrawala menyelesaikan tugas milik Moa tepat waktu. Ia lantas duduk di kursinya.

"Awas aja kalo sampai ada yang salah," ancam Moa.

Cakrawala tersenyum. "Enggak, kok, Moa. Jawabannya udah aku cek semua, pasti bener."

———

Bu Ambar berdiri di koridor, ia menatap seorang murid yang sedang mengutak-atik sepeda berwarna kuning di parkiran. Murid tersebut adalah Cakrawala Agnibrata. Cakrawala mengembuskan napas  panjang ketika melihat kedua ban sepedanya kempes.

Semenjak Bu Ambar menjadi guru baru di SMA Elang, kehadiran murid yang bernama Cakrawala itu sudah mencuri perhatiannya.

Cakrawala terlalu mencolok dibandingkan para murid lainnya. Terlebih lagi karena semua barang-barang yang Cakrawala kenakan semuanya berwarna mencolok. Ada kuning, hijau, dan hitam.

Aneh.

Ya, bukan hanya dimata para murid, namun dimata Bu Ambar pun Cakrawala Agnibrata adalah seseorang yang aneh.

Cakrawala cerdas. Bisa dibilang Cakrawala adalah anak emas di SMA Elang, hampir setiap tahun ia selalu mampu menorehkan prestasi gemilang.

Bu Ambar teringat ketika beberapa hari lalu melihat Cakrawala dipukuli oleh murid lain, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Saya dengar, anak Bu Ambar sedang sakit. Jika Bu Ambar tidak ingin dipecat dihari pertama ibu kerja, sebaiknya abaikan saja apa yang ibu lihat saat ini," ujar Pak Haecan. Memperingatkan.

Bu Ambar menghela napas panjang.

"Bu Ambar kenapa di sini?" tanya Pak Haecan yang tau-tau sudah berada di sampingnya.

"Eh, Pak Haecan."

"Bu Ambar nggak ada jadwal mengajar?"

"Ada, Pak. Ini saya juga mau jalan ke kelas," ujar Bu Ambar.

"Yaudah, jalan ke kelasnya bareng saya aja, yuk."

Bu Ambar tersenyum. "Baik, Pak."

Bu Ambar dan Pak Haecan berjalan bersama. Kebetulan hari ini mereka ada jadwal mengajar di kelas sebelas. Letak kelasnya sama-sama ada di lantai dua.

"Oh iya, Buk. Tadi bapak kepala sekolah, bilang, ujian saringan olimpiade matematika bisa dilaksanakan besok setelah anak-anak pulang sekolah."

"Jadi besok kita sudah bisa tahu siapa murid yang akan mewakili SMA Elang dalam kompetisi olimpiade matematika, Pak?" tanya Bu Ambar.

"Iya, Buk."

"Kalau begitu nanti biar saya  sampaikan ke anak-anak supaya mereka bisa mempersiapkan diri buat besok."

———

Next or no?

2. NOT ME ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang