Chapter 1

17K 1.9K 65
                                    

Warning: baca cerita ini dengan kecepatan keong. Tdk menerima protes bab kependekan dan sebagainya. Terima kasih. Awowkwowk.

————————

Gerakan Satya memotong tomat terhenti. Dia nyaris terlonjak mendengar suara sirine yang menyela di antara lagu yang sedang dia putar. Seharusnya dia sudah hafal. Tapi seringnya lupa kalau dia tidak lagi hidup sendiri dan punya istri yang ajaib.

Tanpa menggerutu, meletakkan pisau, Satya meninggalkan dapur. Menaiki anak tangga sambil meringis mendengar sirine yang semakin menjerit. Seperti yang dia duga, pemilik alarm masih terlelap. Terlihat sama sekali tidak terusik.

Jadi, sebenarnya fungsi alarm begini: karena setiap hari Satya bangun lebih dulu dan pasti berkutat di dapur, alarm itu menjadi tanda kalau Satya mesti membangunkan Kana. Hanya berlaku ketika Satya ada di rumah. Itu pola yang dia pahami selama dua tahun ini. Dia memang setabah itu.

Mematikan alarm, Satya menyibak selimut istrinya. Merunduk untuk mengelus bahu. "Na, bangun. Mau ketemu desainer katanya?"

Kana sensitif terhadap kontak fisik dan tidak peka dengan suara berisik apa pun itu. Jadi membangunkan Kana sebenarnya mudah. Cukup sekali percobaan, langsung bangun.

Pemandangan pagi yang menjadi favorit Satya, selain cahaya matahari yang masuk melalui kisi-kisi jendela, adalah melihat istrinya bangun dengan rambut berantakan. Tetap terlihat cantik. Lebih cantik seperti ini ketimbang melihat Kana di sampul majalah atau ketika perempuan itu berjalan di catwalk.

"Masakmu dah kelar?" Pertanyaan pertama setelah mengucek mata.

"Hampir."

"Besok giliran aku yang masak ya?" Kana menarik tubuhnya bangun, terasa ringan, karena ternyata Satya membantunya.

"Nggak usah. Aku aja yang masak."

"Masakanku kalah enak sih emang." Kana cukup sadar diri.

"Bukan gitu. Minggu depan seminggu penuh nggak di rumah. Jadi jadwal masak aku padetin minggu ini."

Kana memegang kepalanya. "Aku mual kalau ngomongin soal jadwal."

Sambil terkekeh, Satya beranjak dari kasur. Kana mendongak. "Aku nyium bau sapi."

"Aku bikin sup daging. Udah matang kayaknya." Satya berderap keluar.

Kana menyusul lima menit kemudian. Tapi heran saat Satya sudah melepas celemek dan tidak duduk di meja makan. Lelaki itu hanya meletakkan satu mangkuk di sana.

"Kamu nggak sarapan?"

"Reza udah di depan. Mau meeting sama tim."

"Emang kamu udah mandi?"

Satya mengangguk. Berlari ke kamar sebentar. Mengambil jaket dan ransel. Menghampiri istrinya yang sudah duduk di meja makan. Mengacak pelan rambut Kana sebelum mengecupnya. "Berangkat dulu."

Kana tidak sempat menjawab karena Satya bergegas. Tapi matanya tidak lepas dari punggung lelaki itu hingga menghilang di pintu.

Lalu ganti menatap sup di depannya. Kapan terakhir mereka duduk sarapan bersama? Bulan lalu? Seminggu lalu? Urusan jadwal memasak pun sebenarnya hanya formalitas. Mereka sama-sama sibuk. Pun tidak menyewa ART untuk memasak. Rumah tetap rapi karena memang mereka jarang di rumah.

Dua tahun. Mereka seperti hanya berbagi atap, dan bukan cerita.

***

"Kok lo akhir-akhir ini mendadak kalem? Lo nggak sedang menguji kepekaan gue, 'kan?"

"Gue barbar, salah. Kalem, dicurigai."

"Gue lebih suka lo nyicil ledakan. Daripada ditumpuk di akhir. Damage-nya nggak kebayang kayak apa."

Mendesah pelan. "Gue udah bisa main film belum sih, La?"

Lala berkacak pinggang di sebelahnya. Dia terbiasa dengan pertanyaan implisit khas Kana. "Emang lo lagi ngedrama apaan sama Satya? Nggak, gue ralat. Lo akhirnya berhasil mancing emosi dia? Jangan sampai muka lo atau Satya nongol di akun Lambe."

"Kok jadi gue yang tertuduh?!" Kana tak terima.

"Semua bakal bela Satya." Lala mengangkat bahu. "Yang semua orang tahu, lo galak, dan Satya kalem."

Kana tidak bisa menyalahkan pendapat Lala, karena memang itu faktanya. "Di mata netijen yang mahabenar juga gitu. Gue dipandang kayak penyihir yang pelet pangeran berkuda putih. Hidup gue udah kayak plot twist dongeng-dongeng, katanya. Lah emang kenapa? Gue yang ngejalani, Satya juga oke-oke aja. Bisanya cuma komen hidup orang aja. Mereka nggak tahu apa, dulu yang ngajak nikah siapa duluan."

"Lo, 'kan?"

"Iya sih." Cepat-cepat membela diri. "Tapi Satya mau kok!"

Mengacungkan jempol. "Pelet lo manjur."

"Satya cinta sama gue tapi."

"Iya, Na, iya."

"Kok lo nadanya nggak percaya gitu?!"

Beruntung ruang make up hanya ada mereka berdua. Kana menunggu sesinya dimulai. Mungkin sekitar lima belas menit lagi.

Lala menarik kursi mendekat dan duduk. "Ngaku. Lo uring-uringan karena mau ditinggal tour keluar kota, 'kan? Gue bisa kasih cuti, Kanaaaa."

"Nggak perlu."

"Lo nggak pengin sekali-sekali ikut dia tour?"

"Buat apa?"

"Ya sekalian honeymoon lagi."

"Pas dia di rumah, tiap malam juga honeymoon."

Lala meletakkan tangan di dada dengan dramatis. Menghela napas panjang. Merasa terjungkal. Salahnya sendiri. "Tolong hargai gue yang jomlo ini."

"Udahlah, sama Reza aja. Gue sama Satya siap comblangin."

"Badan Prenagen, mulut Samyang. Nggak. Makasih."

"Tapi mukanya Bebelac."

"Muka dia lebih ke Mamy Poko."

Kana tertawa. "Wah, kejam lo, La."

Sebelum Lala semakin terperosok dalam permainan otak, lebih baik mengalihkan. "Balik ke soal cuti. Gue serius, Na."

"Gue juga serius. Nggak usah."

"Lo nggak khawatir kalau di luar kota Satya ketemu fans cantik terus suami lo itu diajak bobo bare-"

"Udah bosen hidup, La?"

Lala nyengir. Mendorong mundur kursi dengan kakinya, menjauh dari Kana.

***

Jumat/07.08.2020

restart: we're in trouble ✓Where stories live. Discover now