Ritual

2.3K 74 2
                                    

Sepekan berjalan, Wulan telah melakukan puasa putih dan mandi setiap tengah malam. Tubuhnya terasa sedikit lemah karena selama sepekan hanya mengonsumsi nasi putih. Tapi dia mengabaikannya.

Niatnya sudah sangat bulat, dan dendamnya pada Doni begitu kuat. Dua hal itu menjadi penyemangatnya dalam melaksanakan syarat dan ritual.

Tibalah hari dia harus melaksanakan syarat terakhir, yakni berendam di pertemuan dua sungai, atau tempuran.

Sesudah magrib Wulan telah menyiapkan diri. Beberapa perlengkapan dan syarat sudah dimasukkan dalam tas.

Tepat pukul 22.00, dia mengendarai sepeda motornya seorang diri, menuju pinggiran kota di sebelah selatan, tempat pertemuan dua sungai.

Setelah memarkir sepeda motor di tempat yang dirasa aman, perlahan Wulan menuruni lereng sungai. Dia merasa waswas, takut jika tiba-tiba bertemu ular atau binatang lainnya.

Selangkah demi selangkah, dia menapakkan kaki di tanah pinggir sungai. Hanya ada cahaya bulan yang menjadi penerang di tempat itu. Rumah warga terletak cukup jauh dari situ.

Tubuh Wulan hanya ditutup oleh selembar kain. Perlahan kakinya menyentuh air sungai yang dingin. Wulan mulai ragu saat merasakan dinginnya air. Namun tekadnya kembali bulat saat ingat bahwa ritual lain telah selesai dia lakukan.

Air sungai sudah mencapai betisnya yang putih. Wulan terus melangkah menuju tengah. Dia harus memastikan air sungai mencapai lehernya.

Setelah beberapa menit berendam, dia tidak lagi merasa dingin. Air sungai yang mengalir justru terasa hangat. Matanya yang terpejam, membuatnya setengah mengantuk.

Tiba-tiba Wulan mendengar suara air sungai terpercik, seperti ada seseorang yang melemparkan batu ke sungai. Dia mengabaikan suara itu.

Lalu, terdengar suara mendesis di dekat telinganya. Disusul dengan sesuatu yang panjang dan dingin merayap melilit lehernya. Wulan ketakutan. Dia tahu itu adalah ular.

Saat membuka matanya, ular yang melilitnya memiliki kepala seperti kepala ayam. Mata makhluk itu mengerjap-ngerjap. Sementara, di tepi sungai, dia melihat makhluk lain, bertubuh besar dengan kulit kehijauan. Matanya merah menyala.

Wulan sudah hampir berlari meninggalkan tempat itu. Untung saja dia ingat pesan dari Pak Kromo, bahwa dia harus mengabaikan semua gangguan. Jika tidak, dia tidak akan menikah seumur hidupnya.

Belum cukup 10 menit Wulan melanjutkan ritualnya, telinganya kembali mendengar suara-suara aneh. Bukan gemericik air sungai, tapi seperti air yang mengalir ke sungai.

Dari atas rumpun bambu, mengalir air, seperti seseorang sedang buang air kecil. Wulan menoleh ke atas. Dia melihat sesuatu. Di bawah temaram cahaya bulan, sosok itu tampak seram. Meski samar, Wulan bisa melihat bahwa sosok itu tinggi besar, tubuhnya berbulu.

Makhluk itu dengan santainya buang air kecil ke sungai. Rasa jijik yang dirasakan Wulan melebihi rasa takutnya. Dia ingin marah dan keluar dari tempatnya berendam. Tapi, lagi-lagi peringatan Pak Kromo seperti terngiang di telinganya.

Makhluk itu meluncur turun, kemudian mendekati Wulan, sambil nyengir. Wajahnya sangat memuakkan. Air liurnya menetes, lidahnya menjulur keluar. Sorot matanya seperti ingin menelanjangi Wulan.

Wulan mengabaikan makhluk menjijikkan itu. Tapi makhluk itu terus berjalan hingga jaraknya hanya sejengkal dari Wulan. Baunya anyir, air liur yang menetes ke air sungai, memercik ke wajah Wulan.

Makhluk itu terus berjalan, sampai dia berlalu di kelokan sungai, dan menghilang.

Tumbal Pengasihan Nyi Selasih TempuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang