BAB 3 Penawaran Kontrak

44.4K 545 29
                                    

Terjebak Hantu Mesum (3)

BAB 3 Penawaran Kontrak

Pilihan kontrak. Pertama, aku bisa melunasi pinalti dengan memberikan satu tumbal manusia setiap bulan seumur hidup. Kedua, aku bisa membayarnya dengan menjadi karyawan magang dan menyelesaikan setiap misi yang diberikan pihak manajer pesugihan.

Jadi, aku memilih opsi yang kedua. Soalnya, kata Kiwi, cukup menyelesaikan empat misi ajah, aku sudah bisa bebas. 

Dan setelah menandatangani kontrak baru, aku pun secara mistis dan ajaib kembali ke kamar. Kiwi beserta makhluk aneh—ular besayap kelelawar telah menghilang.

Apa aku harus menemui psikiater, ya?

*** 

"Bwahahaha!" Rian ketawa ngakak banget begitu aku selesai menceritakan semua yang sudah terjadi. Farhan juga sama.

"Fix, sih. Lo harus ke psikolog." Rian masih ketawa sambil memegangi perut kerempengnya.

"Nggak! Nggak! Jangan ke psikolog, udah level parah inimah, harus ke psikiater." Farhan ikut jadi kompor meleduk.

"Mahasiswi mana yang membuatmu sampai seperti ini, Bujang!" Rian masih belum puas buat ngeledek kayaknya.

"Dia kayaknya masih nggak terima kalau ternyata Bu Silvi udah punya suami. Wkwk." Farhan nggak mau kalah banget kalau soal ledek-meledek.

Sial!

Harusnya aku nggak cerita sama dua curut ini.

"Ken, kok diem ae?" Farhan akhirnya berhenti ketawa. Manusia paling cinta batik sedunia sehingga semua baju, kaus, dan jaketnya bertema batik. Sekarang pun dia pakai batik cokelat motif Pring Sedapur khas daerah Magetan, celana dominan hitam dengan motif batik—Geblek Renteng khas Kulon Progo, aku tidak yakin karena tidak tahu banyak tentang motif batik. 

Motto hidup Farhan itu, tidak apa makan nasi dengan mie gelas seribu lima ratusan, asalkan pakaian harus batik asli. Secinta itu dia, salut sih.

"Lo nggak serius kan, Ken?" Rian juga berhenti ketawa. Makhluk ceking kerempeng kek triplek ini sebenarnya baik. Tapi, jiwa humornya itu tinggi banget. Kalau lagi kumat, orang napas doang ajah diketawain.

Tapi, ya, karena ada makhluk kaya dia ini suasana jadi rame terus. 

"Kayaknya kalian bener, dah. Gue harus ke psikiater." Aku menyugar rambut yang udah sebahu dan belum sempat dicukur.

Farhan sama Rian saling memandang.

"Memandangmuuuu … dih jijik!"

Wadaw!

Rian-Farhan kompak banget ngelemparin bantal sofa ke muka tamvan ini.

*** 

Mengikuti saran Rian-Farhan, aku memutuskan untuk menemui psikiater. Kebetulan, kakak perempuan dari salah satu temanku di kampus adalah seorang psikiater. Dengan kekuatan orang dalam, aku pun bisa langsung konsultasi sore ini juga.

Dokter Sarah—psikater yang menanganiku—menyambutku dengan ramah di ruangannya. Ruangan dengan nuansa putih, bunga segar di vas, suara instrumen lembut, membuat suasana terasa sangat tenang.

"Sore, Dok. Saya Ken Jalawersa, temannya Sofia." Aku memperkenalkan diri.

"Oh, saya kira Ken Arok." Dokter Sarah tersenyum, memperhatikan deratan gigi putihnya. Nyaris sama dengan Sofia, Dokter Sarah juga cantik. Hidungnya bangir, kulitnya putih, rambut kecoklatannya diikat tinggi. Gen ayah mereka yang berasal dari Eropa sangat kental sekali.

Aku tersenyum menanggapi candaan Dokter Sarah. Namun, tetap merasa sedikit gugup. Ini kali pertama aku konsultasi dengan psikiater.

"Jadi apa keluhannya, Ken?" Dokter Sarah menatap dengan bola matanya yang kecoklatan.

Aku menunduk menghindari tatapan matanya. "Gini, Dok. Kemarin malam saya mengalami halusinasi yang terasa nyata banget. Saya merasa diganggu hantu, diperas, dan dirundung. Semua itu benar-benar seperti nyata, tapi juga seperti mustahil."

Aku lantas menceritakan semua detailnya. Dokter Sarah juga pandai mengendalikan suasana sehingga aku bisa bercerita dengan santai dan tenang. 

Setelah itu, aku juga menerima beberapa tes—menebak ekspresi gambar, menjawab pertanyaan tentang bagaimana jika aku dalam suatu kondisi, memilih benda jika aku berada di satu tempat, dan lain-lain.

Setelah semua tes itu selesai, Dokter Sarah memberiku resep. Katanya obat penenang berdosis rendah. Dia juga memintaku untuk menjaga kesehatan, baik secara jasmani maupun jiwa. Tidak memaksakan diri menyelesaikan skripsi dan tidak memaksakan diri bekerja telalu keras.

Sedangkan untuk mengetahui kondisi jiwaku, dibutuhkan evaluasi dan konseling lanjutan. Jadi kami membuat janji temu, konseling dilakukan dua minggu lagi di hari dan jam yang sama dengan hari ini.

*** 

Begitu tiba di rumah, aku melempar kunci motor sembarangan. Mengempaskan tubuh ke sofa, melempar tas punggung ke lantai.

Sial.

Gara-gara penasaran doang sampai berakhir konseling dengan psikiater.

Tidak seperti Farhan atau Rian, aku punya rumah sendiri. Papaku seorang kepala polisi, sedangkan mamaku dokter umum di rumah sakit swasta. Namun, mereka bercerai saat usiaku masih delapan tahun. Aku ikut Mama. Namun, setelah lulus sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk hidup mandiri dan tinggal sendiri di rumah kontrakan. Tapi, Papa membelikan aku rumah beserta perabotannya. Papa juga memberi aku motor sebagai sarana transportasi ke kampus. 

Jika bicara soal uang, aku tidak kekurangan uang sama sekali.

Aku ikut pesugihan karena gabut dan penasaran ajah.

Tapi, malah berakhir ngenes seperti ini.

Padahal aku ikut tinju bebas ilegal selama ini baik-baik saja. Cuma pernah tertangkap sekali, tetapi langsung dibebaskan dengan kekuasaan Papa—tentu saja.

Arghhh!

Bangkit duduk, aku mengacak rambut frustrasi. Gimana kalau Ayesa nanti tahu aku pergi menemui psikiater, bisa ilfeel gadis idamanku itu.

Ini semua gara-gara Mang Yana!

Coba dia nggak cerita aneh-aneh.

Aku mengusap wajah kasar. Bangkit berdiri menuju kamar mandi. Siapa tahu air dingin bisa menjernihkan pikiranku.

Menanggalkan semua pakaian yang melekat, aku membiarkan air dingin membasahi seluru tubuh. Aku memejam merasakan sensasi dingin yang segar.

"Abang! Ihh, punya Abang kecik."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terjebak Hantu MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang