PROSPEKTIF.

11.3K 977 37
                                    


"Penjelasannya adalah, gue mau belajar mencintai lo." Detik itu juga seluruh lampu di komplek menyala, Mya bisa menangkap jelas jika bintang benar-benar bersinar di bola mata Dewa.

Kopi terus diaduk saat air panas baru memenuhi gelas, pemiliknya tersenyum seraya menatap pantulan wajah pada jendela kaca tebal di depannya—menjadi pembatas antara lorong serta pantry. Perempuan itu meniupnya lebih dulu sebelum loloskan seteguk kopi yang membuat otot-ototnya sedikit relaks, Februari masih menyisakan hujan di sebagian kota termasuk Jakarta sendiri, rupanya rintik yang jatuh semalam masih berlanjut hingga pagi ini.

Mya bisa menikmatinya, terserah pada orang lain di luar sana. Ia letakan sendok kecil di permukaan panel sebelum melenggang keluar tanpa meninggalkan gelas kopinya, aroma nikmat terus menguar sepanjang langkah hingga ia melewati beberapa kubikel milik teman divisi marketing, Mya tersenyum tanpa perlu menyapa, ia seperti bayi yang baru lahir tanpa dosa. Entahlah, meski di langit sana belum muncul pelangi, tapi siapa pun bisa melihatnya pada rona wajah Mya Davika.

Perempuan itu duduk di balik meja seraya letakan gelas kopi, tangan-tangan kurusnya kumpulkan semua rambut yang sempat terurai bebas, ia buat cepol tinggi sebelum menguncinya menggunakan ikat rambut yang ia keluarkan dari laci meja. Mya teguk lagi kopi tadi, tapi lirikan mata bertemu dengan iris seseorang yang berdiri di balik pintu, menatapnya lewat kaca vertikal di sana.

"Masuk aja," ucap Mya meski Sakti sama sekali belum mengetuk pintu, meski ia tak tahu niat Sakti ingin masuk atau sekadar memperhatikannya dari posisi tadi. Hanya saja, Sakti tetap masuk telanjur ketahuan oleh Mya.

"Maaf ya, My. Beberapa hari ini mama nggak bisa buatin bekal, dia lagi sakit." Sakti duduk pada kursi hitam di depan meja.

"Sakit?" Mya sama sekali tak memikirkan soal bekal, toh tak enak hati juga ia mengharapkan—saat hal baik yang selalu diidam-idamkan Sania takkan terwujud, konyol jika Mya membuatnya kerepotan dengan membuatkan bekal setiap hari—sedangkan Mya sendiri tak mungkin menjadi menantu yang Sania inginkan.

"Iya, mama demam."

"Nanti pulangnya aku jenguk, ya."

"Mau bareng?"

"Ng—" Mya celingukan, padahal rupa Sakti diwarnai harapan. "Ak-aku kayaknya nggak bisa."

"Kenapa?"

"De-wa." Mya mengucapkannya lirih seraya lirik sekitar.

"Oh ya, benar juga. Gimana mungkin aku lupa soal dia." Sakti memang rasakan sesak kali ini, padahal kemarin seperti melihat sejuta kupu-kupu di taman bunga, tapi hari ini berubah ke gubuk derita. Konyol sekali, terkadang sebuah rasa senang memang suka menipu saat esok lagi pahit yang sempat tersingkir hari ini justru datang. Meski kemarin sikap Mya begitu baik padanya—bahkan sudi diantar pulang, tapi Sakti juga perlu menyadari jika Mya dimiliki seseorang.

"Iya."

"Ya udah, My. Aku juga lagi banyak kerjaan, permisi, ya." Sakti beranjak sebelum tinggalkan ruang kerja Mya, jika seseorang telah jatuh cinta, maka ia juga harus siap atas segala konsekuensinya. Keyakinan dari benak Sakti datang di saat yang tidak tepat, hadir saat waktu justru mendorongnya semakin jauh, mengetuk membawa setiap ragu.

***

"Gue belum tanya alasan lo nggak datang ke pesta barbeque gue malam minggu itu kenapa, My?" Pada akhirnya, Melody akan tetap bertanya, Mya harus siap atas segala jawab yang ia persiapkan dengan singkat.

"Malam minggu, ya?" Mya meringis sebelum menggigit bibir, jika diingat-ingat memori malam minggu adalah tentang dua menjadi satu.

Melody, Aira serta Mya makan siang di luar tanpa Dimas dan Sakti. Mereka nikmati quality time sebagai sesama karyawati, cukup jarang ketiganya bisa makan seperti itu. Untung saja Dimas sempat menolak pergi saat ia berkata jika harus makan siang dengan kekasihnya di luar, sedangkan Sakti tak ingin pergi ke mana-mana, mungkin saja semangatnya anjlok usai menemui Mya di ruangannya pagi tadi. Siapa yang tahu.

Jika, Mungkin (completed)Where stories live. Discover now