MANUSIA KEPARAT.

10.9K 935 46
                                    


Jan lupa taburan bintangnya, komentar juga ya ❤❤

***

"Apa yang kamu lakukan Dewa?" Mya menatap suaminya seraya menggeleng tak percaya, benarkah semua ini harus terjadi saat ia merasa segala hal yang menyatu antara mereka semakin membaik.

"My, aku sama Marisa udah—"

"Aku udah tahu." Mya mengulum bibir seraya menunduk, tak bisa dipungkiri ia berada dalam situasi yang tak pernah tepat, ingin sekali meledak, tapi berada di tempat yang salah, masih ada Aira dan Melody yang sejak tadi memperhatikannya penuh tanda tanya. Ia meremat hand bag seraya menahan amuk dalam dada, sebilah pedang yang Dewa tancapkan ingin lekas Mya tarik keluar.

"Mya, kamu." Saat Dewa hendak meraih tangan istrinya, Mya menghindar, ia kembali menatap nanar laki-laki itu sebelum beralih pada Aira dan Melody.

"My, lo kenapa?" tanya Melody tampak cemas.

"Iya, My. Kok tiba-tiba berubah gini, ada masalah?" Aira menambahi.

Mya memaksa tersenyum, ia sedang mati-matian membendung aliran air sungainya yang deras, jika ia bertahan lebih lama semuanya siap meluap. Wanita itu tersenyum seraya menggeleng. "Nggak apa-apa kok, kayaknya aku mau ke toilet lagi." Ia menyingkir begitu saja seraya menutup mulutnya.

"Saudara lo kenapa, Wa?" Kali ini keduanya beralih pada Dewa yang hampir mengejar, tapi suara mereka membuatnya diam.

"Mya kan—"

"Dewa! Serius ini Dewa?" Lagi-lagi suara orang lain yang menyebut namanya membuat Dewa gagal menyingkir dari sana, saat Dewa menoleh—ia menemukan teman zaman SMA dulu, mengajaknya bersua meski Dewa menyanggupinya terpaksa, ia terus melirik ke arah pintu utama ballroom yang masih tertutup rapat, tadi tubuh Mya lenyap di sana dan belum juga kembali.

Langkah Mya terhuyung menyusuri koridor disertai tangan yang sesekali menyentuh permukaan tembok di sampingnya seakan Mya tak mampu menahan berat tubuh, mungkin karena beban pikiran yang bertambah, beban batin nan menyiksa. Mya beberapa kali mengatur pernapasannya yang terasa pendek seolah malaikat tengah mempermainkan nyawanya, membuat dada Mya terasa kosong cukup lama.

Di tengah kesadarannya Mya masih mampu memesan taksi online, ia tak pergi ke toilet seperti ucapannya pada mereka tadi, untuk apa menghampiri toilet jika kemungkinan Mya mendengar suara-suara yang sama.

Wanita itu sudah keluar dari lobi seraya mengecek ponsel, ia melihat message dari aplikasi taksi online yang mengatakan jenis mobil serta posisinya, Mya bernapas lega, ia tak perlu bertahan lebih lama di tempat keparat ini.

Wanita itu terus melangkah menyusuri pelataran hotel, keluar melewati sisi gardu tempat pengambilan kartu parkir sebelum sampai di trotoar, mobil Avanza silver yang hendak ditumpanginya sudah berada di sebrang jalan. Untung lalu-lalang begitu lenggang, jadi Mya bisa lebih cepat masuk ke dalam taksi, menutup pintu agar kelamnya malam tak usah melihat air matanya yang kini berakhir tumpah.

"Sesuai aplikasi ya, Mbak." Sang supir masih menyempatkan waktu bertanya meski ia agak kikuk menyadari penumpangnya menangis.

"Iya, Pak. Jalan aja." Mya menatap ke arah luar jendela, ia belum menemukan tanda-tanda Dewa muncul di lobi. Syukurlah, lebih baik seperti itu, seharusnya tak pernah bertemu. Mobil membawa Mya benar-benar lesap dari tempat itu, tapi sekaligus menyaksikan rasa sakit yang kembali menyerangnya setelah sempat tertawa karena lingkup hangat sebuah keluarga.

Dewa keluar tergesa dari ballroom, ia berlari menyusuri lorong dan menghampiri resepsionis. "Permisi, tadi lihat istri saya lewat sini enggak? Dia pakai white dress, rambutnya diikat. Kira-kira lihat enggak?"

Jika, Mungkin (completed)Where stories live. Discover now