6. LURUH

4.4K 876 66
                                    

Bagi sebagian orang kekecewaan adalah ketika tak mendapatkan apa yang mereka mau. Namun, bagi Sinar berbeda. Kekecewaan adalah disaat dia tak tahu menahu, tidak menjaga dan tidak memiliki apa-apa untuk menyambut apa yang Tuhan berikan padanya. Menyadari betul bahwa Yang Maha Kuasa selalu memiliki jalannya sendiri, tetapi Sinar tidak menyangka akan sebegininya jalan yang dilaluinya. Sakit yang dirasanya dari batin bukan hanya untuk dirinya saja, melainkan juga pada nyawa tak bersalah yang tidak dia ketahui, bahkan tak menyangka bahwa ada nyawa yang hadir dalam tubuhnya. Sinar sudah sepandai mungkin memakai kontrasepsi, bahkan Zafar juga dia minta memakai pengaman—bodoh! Beberapa hari ini Zafar selalu keluar di dalam!

Kini Sinar hanya bisa memaki dalam hatinya. Apalagi yang akan dia terima selain penghargaan bodoh? Kenapa dia menuruti begitu saja kemauan Zafar hingga bukan hanya menyakiti dirinya sendiri, melainkan calon anak yang lebih disayang Tuhan dengan diambil nyawanya dari rahim Sinar. Jelas tidak akan ada yang menyangka, tidak dirinya pun tidak Pijar, bahwa sakit yang dideritanya adalah karena adanya nyawa lain yang tidak sanggup bertahan hidup dalam tubuh Sinar.

"Kamu mau bagaimana sekarang, Sinar?" tanya Jonas yang sedari tadi tidak absen membantunya.

Satu yang begitu Sinar syukuri adalah adanya Jonas yang sigap membantu. Coba saja jika Pijar yang mengetahui hal ini, sebagai ibu dia pasti akan sangat malu dan akan sangat mengecewakan Pijar. Diusianya dia sudah paham mengenai keberadaan seorang bayi. Fakta bahwa anak itu tidak dilahirkan dengan orangtua lengkap saja sudah melukai begitu dalam, bagaimana jika Pijar mengetahui fakta bahwa Sinar hamil tanpa menikah? Tuduhan demi tuduhan dalam kepala Pijar akan semakin menguatkan anak itu untuk membencinya.

"Saya... jujur saya ingin lepas dari semua ini, Pak. Tapi saya nggak tahu bagaimana caranya."

Jonas bersedekap, menghirup udara untuk berpikir lebih jelas. Masalah rumit yang dialami Sinar bukan hanya melibatkan perempuan itu dengan atasan saja, juga melibatkan Jonas pada sang teman. Ini akan tetap menjadi masalah besar, Jonas tahu betul tatapan Zafar pada Sinar bukan sekadar nafsu melainkan cinta dan ambisi. Jika Jonas ikut campur terlalu dalam, Zafar akan mengira bahwa Jonas tertarik pada Sinar yang dianggapnya sebagai adik. Pun Jonas tak yakin bahwa Zafar akan diam saja terhadap Sinar nantinya.

"Dalam kepala saya hanya ada satu cara supaya kamu bisa terbebas dengan semua ini. Tapi jelas saya nggak tahu apakah ini akan memengaruhi hubungan kamu dan Zafar semakin hancur atau tidak. Jujur saya nggak mengerti hubungan kalian, di masa lalu maupu di masa sekarang. Itu sebabnya saya nggak bisa membaca apa yang sebenarnya Zafar lakukan terhadap kamu ini. Saya bisa katakan ini sebagai pelecehan, Sinar. Kamu mendapatkan kekerasan dari Zafar. Bahkan dokter bilang ada lebam di pinggang kamu."

Sinar menghindari tatapan Jonas dengan menoleh pada jendela. Dia tahu bahwa dirinya sudah begitu rusak karena satu orang. Sejak dulu bahkan sekarang. Sinar membutuhkan tempat cerita, sayangnya tidak bisa. Sinar tidak bisa membuka aibnya sendiri pada orang lain. Bahkan keluarganya yang masih hidup saja tidak peduli apakah dirinya masih hidup atau tidak. Apalagi Jonas? Apakah Sinar bisa menceritakan segalanya pada Jonas?

"Saya nggak tahu, Pak. Saya nggak tahu mana yang salah dan mana yang benar dengan semua yang terjadi dalam hidup saya."

"Sinar? Apa maksud kamu?"

Ada jeda yang sengaja Sinar berikan. Dia mencoba memikirkan kembali dalm rentang waktu yang sudah berjalan begitu banyak. Hingga putrinya sudah sebesar sekarangpun dia masih melakukan banyak kesalahan. Ditambah dengan kejadian keguguran ini... dia rasa hatinya sudah mati rasa.

"Tolong bantu saya, Pak. Tolong bantu saya keluar dari kantor itu! Bantu saya untuk terlepas dari semua ini. Bantu saya melepaskan diri dari orang itu." Zafar.

*

Sebagai orang asing yang tiba-tiba saja menjadi keluarga dekat dari Sinar, Jonas memiliki tugas pertama untuk mengatasi kepanikan anak Sinar ketika dirinya menjemput Pijar di sekolah dan mengatakan bahwa mamanya ada di rumah sakit. Mulanya anak itu menolak untuk langsung percaya, mungkin mengira bahwa Jonas adalah penipu yang ingin menyuliknya. Begitu Jonas menelepon nomor Sinar dan suara perempuan itu meminta anaknya untuk percaya pada Jonas barulah drama tangis Pijar dimulai.

"Kan aku udah bilang... mama harusnya nggak suruh aku ke sekolah! Mama itu pucet banget tadi pagi, aku cemas banget. Kenapa mama ngeyel, sih!?"

Jonas memberikan waktu bagi keduanya untuk bicara. Dia tak mau mengganggu dan memilih kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa urusan.

"Hei. Mama udah nggak apa-apa. Ini udah baikkan, kok."

Bohong jika dia merasa baik. Prosedur kuretase tidak semenyenangkan itu untuk dilalui. Ada rasa kehilangan dan rasa sakit yang lebih parah ketimbang melahirkan bayi yang ditunggu selama kurang lebih sembilan bulan dalam kandungan. Ini lebih tragis dari proses operasi untuk melahirkan. Rasanya... sulit untuk Sinar gambarkan.

Pijar akhirnya bisa menekan tangisannya. Dia mengusap pipinya dan bertanya, "Emangnya mama sakita apa kata dokternya?" Pertanyaan yang tidak akan bisa Sinar jawab dengan jujur.

Memberikan senyumannya pada sang putri, Sinar mengusapi wajah anaknya yang begitu menyerupai Zafar versi perempuan itu.

"Kenapa mama malah senyum aja?"

Sinar berusaha tidak menumpahkan tangisannya. Meski rasa sedih menyeruak naik. Menelan ludah yang begitu sakit karena harus ia tahan tangisannya.

"Nggak ada sakit. Mama cuma kecapekan, intinya mama harus istirahat yang banyak."

Pijar mengerutkan dahinya. "Masa? Nggak ada bilang apa gitu dokternya?"

Sinar menggelengkan kepala berusaha kembali meyakinkan. "Nggak ada. Kamu harus tahu, Pi. Di negara ini, semua keadaan orang yang sakit nggak pernah dikasih tahu panjang lebar sama dokternya. Mereka cuma periksa, catet-catet, nanya-nanya keluhannya, ngecek-ngecek, suntik ini itu, nyuruh makan, udah. Kecuali kamu bayar mahal dokternya buat sesi konsultasi lebih dalam. Itu juga kalo dokternya nggak padat jadwalnya, kalo padat paling cuma angguk-angguk, 'hm, baik kondisinya.', 'hm, nggak ada yang perlu dicemaskan.' itu aja, Pi."

Anak itu mendecak dengan kesal. "Duit mulu otaknya!"

Sinar tertawa, lebih tepatnya memaksakan tawanya, karena ucapan sang anak. "Wajar, dong! Mereka juga ngeluarin duit banyak buat jadi dokter terkenal seperti sekarang."

"Tetep aja nggak adil! Mereka itu jahat!"

"Sayang, nggak gitu. Mungkin aja ada prosedur yang membuat mereka harus lebih memilih diam daripada membebani pasien sampai mentalnya bikin kondisi pasien lebih parah. Atau ada kode etik lainnya. Kita harus tetap positif. Nggak semua hal seperti yang kita mau, meskipun terdengar jahat, tapi memang kita yang harus mau mengerti keadaan bukan sebaliknya. Itu gunanya manusia bisa beradaptasi, untuk mengerti kondisi."

Pijar menunduk, memeluk Sinar seraya berkata, "Aku bangga banget punya mama. Aku mungkin nggak akan secerdas dan sekuat mama kalo bukan mama yang jadi mama aku."

Sinar menguatkan putrinya untuk memeluknya, supaya anak itu tak tahu bahwa tetesan airmatanya membasahi pipinya diam-diam.

Andai saja kamu tahu ayahmu juga cerdas, kamu akan bangga, Pi.

The Broken Black RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang