7. Im sorry goodbye

Start from the beginning
                                    

Sebenarnya yang membuat Davin semakin panik buat kata per kata yang dibeberkan Diandra, namun nada bicara Diandra yang terdengar stabil tanpa emosi. Dimana biasanya Diandra yang ceria, manja, marahnya sangat ekpresif ditunjukan padanya. Diandra yang seperti ini terlihat menakutkan.

"Kamu mau aku lanjutin, Dav?" melihat Davin yang membeku, Diandra semakin ingin menunjukkan semuanya. Dia menggeser fotonya, yang menampakan Davin sedang berada di club bersama perempuan yang sama. Mereka berpelukan dan berciuman mesra. Membuat Davin semakin membeku. "dan ini yang terakhir, Dav." Diandra menggeser kembali foto berikutnya. Sebuah capture akun instagram milik seseorang yang Davin kenal. "namanya Laura, temen kuliah kamu atau kalian bertemu waktu  kalian koas, mungkin?"

Deg! Tebakan Diandra yang semakin benar itu membuat Davin hilang kendali. Dia memeluk Diandra erat tanpa mengucapkan apapun.

"Davin, aku kasih tau kamu, perempuan yang sedang merasa gelisah dan ingin mencari informasi yang mereka butuhkan, itu bisa jadi stalker terbaik. Mereka bisa mencari informasi apapun yang mereka mau sampai dapat. Sampai disini jelas ya, Dav, yang membuka pintu untuk orang ketiga itu bukan aku."

Davin menangis. Merasa bersalah, merasa menyesal. Apa yang sudah ia perbuat pada gadis kecil yang sangat dia cintai ini. Menemani dengan sabar sampai  ia menjadi seperti sekarang, tanpa keluhan tanpa drama. Bahkan untuk pertama kalinya ia melihat Diandra setenang itu seakan sudah mengikhlaskan hubungan mereka yang sepertinya tidak memiliki masa depan.

"Aku tunggu kamu sampe selesai. Aku bersyukur kamu sadar, Dav, tapi..." Diandra mempersiapkan diri melanjutkan kalimat selanjutnya, "selingkuh itu dilakukan dengan kesadaran, Dav, dan aku gak bisa sama orang yang selingkuh. Maafin aku." sedetik dari Diandra menyelesaikan kalimatnya, Davin menangis sejadi-jadinya.

Diandra menepuk punggung Davin yang masih memeluknya. Diandra tahu kalau ini cara Tuhan menyayanginya. Saat ini hatinya mungkin sakit, tapi dia tetap bersyukur tidak bersanding dengan orang yang memang bukan untuknya.

* * *

Gosip soal Xavier yang ternyata homo itu akhirnya menyebar seantero kampus. Ada yang mundur teratur, ada yang berganti haluan memilih The Six Prince yang lain, ada yang garis keras tetap pada pilihannya memilih Xavier, karena selain tampannya kebangetan, dia keren abis.

"Wah gila, tahu gitu gue gak sekamar sama lu waktu kita liburan si KL* kemarin!"
"Jangan jadikan gue sasaran cinta lu ya, Xav! Gue masih normal!"
"Anj*r, kesebar juga aib lu!"
"Eh lu beneran homo?"

Yang diserbu pertanyaan malah cengengesan gak jelas.

"Nanti kalau waktunya sudah tepat, kalian akan tahu siapa sebenarnya gue. Nanti kalo gue punya pacar, langsung gue kenalin!"

"Pacar lu cewek apa cowok?"

"Karena dia homo ya pacarnya cowok, be*o!"

"Kalo gitu lu ga usah kenalin ke gue, gue cukup tahu aja!"

"Gue awalnya sempet kepikiran sih tipe-tipe cowok ganteng, kalo gak brengsek ya homo, ternyata lu lebih memilih jadi homo ya!"

Xavier yang dihujat teman-temannya hanya tertawa. Sebenarnya matanya sibuk menyapu ruangan di kantin, mencari seseorang yang hari ini belum ia lihat.

* KL : Kuala Lumpur

* * *

Waduh, kenapa nih? Tanya Diva dalam hati ketika mobilnya tidak kunjung menyala setelah Diva memencet tombol start. Dan sialnya, bengkel langganannya tidak dapat dihubungi.

Diva buru-buru keluar mobil ketika mendapat Alex berjalan di depan mobilnya.

"Alex!"

Alex menoleh.

"Boleh minta tolong gak? Mobil gue mogok."

"Gue gak paham mesin juga sih, tapi coba gue cek dulu."

Diva mempersilahkan. Diva cuma bisa menunggu Alex yang dari tadi sibuk melihat mesin mobilnya tanpa menyentuhnya. Lima menit kemudian Alex terlihat sibuk menelepon.

"Yuk!"

"Udah?"

"Udah."

"Mobil gue udah bisa maksudnya?"

"Maksudnya gue udah telfon temen gue anak mesin, nanti dia kesini. Kita ke kantin dulu aja."
"Tapi gue udah makan."

"Temenin gue makan maksudnya, gue masih laper!"

"Oh."

Diva menuruti keinginan Alex karena hanya Alex yang dapat diandalkan saat ini.

Sebenarnya ada untungnya juga mobil Diva mogok saat ini, dia dapat bertemu Alex dan bisa bersama Alex hanya berdua tanpa harus mencari alasan.

Masih terngiang di kepala Diva tentang pertemuannya dengan Alex tiga tahun lalu.

Flashback...

Siang itu, Diva baru saja selesai mendaftar menjadi mahasiswi baru kampus, karena harus tes seleksi, sekarang perutnya sangat lapar. Diva masuk ke salah satu kafe besar di depan kampus dan duduk di sembarang meja.

Tiba-tiba ada seorang pria menghampirinya, "sorry, ini bangku gue." katanya.

"Mas, bangkunya kan banyak, kenapa sih harus disini? Modus banget!"

Alex mengetuk meja Diva, "Maaf ya, Mba, saya udah pesen makanan, pelayannya udah catat pesanan makanan saya di nomor bangku ini. Tadi saya ke toilet sebentar. Eh tiba-tiba Mba udah disini."

Setengah mati Diva menahan malu. Dia bangkit dari duduknya dengan menunduk malu. Melihat perempuan di depannya seperti menahan malu, Alex menyentuh lengan Diva.

"Gini deh, Mba, biar enak kita duduk disini aja. Lagian Mba juga mahasiswi kampus depan kan?" Diva mengangguk, Alex memperhatikan Diva seksama, "kayanya baru kelar tes juga ya, Mba? Ngambil IT* juga ya? Kayanya tadi liat di kelas pas tes." Diva mengangguk lagi, "Alex."

"Diva."

Flashback off..

Dari sanalah awal mula mereka berkenalan. Setelah ngobrol cukup lama, mereka memutuskan bertukar nomor handphone. Mereka jadi sering jalan bersama, bertukar pikiran satu sama lain, saling memberi kabar. Diva sudah menaruh hatinya untuk Alex, sampai suatu ketika...

"Kayanya gue gak bisa jadian sama sahabat sendiri."

Diva tanpa sengaja mendengar Alex mengatakan itu dengan temannya. Cukup sakit Diva mendengar itu, seperti tidak ada harapan tentang kelanjutan hubungan mereka. Mungkin bagi Alex, Diva sahabatnya, dan tentu saja Diva tidak boleh berharap lebih. Hal itu membuat Diva merubah sifatnya pada Alex, menjaga jaraknya dengan Alex agar hatinya tidak semakin tersakiti.

Namun karena satu angkatan dan satu jurusan dengan Alex, Diva tidak bisa terang-terangan menghindari Alex. Apalagi Diva dan Erland teman SMA, dan Erland dekat dengan Alex, hal itu membuat mereka dalam lingkaran pertemanan yang sama.

Semakin lama Diva mengenal sosok Alex, Diva semakin tidak bisa menjauhi Alex. Akhirnya dia hanya bisa mengagumi sosok Alex tanpa berharap lebih.

* IT : Teknik Informatika

* * *

Me And The Six PrinceWhere stories live. Discover now