Chapter 4

10.4K 1.7K 66
                                    

"Kalian makin harmonis aja nih, apa rahasianya?"

Satya menggenggam satu tangan Kana. Menjawab sambil menatap istrinya. "Saling percaya, saling dukung, saling pengertian. Apa lagi, Na?"

"Saling mencintai."

Tersenyum. "Iya, betul. Itu yang paling penting."

Yang mengajukan pertanyaan sepertinya ingin jawaban yang detail. "Coba kasih contohnya, Sat."

"Kana nggak pernah ribet masalah kerjaan gue. Mungkin karena di dunia yang sebelas duabelas, jadi pengertian dia besar banget. Itu salah satu yang gue syukuri juga."

"Kalau Kana sendiri?"

"Samain aja."

Satya dan wartawan itu terkekeh.

Tapi kemudian dijawab serius. "Satya suami yang bertanggungjawab. Meski umur kami sepantar, dia bisa dewasa dan ngemong."

"Tapi Kana nggak yang childish." Satya menambahkan. "Kami tumbuh dewasa sama-sama. Saling bantu dalam berproses. Kana berperan besar buat gue makin dewasa."

"Ah, itu emang PR bersama sih kalau udah nikah. Dan soal momongan, memang belum ada rencana ya?"

Satya menggenggam sedikit erat, memberi isyarat agar dirinya saja yang menjawab. "Mungkin karena kerjaan masih banyak, Tuhan belum kasih anak. Tapi ya, gue maupun istri, nggak ambil pusing masalah ini. Nanti pasti ada waktunya sendiri."

"Oh ya, ngomong-ngomong, kabar mantan temen duet gimana?"

Satya mengerut bingung ketika topik dibelokkan tajam. Di sebelahnya, Kana mungkin sudah mengumpat di dalam hati. "Ya?"

"Rayya."

Satya berdeham. "Masih di Filipina."

"Pernah nengok ke sana?"

"Ehm, kayaknya kita terlalu melebar ya." Satya tersenyum. Menolak menjawab. Padahal Kana sudah menunggu. Ingin tahu jawaban seperti apa yang akan diberikan Satya.

"HASSS!!!" Kana menendang bantal sofa dengan kesal. Potongan wawancara kemarin terlintas di kepalanya.

Lala nyaris jantungan. Saat dia fokus melihat series di layar televisi, sambil menikmati sepotong pizza, tiba-tiba ada bantal yang jatuh di atas kotak pizza yang terbuka di tengah meja. Ditambah pula teriakan Kana.

Meletakkan pizza sisa gigitan, Lala menoleh. Dari semula duduk di karpet, kemudian naik ke sofa. Meski takut, dia harus mendekat untuk memastikan apakah Kana kesurupan atau bagaimana. Mengingat sejak tadi sahabatnya itu melamun.

"Lo kenapa?"

"Lo bisa dibayar buat bunuh orang nggak?"

Lala sempurna menganga. "Mau bunuh siapa?!"

"Bunuh Satya!"

Lala menggeser duduknya. Menatap horor Kana. Sungguhan kesurupan. Kalau begini, dia harus telepon siapa? Kalau yang ingin 'dibunuh' ternyata pawangnya sendiri.

Melipir dari ruang tengah, Lala cepat-cepat menghubungi nomor Satya. Bodo amat lelaki itu sedang di atas panggung. Berhenti di balkon, Lala menunggu panggilannya diangkat.

Seperti yang diduga. Dengan latar belakang yang berisik, Reza yang mengangkat teleponnya. "Satya lagi checksound!"

"Bilangin ke dia, suruh telepon Kana kalau udah kelar." Lala tidak bisa berteriak. Pertama, akan terdengar sampai ke ruang tengah. Kedua, mengganggu tetangga yang mungkin sudah lelap.

"HAH? APAAN? LO NGOMONG APA BISIK-BISIK TETANGGA?!"

Berjengit, Lala menjauhkan ponsel dari telinga. Menggeram sebal sebelum menempelkan ponsel ke telinga lagi. "Udahlah, gue chat aja!"

restart: we're in trouble ✓Where stories live. Discover now