BAB 2

4.7K 537 26
                                    

Beberapa hari berlalu, rasa penasaran Nala tak terbendung lagi untuk mengetahui keluarga ibunya di Turangi. Sudah beberapa hari ini ia berkeliling sesekali dan bertanya tentang perempuan bernama Gayatri. Anak Candi Tellu yang lain juga coba membantu, tetapi nihil. Dan karena hampir putus asa, Nala memutuskan untuk mencari sosok lain—ayahnya. Yang menjadi masalah adalah Anak Candi Tellu yang lain belum tahu bahwa ayah Nala masih hidup. Itulah yang membuat Nala ingin memisahkan diri agar ia bisa tahu keberadaan ayahnya, tanpa membuat teman-temannya curiga.

"Aku sudah bertanya kepada pemandu wisata.," ucap Ayu. "Kalau ada tempat pemandian air hangat dan peramal yang bisa kita kunjungi. Sebenarnya banyak sih, tapi dua itu cukup menarik."

"Gila, kau percaya pada ramalan?" tukas Bastian. "Bukannya kau benci mereka, kau sering bilang kalau itu cuma mitos."

"Siapa bilang aku percaya? Cuma buat hiburan saja Bas," sewot Ayu. "Jadi bagaimana?"

"Maaf Ayu. Hem ... ada tempat yang mau kukunjungi," kata Nala.

"Apa itu? Mari kita pergi kesana."

"Tetapi aku tak mau kalian ikut, aku mau sendiri," ucap Nala dengan berani.

Sanja menyeletuk. "Aku juga." Ia sebenarnya ingin mengatakan ini sejak kemarin-kemarin tetapi terlalu takut untuk mengungkapkannya secara langsung.

"Baiklah, kalau begitu kita biarkan hari ini jadi hari untuk diri sendiri saja. Bagaimana?" saran Drio. "Aku mau pergi ke toko makanan."

"Jangan!" Bastian menyela. "Ingat, aku sebagai ketua tim ini. Nyai Rondo sudah bilang berkali-kali kalau kita harus bekerja sama dan jangan berpisah-pisah, kalau terjadi sesuatu, aku pula yang repot."

"Kau sungguh tak mengerti Bas," ujar Tanra memutar bola mata. "Maksudnya saat menjalankan misi. Ini waktu liburan, mau sampai kapan kita bersama-sama terus."

Semua orang menyetujui ucapan Tanra.

"Ah baiklah," kata Bastian. "Tetapi kalau sampai terjadi sesuatu, kalian harus membelaku."

Lexan langsung meninggalkan candi lebih cepat dari yang lain. Tak ada yang berani bertanya, karena pria itu nampak serius.

"Paling dia ke toko senjata," ucap Bastian dengan kedua bahu terangkat, Sanja tertawa kecil.

Nala memulai petualangan mencari sang ayahnya dalam diam. Dia tidak tahu akan memulai pencarian dari mana. Tetapi, dia tahu kalau ayahnya adalah seorang pendekar. Sehingga tempat pertama yang ia datangi adalah pelatihan khusus di Turangi.

Perempuan itu berjalan sendirian melewati pusat kerajaan. Bertanya pada orang-orang yang berlalu lalang. Seorang bapak-bapak yang membawa ayam sabungnya tak menggubris. Ia nampak buru-buru.

"Tanya lah pada—ah, itu sana. Aku sedang buru-buru," kata pria itu, menunjuk ke arah perempuan di bawah pohon.

Bapak tersebut pergi, Nala langsung mendekati orang yang dimaksud. Rupanya aldalah seorang perempuan tua yang menjual jamu dengan menggendong bakul besar.

"Boleh aku bertanya?"

"Tentu saja, Nak," kata perempuan tua itu dengan ramah. Ia baru saja melayani seorang pelanggan dan baru hendak beranjak ke tempat lain.

"Apakah di sini ada tempat untuk latihan para pendekar?"

Nenek tersebut mengernyit. "Pendekar? Kau penyihir senjata?"

"Tidak, aku hanya sedang mencari seseorang."

"Ah, kalau itu—aku tak tahu pasti. Tak ada latihan khusus untuk para pendekar, Nak. Setahuku. Tetapi adanya sanggar pencak silat, dan banyak pendekar disana. Beberapa juga penyihir tanah."

"Di mana?"

"Yang mana dulu?"

Nala memijat pelipis, ia berpikir keras. "Pendekar—maksudku sanggar pencak silat dengan anggota terbanyak."

"Ada dua. Aku tak tahu mana yang lebih banyak, tetapi setahuku keduanya sering berseteru. Tengah malam buta, bikin bising saja. Cuma itu dulu. Sekarang semenjak kaburnya tujuh buronan yang belum tertangkap, mereka jadi bekerja sama demi keamanan kerajaan Turangi. Ada hikmahnya juga."

"Jadi di mana?" tanya Nala lagi.

"Apanya, Nak?"

Nala tanpa sadar menepuk jidat. "Dua sanggar pencak silat itu?"

"Oh maaf. Aku lupa, hehe. Kalau sanggar silat Angsa Putih, ada di Barat, tepat di belakang pasar. Kalau Harimau Hitam, ada di Timur." Perempuan itu menunjuk bangunan merah bata di bawah pohon. "Di sebelah situ, ada bangunan dari anyaman bambu yang sempit. Harimau Hitam di sana."

Nala berterima kasih, beranjak lah ia ke salah satu dari dua sanggar yang dimaksud. Pilihannya jatuh ke sanggar silat Harimau Hitam.

Anak-anak di Turangi sudah diperkenalkan sihir sejak dini, walaupun tak boleh dilakukan praktik langsung. Mereka semua sudah diajarkan nasionalisme sejak kecil, para orang tua akan mengantarkan mereka duduk setiap hari untuk mendengar kisah-kisah penyihir dari petuah. Duduk di atas bale-bale bambu di bawah pohon.

Nala mendengar petuah menyampaikan sebuah kisah tentang Antareja. Ingin sekali perempuan itu berteriak pada anak-anak kalau sosok Antareja masih hidup dan baru saja Nala temui semester lalu di sebuah tempat tersembunyi dan asing bernama Poraran. Namun Nala memilih bungkam, fokus dengan tujuannya mencari sang ayah.

Nala tiba di sanggar Harimau Hitam setelah bertanya dua kali pada orang asal di jalan. Dia tiba di sebuah bangunan tua serba hitam dengan dua tanaman bambu yang menjadi gerbangnya. Nala mencoba masuk, tetapi tubuhnya tiba-tiba terlempar. Perempuan itu menyeka sikutnya, meringis kesakitan. Sanggar itu memang tak boleh dikunjungi sembarangan, ada mantra pelindung yang sengaja dipasang agar para pesilat dari sanggar Angsa Putih tidak dapat masuk.

Nala berdiri, meniup sikutnya yang berdarah dan menyeka pakaiannya dari pasir, ia baru saja benda beranjak sebelum dilihatnya sosok bertudung dari balik pohon bambu yang tak jauh darinya. Sosok itu bertudung, memainkan jarinya seolah memanggil Nala. Nala yang penasaran mengikuti sosok itu.

Jalan si manusia bertudung semakin gesit dan Nala semakin lelah mengejar hingga mencoba berlari. Sampai sosok itu membawanya melewati jalan setapak di tengah hutan kota, tiba di sebuah jalan buntu yang dibawa tau oleh sebuah sungai yang alirannya cukup deras. Sosok bertudung itu membalikkan badan.

"Siapa kau?" tanya Nala.

Sosok itu membuka tudungnya, mata Nala terbelalak. Dia adalah salah satu tahanan level lima yang kabur dari penjara bawah tanah Serandjana, perempuan yang Nala dan enam anak terpilih lainnya temui di Poraran—Enola. Perempuan dengan kulit hitam manis, mata hitam legam serta rambut agak ikal. Seorang penyihir udara.

Tangan Nala mengepal. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Cih, apa katamu? Jelas merusak dunia. Aku kan penjahat," gerung Enola. "Oh, omong-omong matamu sangat mirip dengan mata ibumu. Kalian benar-benar mirip."

"Pagni Ragni." Nala mengeluarkan mantra bara api. Enola dengan gesit menghindar tubuhnya melayang di udara dan kakinya menyentuh dahan pohon secara perlahan.

"Apakah Archipelagos tak mengajarkan sopan santun? Aku hanya mengajakmu berbicara, tapi kalau kau mau menyerang, tak masalah."

Enola mengeluarkan mantranya juga. Terjadi pertarungan sengit diantara mereka. Serang-menyerang membuat sebuah pohon yang semula kokoh berdiri kini berjatuhan. Nala terus bertahan, ia menjadi anak yang cukup kuat sekarang, tetapi lawannya bukan sembarangan. Enola adalah tahanan level 5.

"Yolokok Morodok..."

Mantra itu menjurus dan mengenai tubuh Nala, membuat Nala terlempar hingga tak sadarkan diri.

Gelap.

ARCHIPELAGOS 3 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang