Pertemuan

101 29 73
                                    

Aku tak tahu akan memulai kisah ini dari mana. Tentang aku, kau, dan dia. Ah, sepertinya tidak tepat. Karena kisah ini tentang diriku. Aku dan segala ambisi itu.

Keinginan disertai keyakinan. Semoga azam ini 'kan menjadi kenyataan.

***
📩 Pesan dari Mbak Iis
[Maaf, ya, Om Jie ... aku gak jadi ke Lampung.]

Sebuah pesan singkat tampil di layar ponselku. Ini pasti dari Mbak Iis. Sudah seminggu yang lalu ia mengabari, jika akan berkunjung ke Lampung.

📨 Pesan Terkirim

[Loh, ko gitu? Pean 'kan udah janji. Pokoknya Mbak Is harus ke Lampung]

📩 Pesan dari Mbak Iis
[Di sini ujan, loh. Aku gak bisa berangkat]

Ah, alasan apa lagi itu? Memangnya tidak ada payung? Ya, sudahlah ada baiknya kukerjakan tugas kuliah daripada memikirkan kabar yang beredar.

Aku meletakkan ponsel di sudut meja. Sebelumnya benda pipih bertuliskan Samsung itu sudah dinonaktifkan, supaya notifikasinya tidak mengganggu konsentrasiku.

Laptop yang mulai berdebu-sehari saja tidak disentuh benda yang berada di sini akan berdebu-kubuka, lalu jemari ini menyalakannya dengan lihai.

Ah, ya ... hanya perlu menekan tombol power, maka laptop akan menyala. Keponakanku yang menjadi pencetus panggilan Om Jie pun bisa menyalakan laptop dengan mata tertutup.

Sial! Aku baru sadar tugas minggu lalu semuanya berbahasa Arab. Harus diapakan soal-soal ini? Diterjemah dengan google translate pun tidak akan banyak menolong.

"Jie, ane titip tugas, ya." Muslimin mengulurkan tangan yang dipenuhi tumpukan kertas berharga. "Ane mau pulang dulu tiga hari, kata mamake kambing-kambing di rumah gak mau makan gegara kangen sama ane," sambung Muslimin.

Aku menyambar tumpukan kertas itu dengan suka cita. "Titip salam buat kambing-kambingmu, ya. Kalo aku ke sana jangan sungkan bertansformasi jadi sate."

Muslimin berlalu dengan tas besar di punggungnya. Ia memang teman baik. Tanpa kuminta, softfile jawaban beserta terjemahnya turut diberikan. Berbekal flashdisk dari muslimin, seluruh tugas selesai dalam waktu singkat.

Aku sadar tidak seharusnya bermalas-malasan. Apalagi melakukan plagiasi brutal, tapi jika sudah ada jawaban di depan mata untuk apa memutar otak lagi?

***
Pagi ini kegiatan pondok libur total, perkuliahan pun diliburkan. Beberapa santri tekun di depan layar laptop, dapat dipastikan mereka sedang mengerjakan skripsi. Sementara santri lainnya membuka mushaf Al-Qur'an dan merapal sekaligus menghafal.

Pondok pesantren ini memang diperuntukan bagi penghafal Al-Qur'an. Tanpa biaya. Hanya perlu kemauan untuk berada di sini. Bahkan ada fasilitas pendidikan Starta-1 yang juga gratis.

Aku dan Muslimin mendapat kesempatan yang sama. Kami langsung ditempatkan di semester empat.

Berdiskusi memang sangat menyenangkan. Mempertahankan argumen dan mematahkan logika. Aku sampai melupakan impian menjadi hacker ataupun progammer. Karena di tempat ini hanya ada program studi pendidikan agama Islam.

Ponselku berdering, tepat saat aku sudah menyelesaikan tugas menyapu dan mengepel lantai dua gedung ini.

Gedung di pondok pesantren ini multifungsi. Lantai satu digunakan untuk administrasi sekaligus ruang tamu.

Lantai dua merupakan ruang kelas yang juga digunakan sebagai tempat beristirahat ternyaman bagiku dan Muslimin. Sementara lantai tiga digunakan untuk asrama putra.

Asrama putri memang tidak terlalu jauh dari sini, tapi aku tak mampu menjelaskannya secara detail.

"Kamu di pondok 'kan? Bentar lagi aku sama Mbak Iis mau ke sana."

Qiqi menutup sambungan telepon, ketika aku menjawab 'iya' dengan antusias. Tanpa perlu dijelaskan Qiqi pun tahu, kalau dari kemarin aku sudah menunggu kedatangan perempuan cerewet itu.

Qiqi panggilan akrab untuk Rizqy Pradana. Bagiku dia bukanlah sekadar teman, bukan juga sahabat. Lebih dari itu. Hubungan kami melebihi saudara. Padahal sama sekali tidak ada hubungan darah.

Kami dipertemukan semasa sekolah menengah atas, tepatnya di SMK Bahrul Maghfiroh. Begitupun dengan Muslimin. Kami satu almamater.

Ponselku kembali berdering. Kali ini bukan Qiqi, melainkan wanita yang sudah melahirkan dan merawat diriku. Ibu.

"Kamu masih ada uang?" Suara wanita di ujung sana sangat menentramkan.

"Ibu tenang saja. Anakmu ini gak akan kelaparan. Uangnya disimpan saja untuk keperluan Ibu."

Obrolanku dengan ibu berlanjut sampai puluhan menit. Entah di menit keberapa aku mulai terisak.

Ada hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Aku ingin kuliah seperti Qiqi di sekolah tinggi ilmu komputer. Kalau perlu aku ingin menuntut ilmu di luar negeri, tapi tak sampai hati jika harus egois merepotkan ibu dan kakak-kakakku yang semuanya sudah berkeluarga. Ayahku meninggal pada tahun pertama aku menuntut ilmu di SMK.

Mereka lah alasanku berada di sini. Kuliah gratis, meskipun dengan jurusan yang tidak kuminati ditambah harus menghafalkan Al-Qur'an.

"Jie, ada tamu tuh."

Ibu telah memutuskan sambungan telepon. Sementara aku dengan sigap turun ke lantai satu.

Qiqi dan Mbak Iis duduk bersisian di ruang tamu. Keduanya terpisahkan dengan jarak yang cukup besar.

"Ya, ampun, Om Jie. Aku gak nyangka banget orang kayak kamu bisa mondok di sini." Mbak Iis tanpa sungkan berkicau saat menyadari kehadiranku.

"Aku iri, bener-bener iri. Makanya sekarang ngambil ijazah ke Lampung. Abis ini aku mau mondok juga ke pondok tahfidz di Bekasi. Siapa tahu bisa sekalian kuliah, jadi ijazahnya aku bawa juga," lanjutnya sembari memberikan bingkisan kepadaku.

Alhamdulillah. Aku, Qiqi, dan Mbak Iis akhirnya dapat bertemu lagi. Rasanya seperti mimpi. Karena perempuan mungil di hadapanku ini tinggal di pulau Jawa.

Sebenarnya masih ada satu personil lagi. Khuriyatul Mu'tiqoh alias Elen yang sering kupanggil Oom atau terkadang dengan panggilan Tiqoh. Kabarnya sekarang ia berada di Pasuruan. Tinggal di pondok pesantren sebagai abdi ndalem.

Kami berempat bersahabat sejak tiga tahun silam. Tepatnya perlombaan komputer yang mempertemukan kami.

  Azam Om Jie [TAMAT]Where stories live. Discover now