"Masuk, Ra. Kita ngobrol di mobil." Dan lagi, Danil bicara tanpa menatap mata Radea. Cowok itu masuk ke mobil lebih dulu, membuat Radea berdecak kecil.
Suara hak sepatu Radea menghasilkan bunyi di setiap langkahnya saat memutari mobil. Dia membuka mobil dan duduk di samping pengemudi, Danil. Cowok itu melirik sekilas, lalu mulai menjalankan mobilnya.
Kening Radea berkerut, merasa aneh dengan sikap Danil yang selalu menghindar untuk bertemu tatap dengannya. Tubuh gadis itu sedikit dikesampingkan untuk menatap Danil terang-terangan. Matanya melebar dengan bibir mencebik karena kesal, merasa tidak dihargai kehadirannya.
Merasakan tatapan tajam dari ekor matanya, Danil kembali melirik sekilas ke arah Radea, lalu kembali fokus pada jalan raya. "Apaan?" tanya Danil singkat tanpa menatap Radea.
"Aku ada salah? Atau kamu marah karena aku minta kita nggak perlu terlalu sering berhubungan selama hampir lima tahun ini? Atau ada alasan lain sampai kamu keliatan nggak mau lihat aku kayak sekarang?"
Danil mendesah berat mendengar tuduhan yang sama sekali tidak benar itu. Dia tidak menjawab, melainkan sibuk membuka jaket yang dia kenakan dengan satu tangan. Agak sulit karena dia sambil menyetir.
Radea hanya melihat itu masih dengan ekspresi keruh. Berharap pertanyaannya mendapat jawaban, tetapi Danil malah tampak tidak peduli. Namun, detik setelahnya, Radea dibuat terkejut karena jaket berwarna hitam milik cowok itu kini mendarat di pahanya.
"Pake jaketnya."
"Hah?" bingung Radea sambil mengangkat jaket dari pahanya. "Kenapa? Aku nggak dingin."
"Pake aja," jawab Danil singkat, enggan menatap Radea.
Walaupun dengan kesal, Radea menurut dan segera memakai jaket itu. Saat menunduk untuk menarik ritsleting jaket, Radea kini tahu alasan kenapa Danil selalu mengalihkan pandangan darinya.
Baju dengan bagian leher rendah berbentuk v yang dia kenakan adalah alasannya. Dadanya tidak terlihat, tidak! Hanya saja, leher putih mulus di bagian atas dada memang terekspos jelas, memperlihatkan kalung bermata kecil di lehernya. Dan lagi, Radea sadar kalau dia menunduk, pasti dadanya terlihat.
Sadar akan kesalahannya yang membuat Danil tidak nyaman, Radea buru-buru menarik ritsleting jaket sampai atas, menutupi seluruh lehernya. Serius, dia tidak menyangka karena salah kostum mereka akan menjadi canggung. Lagi pula, Radea tidak berpikir pakaiannya ini terbuka. Namun, tentu saja berbeda di mata Danil, mata pria.
"Sori," cicit Radea. Entah mengapa dia harus minta maaf.
"Hm," jawab Danil singkat, hanya dehaman pelan yang membuat Radea jadi canggung.
******
Seolah membalas waktu yang memisahkan mereka hampir lima tahun, Danil dan Radea sama sekali tidak berpisah sejak Radea datang tadi siang. Danil hanya pulang sebentar untuk mandi, lalu kembali lagi untuk menjemput Radea dan mereka makan malam bersama. Setelah makan malam, mereka pergi ke sebuah mal yang dulu pertama kali mereka datangi untuk bermain. Sambil mengingat-ingat masa itu. Dari sana, barulah mereka pulang ke apartemen.
Hujan rintik-rintik membasahi bumi kala Radea turun dari mobil milik Danil. Cowok itu pun ikut turun bersama. Radea sempat menoleh sebentar, melambaikan tangannya sambil tersenyum simpul. "Hati-hati, ya, pulangnya."
Danil mengangguk. Masih berdiri di samping mobilnya, memperhatikan langkah Radea yang semakin membuat jarak di antara mereka. Ada perasaan aneh di dada Danil, perasaan yang membuatnya tidak fokus sejak pertama kali bertemu Radea-lagi, setelah empat tahun lebih.
Ada hal yang sangat ingin dia ucapkan, sangat. Kalimat yang sudah bertahun-tahun dia pendam sendirian, dan sempat menyesal karena sampai akhirnya di bandara kala itu, dia tidak bisa tegas.
Hujan sedikit lebih deras, membuat jaket cokelat Danil menjadi bercak cokelat tua di beberapa bagian karena basah. Cowok itu menghela napas. Danil tidak mau menunda lagi, atau mungkin takut kehabisan waktu untuk bertemu lagi, akhirnya dia memanggil Radea. Suara yang tidak begitu lantang, malah mengandung keraguan.
Radea langsung menghentikan langkahnya dan berbalik. Kening gadis itu berkerut melihat wajah kaku Danil. "Kenapa? Ada yang ketinggalan atau gimana?" tanyanya tidak sabar, pasalnya dia sudah ingin cepat-cepat masuk apartemen.
Danil tidak menjawab, melainkan berlari kecil menghampiri Radea. Saat sudah di depan gadis itu, Danil dapat melihat dahi Radea berkerut. Mata gadis itu menatapnya tajam saat Danil meraih tangannya. Akan tetapi, walaupun begitu, Radea tidak protes.
"Ra, usia kita sudah dua puluh empat tahun-"
"Aku dua puluh tiga kalau kamu lupa," sela Radea.
"Iya, tapi beberapa bulan lagi dua puluh empat, kan?"
Radea mengangguk sambil berdeham. Matanya jatuh pada tangan mereka. "Kenapa?"
"Umur segitu bukan anak remaja lagi. Karena itu, gue mau ngomong ini sama lo." Radea mengerutkan kening, tetapi tidak protes. Walaupun tidak pernah pacaran, tetapi Radea tahu ke mana arah pembicaraan Danil kali ini. "Gue udah kerja, punya penghasilan sendiri. Untuk cowok umur segini, kayaknya gue udah bisa disebut anak muda yang sukses."
"Berkat perusahaan Papa kamu." Radea menahan senyum saat melihat Danil menutup mata, tampak frutrasi.
"Iya. Tapi walaupun gue anaknya, Papa bakal tendang gue dari perusahaan kalau nggak becus."
Radea manggut-manggut mengerti. "Kamu nggak cuma mau pamer itu aja, kan? Hujannya makin deras, nih," ucapnya dan setelah itu menengadah.
"Gue ... gue mau serius, Ra," ujar Danil agak terbata. "Maksud gue, gue mau serius jalanin hubungan sama lo."
Radea dapat merasakan genggaman tangan Danil semakin erat. Cowok itu menatapnya tepat dan serius. Sementara hujan semakin deras, Radea masih bergeming.
"Ra ...."
"Hm?"
"Lo ... mau nggak jadi pacar gue?"
"Danil, aku-"
"Please, kasih gue kesempatan. Lo bisa pikirin dulu, gue tunggu jawaban lo." Danil menarik tangannya dan perlahan melangkah mundur, lalu berbalik.
Radea mematung di tempat, menatap kepergian Danil yang kini semakin dekat dengan mobil. Dia dapat merasakan rambutnya sedikit basah, begitu pula tubuhnya yang dingin karena rintik hujan. Radea ingin bicara sesuatu, tetapi di tenggorokannya seperti ada batu yang mengganjal. Radea mengepalkan tangannya, gemas dengan dirinya sendiri.
Saat Danil sudah tepat di samping pintu mobil, Radea menguatkan diri dan berteriak, "Danil!"
Danil kembali menarik tangannya yang hendak membuka pintu mobil, lalu beralih menatap Radea. "Iya?" tanyanya penasaran.
"Danil, kita ...." Radea menggigit bibir bawahnya. Dia tidak pernah yakin akan sebuah hubungan, belum. "Kita jalanin aja dulu," lanjutnya parau, berharap Danil yang lima belas meter di depannya mendengar.
Beberapa detik, Danil masih terpaku di tempatnya, menatap Radea tanpa ekspresi saat mendengar ucapan gadis itu. Apa dia ditolak? Namun, kebingungannya hanya terjadi setengah menit, karena setelahnya cowok itu tersenyum simpul dan mengangguk.
"Iya, kita jalanin aja dulu."
Radea tersenyum lega saat tahu Danil mengerti maksudnya. Mengerti ketakutannya. Mengerti segala hal tentangnya.
Mungkin, suatu saat nanti jawaban itu bisa menjadi awal sebuah hubungan yang lebih serius. Atau bahkan, menjadi sebuah awalan di mana hubungan mereka semakin berjarak. Tidak ada yang pasti di masa depan. Mereka masih berdiri, saling menatap dengan pikiran yang bergemuruh di kepala masing-masing. Dan saat itu ...
... hujan semakin deras.
*****
TAMAT
Terima kasih untuk semua teman-teman yang membaca kisah ini sampai habis. Ini cerita pertama saya, maaf kalau banyak kekurangan. Baca karya saya yang lain juga, ya. Siapa tau suka.
-Siapa pun kalian yang membaca ini, tetap semangat. Jangan nyerah, tetap berusaha.-
Salam,
Diana.
Edit:
Mau ekstra part?
YOU ARE READING
Introvert VS Ekstrovert ✔️
Teen Fiction(TAMAT) Danil, anak baru yang kebetulan duduk sebangku dengan Radea. Cewek aneh yang tidak punya teman satu pun. Danil yang punya sifat mudah bergaul, terus mengganggu Radea dan bertekad agar gadis itu mau menjadi temannya. Semakin lama, Danil sada...
42 || E P I L O G
Start from the beginning
