4. PEMBICARAAN

4.6K 840 60
                                    

Sinar mengambil langkah pelan untuk menyejari Jonas. Tempat mereka untuk bicara adalah tempat yang digunakan dengan mengeluarkan biaya tak sedikit. Jelas sudah Jonas memutuskan bicara di tempat yang menjaga privasi begitu kuat. Rupanya ucapan Jonas yang menyatakan bahwa Zafar akan mendapatkan izin pria itu adalah benar. Tidak tahu bagaimana cara yang Jonas lakukan, tapi cara itu berhasil. Mereka kini memiliki kesempatan untuk saling bicara mengenai semua yang Jonas mungkin tahu dan yang ingin Jonas ketahui.

"Anakmu cantik," mulai Jonas seraya membuka buku menu. Pandangannya tak terganggu sedikitpun. Berbanding terbalik dengan Sinar yang justru sibuk mencari objek lain untuk mengalihkan diri.

"Apa Zafar nggak pernah tahu bahwa anaknya—"

"Pak Jonas, saya mohon. Jangan menduga-duga yang bukan urusan bapak. Mengenai anak saya, itu hanya akan menjadi anak saya. Bapak nggak perlu mencari tahu apa pun. Jika bapak ingin menilai saya buruk, cukup lakukan itu saja, Pak. Jangan melakukan tindakan lain dengan menduga siapa anak saya."

Jonas menatap sekilas Sinar dengan rasa simpati. Sekujur tubuhnya ingin bicara bahwa kebenaran seharusnya wanita di depannya ini lakukan. Dia tidak akan mendapatkan apa pun selain kekecewaan jika meneruskan tindakan bodoh ini.

"Zafar pernah membagi ceritanya dengan saya, Sinar. Dia memotivasi dirinya sendiri untuk sesukses sekarang hanya untuk menunjukkannya pada seseorang di mana depan. Satu orang yang tidak pernah dia sebut namanya, karena katanya nama itu terlarang untuk disebut." Terang Jonas yang kali ini tidak ingin melihat menu-menu lagi.

Sinar memilih diam saja, ranah pembicaraan semacam ini tidak membuatnya bahagia sama sekali. Masa lalu hanya bisa merusaknya dengan berbagai ingatan yang membayangi seluruh isi kepalanya lalu memengaruhi perasaannya yang begitu ringkih.

"Saya pikir Zafar akan mengatakannya setelah perusahaannya menjadi besar. Dia seharusnya sudah bisa menunjukkan keberhasilannya pada orang itu iya, kan? Tapi sampai sekarangpun saya nggak bisa menerka dengan benar siapa yang Zafar maksud. Karena kalian mencoba menutupi masa lalu dengan begitu kuat."

Masih diam. Sinar tak mau ikut untuk mengenang apa yang sempat terjadi diantara dirinya dan Zafar. Itu hanya masa lalu, dan Sinar akan selalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semuanya hanya masa lalu.

"Sampai saya kembali melihat catatanmu dengan benar. Bahwa kamu pernah terdaftar di kampus yang sama dengan Zafar."

"Saya nggak pernah mencantumkannya di dalam data pekerjaan saya, Pak."

Jonas tersenyum. "Kamu ketahuan."

Atasannya ternyata memang pandai memainkan semua peran bersamaan dengan ketidakpahaman Sinar. Dia terjebak dengan cara Jonas memberi pancingan.

"Bukan begitu maksud saya—"

"Pesan dulu makanannya. Kita lanjutkan nanti lagi, ya. Dan jangan lupa memesankan makanan untuk anak kamu."

*

Selama bertahun-tahun untuk waktu yang tidak sebentar, Zafar menjadi begitu egois dan ambisius. Rasa cintanya untuk lawan jenis perlahan mati rasa karena selalu berhenti dan berakhir membandingkan semua perempuan dengan satu sosok. Seorang wanita yang dia sendiri tak mengerti apakah masih dicintainya atau dibencinya karena meninggalkannya dan menjual dirinya untuk alasan yang tak pernah dibagi dengan Zafar.

Sakit jelas menjalar dalam hati Zafar begitu menyadari sikapnya terhadap Sinar. Setiap perlakuannya pada wanita itu kurang lebih dua tahun ini tak pernah tercatat baik. Namun, semuanya tidak dilakukan tanpa alasan. Kemarahan dalam diri Zafar mengalahkan sisi kemanusiaannya. Nyawa yang seharusnya dia jaga, seperti janjinya di masa lalu, justru dia sakiti seperti ini. Kekecewaan yang dia rasakan itu karena ditinggalkan saat masih begitu sayang, marah karena Sinar tak mau membagi kesulitannya lagi dengan Zafar, gila karena tak rela membayangkan Sinar dimiliki oleh pria lain.

Begitu dia mendapatkan kesempatan, yang dilakukannya adalah menarik Sinar dan mengikatnya kuat agar tak pernah pergi lagi dari sisinya. Menyadari bahwa perempuan yang dulu menjadi kekasihnya kini sudah beranjak begitu dewasa, tertegun karena kecantikan wanita itu tak pernah berubah... semakin membuat Zafar kesal. Fakta bahwa Sinar begitu menyayangi anak dari hasil pekerjaannya yang tidak benar menambah rasa marah Zafar. Anak itu bukan hasil dari percintaan yang benar. Anak itu bukan hasil dari cara yang baik.

Jika saja Sinar tak menyerah, dulu, mereka akan memiliki buah cinta yang baik dan benar asal usulnya. Sinar tak perlu menyayangi anak haram yang Zafar benci itu. Menarik seluruh kasih sayang Sinar hingga Zafar tak melihat bahwa cinta penting bagi wanita itu. Cinta hanyalah anak haram yang Zafar bisa saja ganti dengan keturunannya.

Ah, lagi-lagi pemikiran untuk membuat Sinar hamil anaknya terngiang kembali dalam kepala. Zafar ingin mengganti posisi anak haram Sinar dengan keturunannya. Membuat anak Sinar saat ini menangis sedih karena ibunya lebih melimpahkan kasih sayang pada putra atau putri dari Zafar. Membayangkan hal tersebut membuat Zafar mendengkus senang dalam lamunannya.

"Mas Zafar?" tegur sebuah suara. Membuyarkan segala kesenangan Zafar seketika.

"Ya?"

"Mas Zafar kenapa?" tanya suara lembut tersebut.

Zafar menggeleng sambil lalu. Makan malam dengan perempuan yang lebih muda darinya itu tak lebih menyenangkan ketimbang malam-malam panjang yang sellau terasa singkat dengan Sinar. "Aku baik-baik aja."

"Oh, kukira kenapa. Kelihatannya mas Zafar mikirin sesuatu sangat serius. Aku sampai nggak bis anebak apa yang mas Zafar pikirin."

"Nggak penting untuk kamu tahu." Zafar mengiris menu daging yang jauh dari sederhana. Harga mahal yang hanya sepadan dengan seonggok daging di piring yang ukurannya tak masuk akal.

"Ehm, Mas Zafar... aku mau tanya sesuatu."

Anggukan ringan yang diberikan Zafar menjadi jawaban pada si perempuan untuk meneruskan kalimatnya.

"Kapan kira-kira pernikahan kita akan dilangsungkan, Mas? Ini udah tiga tahun dari waktu kita bertunangan."

Menghentikan gerakannya, Zafar tak memiliki napsu makan lagi karena topik semacam ini sangat memengaruhi kerongkongannya menjadi teramat kering. Tidak ada jawaban pasti, sebab Zafar tak ingin menikahi perempuan di hadapannya ini.

"Oh... sudah selama itu, ya, kamu menunggu?" balas Zafar yang memang hanya kata penghantar sebelum membuat jawaban yang tidak akan dikembalikan lagi oleh lawan bicaranya.

"Iya, Mas. Aku juga udah masuk usia 29. Kalo ada hal yang paling aku khawatirkan, itu adalah usiaku menikah. Aku sangat bahagia menunggu waktu yang tepat bagi kita untuk menikah, ini hanya pembahasan supaya kita bisa mulai menyiapkan segalanya yang kita butuhkan—"

"Gewinta." Zafar menyela ucapan panjang tersebut dengan menyebut nama si empu.

"Ya?"

"Sesuai katamu, kamu bahagia menunggu waktu yang tepat bagi kita untuk menikah. Jadi, apakah kamu bisa menunggu dengan bahagia sampai aku menemukan waktu yang tepat itu?"

Meski heran mendengar jawaban semacam itu, Gewinta hanya bisa mengangguk dengan senyuman yang dipaksakan. Dia nampaknya tak pernah menjadi diri sendiri karena menaruh rasa cinta untuk Zafar. Sedangkan di sini, yang merasakan gelombang tersebut jelas sepihak saja. Gewinta membuang waktunya yang dimanfaatkan oleh Zafar saja. Memanfaatkan Gewinta karena tak ingin dinilai oleh Sinar sebagai pria yang tidak bisa berpaling darinya.

"Iya, Mas. Aku bisa menunggu kamu."

Dan kebodohan memang seringnya terjadi pada pihak perempuan.

The Broken Black RoseWhere stories live. Discover now