3. Kalau hati sudah tidak di sana, di mana aku bisa melabuh?

886 193 6
                                    

"Seungmin? Yang terkenal satu kota itu? Ketemu sama kamu? Kok bisa?" Changbin lagi makan kripik kentang.

Walaupun mereka vampir yang secara teori tidak butuh makan, minum, dan tidur, hidup bersama manusia membuat mereka jadi adaptif dengan makanan dan gaya hidup mereka. Apa itu kelelawar? Vampir di sini hampir kehilangan jatidiri.

"Itu enak? Minta dong," tunjuk Hyunjin. Tuh, dia juga ikut ngemil kripik akhirnya. Dia mengangguk mengiyakan pertanyaan Changbin barusan.

"Waktu itu dia lagi cari gantungan kunci yang jatuh di depan rumah. Terus aku bantu cari pakai bau, kan. Eh, bau dia ngikut. Manis banget. Banget, sumpah. Aku nggak bohong."

Changbin tergelak. "Dih, mana Hyunjin suka yang manis-manis, yak? Terus, gimana?"

"Terus, yaudah."

"Nggak ada lanjutannya?" Kini, giliran Chan, si rambut blonde yang bertanya.

"Ada, sih. Waktu aku nongkrong di atap, dia tiba-tiba dateng sambil teriak 'Cari mati ya?!'," kata Hyunjin, mengutip kalimat dan nada bicara Seungmin waktu itu.

Omong-omong, mereka sedang berkumpul di rumah Hyunjin sepulang sekolah. Biasalah, nongkrong.

Chan dan Changbin tertawa menanggapi perkataan Hyunjin. "Kok bisa? Nggak inget kalau situ vampir apa gimana?"

Hyunjin mengangguk. "Kayaknya sih gitu." Dia berbaring di lantai, menatap langit-langit kamarnya. "But that makes me remember, rasanya dikhawatirin itu gimana."

Kedua teman Hyunjin terdiam.

Betul juga. Sejak jadi vampir, rasanya bukan hanya organ tubuh yang mati, tapi perasaan juga ikut enyah. Empati, simpati, nurani, semua jadi habis.

Tidak bisa dipungkiri, sudah berkali-kali ketiganya menantang dunia. Dengan muncul ke pemukiman, atau berburu di hutan, berperang dengan para werewolves, dan masih banyak lagi. Tujuannya? Ya untuk membangkitkan lagi nafsu mereka berada di dunia ini. Mau bunuh diri juga mustahil. Tidur? Hibernasi? Juga, mereka tidak butuh itu. Sayang sekali, otak mereka masih berfungsi dengan sempurna. Mengirimkan sinyal-sinyal berupa kebosanan dan kelelahan hidup.

"Kalian inget nggak sih, gimana rasanya disemangatin orang buat menjalani hidup ini?" tanya Hyunjin.

"Aduh, nggak mau mikir." Itu Changbin, yang paling tidak suka disuruh berpikir, apalagi kalau memikirkan dunia seisinya.

"Kenapa, Jin? Merasa Seungmin ngasih perasaan itu?"

Hyunjin sontak terduduk sambil memandang Chan tidak percaya. "Iya! Aku ngerasain itu. Ngerasain gimana besok harus ke sekolah lagi buat jagain itu anak dari vampir-vampir yang kesulitan jaga nafsu."

Chan tertawa. "Yaelah, baru ketemu sehari udah sebucin ini. Semanis apa sih anaknya? Nggak lebih manis dari mantan istriku palingan."

***

OKE.

Chan menarik kata-katanya. Nggak lebih manis dari mantan istri apanya.

Ini.

Definisi;

Epitome;

Penggambaran nyata, dari kata 'manis' itu sendiri.

Seungmin tiba-tiba dicegat Hyunjin.

"Loh, Kak Hyunjin?" Sambil memegang erat tali ranselnya, Seungmin tersenyum lebar menyapa laki-laki vampir di depannya.

"Kenapa lewat sini jam segini? Mau kemana?" tanya Hyunjin.

Iya, ini pukul 11 malam. Sudah jarang, sih, vampir keluar jam segini. Yang banyak di jalanan adalah yang mabuk. Vampir yang mabuk. Dan itu seratus kali lebih berbahaya dari vampir yang sedang berakal sehat.

Vampir juga bisa mabuk, kok. Mereka suka minuman mahal.

"Mau pulang!" Seungmin berseru supaya bisa didengar dari tempatnya berdiri.

"Ini kenapa berdirinya jauh-jauhan, sih?" Chan bertanya. Dia kemudian berniat untuk melangkah mendekat ke Seungmin, yang langsung dihentikan oleh Hyunjin.

Indra penciuman, taring, mata, dan tentu saja kekuatan mereka bisa sepuluh kali lebih kuat dibanding ketika siang hari.

"Jangan deketin dia," desis Hyunjin.

Chan langsung mengerti dan ia melangkah ke belakang.

Seungmin melambai kepada teman-teman Hyunjin yang baru dia lihat hari ini.

"Halo! Kakak-kakak, temannya Kak Hyunjin?" Ramah sekali.

Chan dan Changbin tersenyum menanggapi mata Seungmin yang masih kelihatan berbinar di tengah malam.

"Aku Chan."

"Aku Changbin."

Mendengar namanya, bel di dalam otak Seungmin berbunyi kecil, membuatnya ingat kejadian di rooftop kala itu.

"Oh! Yang diperhatikan Kak Hyunjin dari atap sekolah," kata Seungmin.

Mata Hyunjin membulat. Laki-laki tsundere itu langsung mengalihkan pembicaraan. "Bahaya kalau kamu pulang sendirian jam segini. Mau aku antar?"

"Ohoo!" Changbin membuka suaranya. "Hyunjin memerhatikan kami dari atap sekolah?"

"Nggak usah malu-malu gitu, Hyunjin. Kami tau kok kamu kesepian kalau nggak ada kami," kata Chan sambil mencolek dagu Hyunjin gemas.

Hyunjin langsung menyingkirkan tangan Chan dan mendorong bahu Changbin. "Pergi!"

Seungmin hanya melihat ketiga orang itu bersenda gurau sambil ikut tertawa.

Lama-lama tawanya membesar, jadi semakin lebar. Membuat ketiga orang itu teralih atensinya jadi diam dan fokus ke Seungmin yang terlihat sangat bahagia.

"Hei, kau kenapa?" hanya Hyunjin yang berusaha membawa Seungmin kembali ke realita.

Begitu sadar ketiga vampir di depannya sudah berhenti bergurau, Seungmin ikut diam. Ada sisa-sisa tawa keluar dari mulutnya, tapi dia menggeleng. "Kalian kelihatan akrab sekali!" serunya.

Chan dan Changbin auto luluh dengan kelakuan anak manusia yang satu ini.

"Seungmin, kan berbahaya pulang jam segini, kamu nginap di sini saja," kata Changbin.

"Eh?" Seungmin memiringkan kepalanya. "Apa nggak apa-apa? Jujur, aku juga takut," kata Seungmin.

"Nah! Memang berbahaya, kan? Bilang pada ibumu kalau kamu nginap di rumah teman karena pulangnya kemalaman, gitu." Kali ini Chan yang membujuk Seungmin.

Seungminnya mau dan berakhir tidur di rumah Hyunjin—

—tanpa persetujuan pemiliknya.

***

Between Bloods. // SeungjinWhere stories live. Discover now