Su-a-mi

83 3 0
                                    

Cincin di jari manisku ini terlihat sangat berkilau. Masih sulit kupercaya bahwa aku telah menikah. Wow, semuanya serba kilat. Bahkan, acara pernikahan hanya dilaksanakan di halaman rumah dan dihadiri oleh beberapa keluarga dan beberapa teman.

Teman dekatku hanya 2 orang dan suamiku mengundang beberapa temen kerjanya. Ah, suami hmmmm masih agak asing tapi aku akan membiasakannya.

Sebelum menikah, aku ramai dibicarakan oleh tetangga karena wanita seusiaku seharusnya sudah punya keluarga kecil, tapi aku masih sibuk bekerja. Saat sudah menikah pun masih menjadi bahan omongan. Karena, tiba-tiba menikah padahal tidak pernah membawa pria kerumah. Pfft. Masa aku harus laporan ke tetangga?

Aku memang masuk kategori telat menikah. Diusia 30 tahun aku baru melepas masa lajang ku, dan dijodohkan pula. Bagaimana ya, lingkungan pertemananku yang sempit dan juga lingkungan aku bekerja sangat tidak mendukung untuk mendapatkan jodoh.

Maka dari itu, aku menerima tawaran perjodohan dari ibu. Dan, aku tidak menolak. Karena, aku memang ingin menikah setelah terus-terusan menunda. Dan, aku cukup muak dengan nama belakangku yang sudah tidak cocok dengan usiaku.

'Remaja' adalah nama belakang yang buruk untuk wanita usia 25 tahun keatas. Percayalah, kecuali kamu sudah menikah diusia itu. Dan, sekarang aku tidak akan memakai nama itu lagi, kini nama belakangku adalah Renjana. Mengikuti nama belakang suamiku.

Aldira Renjana.

"Heloooooo Dira dianggurin aja nih telponnya?"

Loh aku baru sadar kalau selama ini aku sedang telponan sama Bina, teman kuliahku dulu dan salah satu yang kuundang.

Aku tersipu malu, "hehehe maaf"

"Seneng banget ya abis nikah? Bagus deh jadi lebih bahagiakan?"

"Seneng bisa pake nama belakangnya dia."

"Yee gak gitu dong."

Ya seneng juga sih udah nikah, akhirnya jadi gak khawatir lagi untuk hidup sendirian di dunia ini.

"Belom pulang laki lo?"

Aku menengok ke jam dinding. Udah jam 9 malam sih tapi Iqbal belum pulang.

"Hmm paling bentar lagi."

"Telpon dong. Punya nomornya kan?"

Baru bertukar nomor handphone semalam, sebelum tidur. Lucu ya, namanya juga dijodohin.

"Yaudah gue tutup ya, mau mandi. Bye"

"Bye"

Aku melihat sekeliling. Aku memutuskan untuk pindah ke apartment Iqbal dan menata ulang 2 hari sebelum menikah.

Membuat dinding ruangan yang tadinya warna abu-abu menjadi putih semua. Mengganti tv menjadi lebih besar dan mengganti warna tirai jendela menjadi warna coklat. Itu semua atas izin Iqbal. Katanya agar aku nyaman dan terbiasa.

Disini juga tidak banyak foto yang terpajang. Hanya beberapa foto keluarga Iqbal di atas meja tv. Aku pun belum banyak bicara dengan Iqbal. 2 minggu adalah waktu yang singkat berkenalan dengan Iqbal, dan bisa dihitung dengan jari berapa kali aku bertatap muka dengan Iqbal.

Profesi Iqbal sebagai editor disalah satu saluran televisi memang lumayan menyita waktunya. Jadi, selama pengenalan itu hanya bertemu di hari sabtu, rabu itu juga hanya sebentar.

Hari pertama membahas pernikahan, Iqbal menjelaskan dulu tentang pekerjaannya dan bertanya apa aku gak keberatan kalau Iqbal pulang selalu pagi, dan aku bilang its okay, tanpa pikir 2x. Dia juga bilang kalau kadang dia gak pulang alias nginep di kantor, dan aku bilang its okay yang kedua kalinya dan tanpa pikir panjang.

"Assalamualaikum,"

Suamiku pulang!!

Aku segera beringsut dari sofa begitu dia membuka pintu, "Waalaikumsalam."

Iqbal menyimpan sepatunya dengan rapih di rak sepatu yang baru kubeli. Aku tidak suka melihat sepatu berserakan. Dan, untungnya Iqbal adalah orang yang rapih.

Suamiku mencuci tangannya dan mengeringkan tangannya dengan tissu.

Layaknya seorang istri, aku menghampirinya dan mencium tangannya. Saat aku melakukannya, entah kenapa ada perasaan yang aneh. Rasanya benar-benar aneh ketika aku mencium tangan pria asing yang kini jadi suamiku.

"Aku mandi dulu ya."

"Mau disiapin makan?" cegahku sebelum dia masuk kekamar.

"Kamu udah makan?" Iqbal bertanya balik,

"Udah,"

"Boleh buatin teh tawar anget?"

Aku mengangguk semangat, "Boleh. Nanti aku taruh di meja."

"Makasi ya."

Sejujurnya aku tengah mengulum senyumku, takut-takut Iqbal melihatnya.

Aku beranjak ke dapur dan menyiapkan teh tawar hangat. Aku menggunakan gelas pasangan yang diberikan oleh salah satu teman kantornya Iqbal.

Aku membuka pintu kamarku dengan siku dan mendorongnya. Kamar ini lumayan luas sehingga Iqbal membelikan aku meja kerja dan diletakan di samping meja kerjanya.

Jadi, ngebayangin deh betapa lucunya kerja disamping suamik. Ihiyyyy. Romantis kayak di drama koreyah.

"Iqbal, tehnya aku taruh di meja kamu ya." teriakku meletakkan nampan berisi teh tawar hangat dan biskuit di atas meja kerjanya.

"Iya, makasih." balasnya.

Aku membuka lemari pakaiannya. Mencari kaos dan celana yang sekiranya akan ia gunakan untuk malam ini. Hmm, tapi aku tidak tau apa dia akan mengenakan yang sudah aku siapkan atau mencari yang lebih baik. Jadi, aku letakan saja pilihanku di atas selimut.

Tanpa mengatakan apapun, aku segera keluar kamar karena aku tidak mungkin tetap didalam, saat ia akan selesai mandi. Aku tidak siap melihatnya hanya dalam balutan handuk.

Aku duduk di sofa dan membuka laptopku. Mengecek email yang masuk dari mahasiswa yang ku didik. Kadang kepalaku dibuat sakit karena ada saja yang membuat makalah acak-acakan dan tanpa sumber. Itu sangat fatal.

Huh, harus berapa kali aku bilang kalau membuat nomor halaman itu jangan manual. Arrgghhh, saat pelajaran komputer mereka pasti asik bermain paintball. Mana sumber tidak tercantum. Ini kan namanya plagiat.

"Kamu di kampus dikenal sebagai dosen killer gak?"

Aku dibuat terkejut oleh suara Iqbal. Dia sudah selesai mandi dan tentu saja mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan.

Dosen killer? Mana mungkin aku dosen killer. Aku hanya tidak suka melihat mahasiswa asik berbicara disaat aku sedang presentasi. Ada juga yang bermain handphone, jadi aku selalu menyimpan handphone mereka didalam dus khusus, jadi mereka tidak bisa berkutik.

"Enggak kok, emang aku keliatan galak?"

Iqbal tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku melihat suamiku tersenyum. Dia duduk disampingku dengan segelas tehnya. Aku terpaku pada tulisan digelasnya.

'My love' oh pasti semburat merah mulai muncul diwajaku.

"Aku mau ngomong sesuatu." Iqbal melihatku dengan sangat serius.

Aku membantunya meletakkan gelas itu diatas meja. Dan juga menyingkirkan laptopku.

•••

A story by justsummer

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AFTER MARRIEDWhere stories live. Discover now