3. Dalam Sebuah Acara

28 20 4
                                    

Aninda Ghea

Seluruh perempuan di dunia ini pasti setuju denganku, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam polos itu tampan. Apalagi, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam itu adalah orang yang kita sukai. Mau pura-pura tidak memperhatikan pun rasanya sulit. Mata ini, tanpa disuruh selalu mencuri-curi pandang padanya.

“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku menahan senyum saat Lambang bertanya seperti itu padaku, suara berat milik Lambang yang sudah kuhafal diluar kepala, membuat mataku spontan menatap wajahnya yang kini sedang duduk di hadapanku.

“Oh, gak apa-apa kok, Lam. Udah gak apa-apa kok ini.” Aku berujar dengan sehalus mungkin, berharap Lambang akan bertanya kembali.

“Syukur deh kalau udah gak apa-apa.” Aku langsung menghela napas saat lagi-lagi Lambang mengakhiri percakapan kami seperti ini. Dia lalu tersenyum, sambil menenggak sprite, minuman kesukaannya.

“Jangan banyak-banyak minum soda, Lam.” Lambang tidak menjawabnya, dia hanya terkekeh dan meminum minumannya lagi. Niat hati ingin membuka obrolan kembali, tapi sayang dia tidak tertarik.

Beautiful, nih salepnya, pakai gih biar gak sakit bahunya. Eh, Lam, Tissa mana?” aku menoleh dan menemukan Syailendra yang sudah berdiri disampingku. Sepertinya dia terburu-buru datang ke rumahku, sampai tidak sempat mengganti pakaian kerjanya.

“Tissa di kamar mandi, Ndra, lagi ganti baju.”

“Gak lo tungguin?”

“Ngapain gue tungguin?”

“Yaaa jaga-jaga aja, takutnya ada apa-apa kan di kamar mandi?” apa sih Syailendra? Ampun deh!

“Yaudah, coba bentar gue cek deh,” dengan tersenyum, Lambang bangkit lalu berjalan menuju kamar mandi rumahku.

“Kamu nih apaan sih?! Emangnya Tissa anak kecil apa segala harus di tungguin pas di kamar mandi?!” Aku langsung mengomel ketika Syailendra sudah duduk disampingku.

“Itu lebih baik daripada dia berduaan begini sama kamu.”

“Berlebihan kamu, Ndra.”

“Iya, iya. Aku berlebihan. Udah, ini pakai dulu salepnya.”

“Gak perlu, tadi udah di pakaiin sama Tissa di mobilnya Lambang.” Syailendra langsung mengangguk-anggukan kepalanya lalu menaruh salep nyeri otot itu di meja taman halaman belakang rumahku.

Tadi, aku, Lambang dan Tissa sedang bermain tenis. Kenapa hanya kami bertiga? Karena Syailendra masih bekerja. Setiap akhir pekan, kami memang selalu menghabiskan waktu bersama. Double Date, begitu orang-orang bilang.

Rencana kami, malam hari ini ingin ngumpul biasa saja di rumahku sambil bakar-bakar ayam atau ikan. Itu ide dari Lambang yang langsung kami setujui. Oleh karenanya, sambil menunggu Syailendra pulang bekerja sore hari tadi, Tissa mengajak kami untuk bermain tenis dulu. Tapi siapa sangka, bahuku malah keram dan kaku karena terlalu banyak set yang kami mainkan.

Ya setidaknya aku cukup puas melihat wajah khawatir Lambang karena melihatku yang kesakitan, aku tidak memberitahu Syailendra perihal bahuku yang sakit, kupikir nanti juga akan sembuh dengan sendirinya tapi Tissa malah memberitahu Syailendra, jadilah cowok dengan stelan kerja yang sudah awut-awutan itu datang dengan cepat ke rumahku.

“Eh, Ndra? Lo langsung kesini? Gak baik dulu? Biasanya balik dulu ganti baju?” aku mendongak, baru sadar kalau Tissa sudah berdiri sambil melipat baju kotornya. Syailendra hanya tersenyum, lalu menoleh padaku yang sedang mencari-cari seseorang.

“Lambang mana?”

“Pulang, ambil ayam yang dia pesan ke ibunya tadi. Jadi kan bakar-bakarnya?”

“Jadi lah,” jawabku, Tissa menarik bangku untuk duduk, setelah duduk, dia memberikan Syailendra teh kotak yang memang sudah ada di meja.

“Buru-buru banget lo kayaknya, Ndra.” Aku mendengar Syailendra tertawa geli.

“Iya, tapi tetep gak guna sih buru-buru juga.”

“Gak guna?” Tissa mengangkat sebelah alisnya, sementara aku mengambil sedotan teh kotak yang tadi Tissa berikan kepada Syailendra untuk aku buka plastiknya.

Tissa ini temanku, teman semasa SMA, semasa kuliah dan teman sekantorku. Kami sudah berteman cukup lama, sampai kami terlalu saling mempercayai.

“Mau ganti baju kamu?”

“Enggak usah lah, gini aja emang kenapa? Aku tinggal lepas dasi sama jas aja, kok. kenapa? Kamu malu? Penampilanku gak keren kayak Lambang?” aku melotot saat Syailendra berkata seperti itu, reflek kucubit saja pinggangnya. Bukannya mengaduh dia malah terkikik geli sambil mengambil sedotan dari tanganku dan mulai meminum teh kotaknya.

“Apa sih kamu ngomongnya?!” Syailendra tertawa keras sambil mengigit sedotannya, karena dia langsung menoleh padaku saat aku berkata seperti itu mau tak mau aku juga memaksakan tertawa kecil, agar Tissa tidak salah paham dengan apa yang tadi Syailendra katakan.

“Becanda sayang,” Syailendra mengusap-usap kecil kepalaku tanpa melepaskan senyum geli di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang teh kotak, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi teh kotak kemasan itu seperti sedang di remas kecil oleh tangan Syailendra.

.
.
.
.
.

[Bumi Series] Aku Melihatmu Saat Melihat Bunga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang