Chapter 6

9.3K 1.6K 121
                                    

"La, weekend tolong kosongi jadwal gue dong."

"WHAT THE F-ISH!" Lala terpaksa memlesetkan umpatan karena Kana menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. "Mau ngapain sih, Na? Lo ditawari kemarin nggak mau. Kalau mau reschedule kan, bisa jauh hari. Jadi gue pun nggak akan kena omel mereka."

"Anniversary. Gue pengin nyusulin Satya."

"Oke." Lala mengangkat kedua tangan. Merasa cukup dengan alasan itu. Jika dia menyanggah lagi, masalah ini akan panjang. "Gue usahain."

"Harus. Nggak cuma diusahain. Tapi diiyain aja sekalian sekarang."

Tolong ya, ini sudah malam. Terlalu larut malah. Tidak bisakah Kana cukup berjalan ke pintu dan mereka bisa tidur segera? Bukan justru memaksa minta libur di saat Lala tidak punya sisa energi.

"La?" Kana masih menunggu. Sengaja menghalangi pintu. "Jawab gue sekarang."

Lala mengacak rambut. "Biarin gue tidur dulu. Gue udah nggak bisa mikir apa-apa, Kana! Gue kasih jawaban besok pagiiiii."

Menyingkir dari pintu. "Gue tagih besok pagi."

Kana mengempaskan tubuh di sofa sementara Lala sudah naik ke kamar. Dia mengeluarkan ponsel. Mengirim pesan ke Satya.

Sat, udah tidur? Kalo blm, tlp aku.

Pesan itu terbaca cepat dan panggilan dari Satya langsung masuk. Kana bangun, berjalan ke dapur. Meletakkan ponsel di kitchen bar setelah menekan loudspeaker.

"Aku mau hubungi takut kamu udah tidur, Sat." Kana membuka kulkas, menarik satu botol air mineral. Membawanya ke kitchen bar.

"Baru aja sampai hotel."

"Besok pagi lanjut jalan ke kota ketiga ya?"

"Iya. Kamu udah pulang?"

"Barusan banget."

"Ya udah, buat istirahat."

Kana sedang mengingat ini hari apa. "Kamu berarti weekend di kota kelima ya?"

"Yaps."

"Di mana? Lupa aku." Satya sempat cerita tapi Kana lupa urutan kotanya.

"Kediri."

"Hm, oke."

"Kenapa? Kamu mau nyusul ke sini?"

Menahan senyum tipis. "Aku lihat jadwal dulu."

"Lala nggak bisa ya usahain kamu cuti pas weekend?"

"Sat-"

"Iya, tahu, kamu sibuk. Aku cuma bercanda. Gini udah cukup buat aku kok. Bentuk dukungan nggak mesti datang. Dengar suara kamu begini udah cukup."

Kedua tangan Kana bertumpu pada tepian kitchen bar. "Kangen ya?"

"Banget. Kamu?"

Kana mematikan panggilan. Menggantinya dengan video call. Mencari toples terdekat untuk menopang ponselnya. Menunggu wajah Satya muncul di layar.

"Aku kira kenapa, kok dimatiin-"

"Aku juga kangen. Banget!"

Satya tersenyum lebar.

Andaikan tetap bisa seperti ini sampai kapan pun, Kana rela menukarnya dengan apa pun. Tapi, sekali lagi, sebagian hatinya telanjur memahami berbeda. Telanjur menyadari jika apa yang dilakukan Kana adalah sandiwara.

restart: we're in trouble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang