Rinai tidak ada pilihan lagi selain memanfaatkan kebaikan Faeesan. Ia masih ingat apa kata pria itu beberapa jam yang lalu.

"Ini kartu nama saya. Di sana ada alamat saya. Kalau kamu butuh bantuan, pergi saja ke sana."

Dan Rinai butuh bantuan itu sekarang. Semoga saja Faeesan tidak menyimpan dendam padanya dan menolong Rinai mencarikan tempat tinggalnya. Walaupun harus berhutang dulu. Demi mempertahankan hidupnya, untuk sekali ini saja Rinai akan menurunkan egonya.

"Terpaksa. Pokoknya kalau gue udah punya banyak uang, nggak bakal berhubungan lagi sama dosen sialan itu." Mau meminta tolong saja Rinai masih berceloteh tak jelas.

Sebelum melangkahkan kakinya masuk, Rinai menghirup udara sebanyak-banyaknya dan melepaskan secara perlahan.

"Tenang, Nai. Kalau dia macem-macem sama lo, tinggal tendang aja senjatanya."

Kini Rinai merasa lebih baik. Kalimat penyemangat itu memberi aura positif untuknya. Tanpa ragu lagi Rinai mulai berjalan.

Apartemen Faeesan ada di lantai 18 nomor 100. Rinai menggunakan patokan itu agar tidak tersesat. Lift berdenting sekali. Beberapa orang keluar dari sana. Setelah kosong, barulah Rinai masuk dan menekan tombol 18.

"Kok gue dingin, ya?"

Rinai berusaha mengenyahkan rasa gugupnya. Ini pasti efek akan bertemu dosen playboy, pikir Nai.

Tak butuh waktu lama, lift kembali berdenting sekali dan pintu terbuka. Lorong sepi langsung menyambut kedatangan Rinai. Ia melangkah keluar dan memperhatikan kiri kanannya. Tidak ada siapapun yang terlihat. Hanya ada dirinya yang berdiri seperti orang bodoh.

"100..mana ya?" gumam Rinai sambil mencari pintu bertuliskan angka genap itu.

Dapat! Tepat di ujung lorong Rinai menemukan kamar Faeesan. Tidak salah lagi, ini pasti tempat tinggal pria itu.

Tangan Rinai sudah siap menekan tombol bel. Tetapi, niatnya terurung karena ingat sesuatu.

"Yakin nih? Kalau ada istrinya terus gue dituduh selingkuhan dia gimana? Bisa gawat, ntar," ucap Rinai pelan.

Mungkin itu pula yang membuatnya gugup. Ia takut Faeesan telah beristri dan ia malah dilihat sebagai wanita perusak rumah tangga orang.

Rinai menggeleng. Yang menyuruhnya ke sini adalah dosen itu sendiri. Kalau istrinya sampai menuduh yang tidak-tidak, maka Rinai bisa menunjuk Faeesan sebagai pelaku utama. Ya, itu bisa menjadi alternatifnya.

Bel berbunyi panjang. Rinai mempersiapkan dirinya menemui Faeesan. Sudah menunggu 30 detik namun sosoknya tidak keluar juga.

Tenong..

Ditekannya bel sekali lagi. Hampir satu menit kemudian masih belum ada respon apapun.

"Nih dosen kemana, sih. Jangan-jangan dia ngasi alamat salah. Kalau bel terakhir nggak ada respon juga, gue cabut aja. Trus gue sumpahin dia cere. Aamiin." Rinai mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Setelah itu kembali menekan bel. Kali ini dengan tidak ikhlas.

Matanya berbinar. Ia mendengar sesuatu dari balik pintu. Itu pasti Faeesan.

Syukurlah, Rinai tidak salah alamat.

Namun, saat pintu terbuka Rinai menganga lebar dan matanya membulat. Pemandangan macam apa ini?

Faeesan, pria itu berdiri tanpa rasa bersalah dengan celana pendek dan bagian atas tanpa sehelai baju pun. Menyuguhkan perutnya yang atletis dan kotak-kotak. Kalau kata remaja zaman sekarang, roti sobek.

"Senja? Ada nyamuk tuh mau masuk mulut kamu," celetuk Faeesan menegur wanita di depannya.

Sontak Rinai segera memperbaiki mimik wajahnya. "Bapak ngapain, sih pake buka baju segala. Abis main sama bini, ya?"

"Gue pikir dia masih polos," kata Faeesan dalam hati.

"Saya abis tidur. Kamu datang-datang malah gangguin tidur saya."

"Kan, bapak yang kasi kartu nama ke saya. Ya, saya datanglah."

"Masuk," titah Faeesan mundur selangkah dan membukakan pintu lebih lebar lagi.

Keraguan Rinai kian bertambah. "Nggak apa, pak? Saya takut istri bapak marah-marah." Bagaimanapun juga Rinai tidak ingin namanya buruk untuk kedua kalinya.

"Masuk aja dulu," ujar Faeesan.

"Aman nih, pak?"

"Mau saya apa-apain kamu juga nggak ada yang marah. Saya sendiri."

Pipinya merona. Bukan karena tersipu Faeesan menggodanya. Rinai malu mendengar kalimat itu. "Nggak gitu juga kali pak, bilangnya."

"Kamu mau di luar atau ke dalam?"

Akhirnya Rinai pasrah. Ia menarik kopernya masuk ke apartemen pria yang dulu pernah menjadi dosennya. Asing dan aneh rasanya berdua di dalam satu ruangan. Apalagi ini milik Faeesan.

"Kamu duduk di sana. Saya mau ke dapur ambilin minum."

"Pak," panggil Rinai.

Faeesan berbalik. "Apa? Mau request?"

"Bukan. Itu..bajunya dipakai dulu," ucap Rinai pelan, takut kalau Faeesan akan marah.

Pria di depannya memasang smirk. "Kenapa? Kamu malu lihat otot perut saya?"

"Enak aja. Saya tuh tamu bapak. Harusnya bapak sopan, dong. Lagian saya juga cewek," balas Rinai membela dirinya.

"Ini apartemen saya. Milik saya. Dan saya berhak mau ngapain aja."

Tanpa mendengar jawaban Rinai, Faeesan langsung menuju dapur. Dia akan mempersiapkan minuman untuk mantan mahasiswinya itu.

Di tempatnya Rinai mendengus kasar. Ia tidak yakin hidupnya akan aman-aman saja setelah ini.

***

Nah, loh. Rinai bakal diapain ya, nanti?

enaknya diapain nih, gais? kasi saran lah

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Jerk LecturerWhere stories live. Discover now