8. BERLARI

4.1K 871 54
                                    

Sinar sudah memahami bagian dari hidupnya yang masih begitu abu. Setiap melihat bagaimana lembar demi lembar memberikannya banyak kesakitan... Sinar menyadari bahwa masih panjang kisah untuk dirinya perjuangkan. Meski bukan untuk dirinya sendiri, setidaknya Sinar harus berjuang untuk putrinya. Jelas masih banyak pekerjaa rumah yang dia emban agar Pijar tidak merasa bahwa sudah dibesarkan oleh ibu yang gagal.

"Yang kemarin nemenin mama di rumah sakit itu siapa?" tanya Pijar.

Hari minggu mereka diisi dengan Pijar yang memaksa memijat kaki sang mama dan menonton acar tv yang tidak banyak mereka ketahui.

"Bos mama."

Pijar mengernyit, menatap sang mama yang mengganti saluran dan memilih menetap pada tayangan gosip.

"Tapi mama udah nggak kerja di sana, kan? Kok masih baik aja, sih?"

Jelas saja Pijar menilai Jonas baik. Semenjak mengenal di rumah sakit, Pijar mengagumi sosok Jonas. Sedikit dekat, tapi harus berhenti begitu saja karena Sinar yang memutuskan tak lagi bekerja di perusahaan itu. Intensitas menelepon Jonas juga belakangan tidak ada. Entah karena apa pastinya, yang jelas Sinar merasa bahwa Jonas menghindari Sinar agar tidak ada kesempatan bagi Zafar untuk mencari tahu keberadaan Sinar.

"Sekarang juga udah nggak ada bantuan dari bos mama itu, kok. Waktu itu dia bantuin karena mama nggak masuk kerja tanpa izin apa-apa. Jadi dibantuin, deh."

"Masa? Cuma itu, Ma?"

Tahu bahwa putrinya pandai memahami sebuah hubungan antara perempuan dan laki-laki berkat tayangan di sinetron yang selama ini ditonton oleh Pijar, Sinar memilih menjelaskan dengan detil.

"Pi, pak Jonas itu pernah punya adik yang jadi korban perkosaan. Meninggal dalam keadaan hamil, terus dia lihat mama yang besarin kamu sendirian makanya jadi simpati. Dia bayangin adiknya yang udah nggak ada. Jadi, mama sama pak Jonas nggak ada apa-apa, Pi."

Menyadari betul bahwa mamanya selalu menutup rapat soal siapa kiranya pria yang bisa menjadi pasangan bagi perempuan itu, Pijar memilih mengangguki saja seraya terus memijat kaki sang mama.

Yang tidak Pijar ketahui adalah rasa cemas sang mama yang kini begitu besar. Rencana demi rencana untuk melanjutkan hidup harus mulai dirinya tata. Sebab tidak akan pernah dia merasa aman jika masih tinggal di tempat yang sudah diketahui oleh Jonas. Zafar akan mencari banyak cara untuk menuntut pada Sinar yang berlari begitu saja dari pria itu.

"Pi, mama mau pindah dari sini." Kata Sinar memulai pembicaraan.

"Kok? Emangnya tinggal di sini kenapa, Ma?"

"Nggak kenapa-napa, cuma mama mau cari tempat tinggal yang lebih deket jalan, biar rame. Mama mau jualan karena udah nggak kerja lagi."

Pijar sepertinya mempertimbangkan keinginan Sinar. "Sekolah aku gimana?"

"Tetep lanjut dulu di sana. Nanti kalo udah lulus SMP-nya kamu cari SMA yang deket sama rumah baru. Sementara nanti mama beliin kamu sepeda buat berangkat lebih pagi. Jadi nggak perlu nungguin angkot lama."

Pijar menuruti rencana mamanya. Dia bukan tipikal anak yang rumit meminta ini dan itu, jelas saja ide Sinar tidak akan ditolak oleh Pijar.

"Jujur aku lebih suka mama keluar dari kerjaan begini," aku Pijar pada Sinar.

"Kenapa emangnya?"

"Soalnya kalo mama kerja pulangnya malem terus, tidur cuma sebentar nanti berangkat kerja lagi, mama kelihatan capek banget. Kalo dagang, kan, nanti aku bisa bantuin dikit-dikit. Nggak masalah capek, yang penting mama sering di rumah."

Pengakuan tersebut membuat Sinar terenyuh. Selama ini waktunya habis dengan kelakuan semena-mena Zafar yang tidak sepatutnya Sinar turuti terus. Sudah jelas Zafar hanya berusaha membalas dendamnya karena tak terima sudah ditinggalkan dan tidak tahu apa-apa mengenai Sinar dulu, tapi dia malah berpikir bahwa bantuan Zafar harus dirinya balas dengan permintaan tidak manusiawi pria itu.

"Maafin mama, ya, Pi. Kamu jadi jarang bisa ngabisin waktu sama mama." Ucap Sinar dengan tulus seraya mengusap surai putrinya.

"Iya, Ma. Aku juga tahu mama banting tulang buat aku. Makasih, ya, Ma."

Bagaimana Sinar tidak bersyukur, anak yang lahirnya tidak dalam keadaan membahagiakan itu ternyata membawa dampak tersendiri dalam hidup Sinar. Semangat yang diberikan oleh Pijar jelas sekali memengaruhi Sinar untuk lebih tegar dari apa pun.

Makasih, Sayang. Kamu anak yang luar biasa.

*

Ucapan yang Jonas sampaikan berhari-hari lalu terngiang dalam kepala Zafar hingga saat ini. Dia menampik, tetapi tidak bisa melepaskan perdebatan itu dari kepalanya. Jonas kelihatannya yakin betul dengan dusta yang Sinar sampaikan. Mana ada anak gue? Dia hamil sama laki-laki hidung belang!

"Zafar... kenapa lama sekali, sih?" kata Jinta—sang ibu.

"Aku mandi dulu tadi, Mi."

Jinta berdecak. "Mau anterin mami ke pasar aja ribet!"

Meski berasal dari keluarga berada, nyatanya ibu dari Zafar tidak pernah jijik untuk belanja langsung ke pasar ketimbang memilih kebutuhan di supermarket. Tidak ada yang salah memang, tapi terkadang Zafar dan papinya memprotes karena harus menunggu ditengah cuaca panas di pasar.

"Kenapa nggak minta anterin mang Dikin? Ini hari minggu, Mi." Masih berusaha berkilah, Zafar terus meminta ibunya agar berangkat dengan sopir keluarga saja.

"Kamu ini sukanya ngeluh terus! Hitung-hitung buat kamu latihan jadi suami yang baik, jadi kalo anterin istrimu belanja nggak aneh lagi."

Istri? Zafar tak yakin akan menikah. Meski sudah ada calon pilihan keluarganya, Zafar hanya akan mempermainkan perempuan itu lebih lama. Sebab sebenarnya Zafar tidak memiliki banyak atensi untuk menjalin hubungan serius semenjak ditinggalkan oleh Sinar.

"Malah bengong? Ayo, berangkat!"

Jinta lebih dulu masuk ke dalam mobil, sedangkan Zafar berusaha membuka kabar dari orang suruhannya untuk mencari keberadaan Sinar.

"Zafar!" Jinta kembali berteriak dengan keras karena putranya begitu lama.

"Iya, iya..." Dengan malas-malasan Zafar mengendari mobil menuju pasar langganan maminya.

"Mami denger ada rumor yang bilang ada orang ketiga di hubungan kamu sama Gewinta."

Memutar ke arah kiri, Zafar tidak mau terlihat bingung dengan pembahasan maminya.

"Rumor dari mana itu, Mi? Jelas-jelas aku jalan sama Winta beberapa hari lalu itu. Kami baik-baik aja, kok."

Jinta tidak langsung percaya begitu saja.

"Kamu nggak diem-diem cari mantan kamu yang miskin dan yatim piatu itu, kan?" tebak Jinta tepat sasaran.

"Mi..."

"Mami serius, Zafar. Kalo mami tahu ada mantan kamu itu berkeliaran dan jadi benalu, mami akan bilang sama papi kamu untuk menikahkan kamu secepatnya dengan Gewinta!"

Ucapan itu sepertinya sudah final sekali. Jinta tak mau didebat meski Zafar ingin membalas.

"Pokoknya mami nggak suka kamu tergila-gila kayak dulu lagi. Semuanya kamu kasih ke perempuan miskin itu. Lihat, kan, sekarang?! Dia pergi ninggalin kamu, jadi perempuan nggak bener. Mana hamil pula—"

"Mami tahu dari mana soal itu?" tanya Zafar ingin tahu.

Jinta menatap putranya gugup. "Berita di kampus kamu nyebar sampai ke kalangan orangtua waktu itu. Mami yang aktif kumpul sama orangtua teman-teman kampus kamu jadi denger soal itu."

Zafar tak langsung percaya. "Beneran? Mami nggak ngadu sama papi dan berbuat aneh-aneh, kan?"

Jinta memukul bahu Zafar sampai mengaduh.

"Kamu nuduh orangtua kamu sendiri! Dasar kamu, ya. Nggak usah ubah topiknya, pokoknya kamu harus nikah sama Gewinta. Titik!"

Ya, kalo gue nggak hancurin rencananya.

The Broken Black RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang