CHAPTER 1 | RAPUH |

Start from the beginning
                                    

"Tesnya udah Bang?" tanya Cakrawala Agnibrata.

Maratungga atau yang kerap disapa Mara, ia mengangguk lemah.

"Mau Cakra pijit nggak?"

"Nggak usah," tolak Maratungga.

Meskipun sudah ditolak, Cakrawala tetap saja memijit kaki Maratungga. Pijitan Cakrawala membuat Maratungga merasa lebih tenang, rasa sakitnya pun sedikit berkurang.

"Cakra udah cocok jadi tukang pijit belum Bang?"

Maratungga terkekeh. "Udah lebih dari cocok."

"Tapi kayaknya ada yang kurang nih Bang."

"Apa?"

"Kurang kacamata hitam. Hahaha." Cakrawala tertawa renyah. Ia memang receh.

Cakrawala menghentikan pijitannya pada kaki Maratungga. Ia berjalan menuju nakas untuk mengambilkan Maratungga segelas air.

"Diminum dulu Bang," Cakrawala menyodorkan segelas air.

Cakrawala membantu Maratungga bangun dari atas ranjang. Maratungga menerima gelas tersebut. Perlahan ia meminum air dalam gelas hingga habis separuh. Setelahnya, Cakrawala mengambil alih gelas itu lalu meletakannya kembali di atas nakas.

"Makan ya Bang?"

"Enggak."

"Dikit aja Bang."

"Nggak selera."

"Mau makan sate yang Abang makan di resto kemarin?" tanyanya. "Nanti Cakra beliin."

"Mau pulang," jawab Maratungga.

Cakrawala mencibir. "Pulang gimana Bang? Baru aja tes, masa udah mau pulang."

"Bang Mara maunya apa? Nanti Cakra beliin. Jangan nggak makan gini dong, nanti Bang Mara tambah sakit."

Cakrawala terlihat sangat khawatir, berkali-kali ia membujuk Maratungga supaya mau makan. Akan tetapi Abangnya itu kekeh tidak ingin memasukan apapun ke dalam perutnya.

"Tadi Ayah dipanggil sama dr. William." Ucap Maratungga ketika ia teringat pesan yang disampaikan oleh salah seorang suster.

"Bentar, Cakra telpon Ayah dulu."

Cakrawala mengeluarkan ponsel di saku celananya untuk menelpon sang Ayah. Tadi Tigu Bavatman—Ayah Cakrawala dan Maratungga—datang, tapi tidak lama kemudian dia pergi lagi, entah pergi ke mana, mereka juga tidak ada yang tahu.

"Ayah di mana? dr.William ingin bicara tentang kondisi kesehatan Bang Mara sama Ayah," ujar Cakrawala.

"Saya nggak bisa. Ada urusan di kantor yang harus saya selesaikan sekarang. Gini aja, nanti kamu yang ketemu sama dr. William, biar saya yang ngomong sama dr. William lewat telpon, yang penting kamu di sana jagain Mara."

Cakrawala menghembuskan napas berat. "Iya, Yah."

Cakrawala sedikit kecewa, seharusnya dalam kondisi seperti ini ayahnya datang untuk memberikan semangat kepada Maratungga. Andaikan saja Bunda masih hidup, pasti sekarang mereka tidak akan merasa kesepian.

"Kenapa? Ayah nggak bisa dateng? " tanya Mara. Dugaanya benar.

"Iya Bang. Yaudah kalau gitu, Cakra ke dr. William dulu. Nanti kalau ada apa-apa, Bang Mara panggil suster ya, atau telepon Cakra aja."

"Iya," jawab Maratungga. Adiknya itu memang sangat cerewet.

Saat Cakrawala keluar dari kamar rawat Maratungga, seorang gadis yang sangat ia kenali tiba-tiba melintas dihadapannya. Gadis itu menangis tersedu-sedu.

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now