Chapter Fifteen

244 36 14
                                    

Beberapa menit setelah Ryota pulang ke rumahnya dengan membawa cokelat sekotak besar, Hiro datang ke apartemen Toru.

"TORU-SAAN! HIRO DATANG!"

Tok tok tok!

"BUKA PINTUNYA, LEADER BAND TAKA-NII!"

Ceklek

"Berisik! Aku dengar, tahu!"

Hiro mendelik. "Kalau dengar, cepat dibuka!"

Adik sama kakak nggak jauh beda!

Toru menghela napas. Ia selalu berusaha sabar.

"Baiklah. Ayo aku antar ke tempat Mori."

Toru menutup pintunya lalu berjalan ke sebelahnya. Hiro berusaha mengintip dari belakang, tetapi karena tatapan tajam dari Toru, ia tak berani mengintip saat Toru memasukkan sandinya. Kemudian pintunya terbuka. Mereka pun masuk.

Hiro segera membawa belanjaannya ke dekat kulkas. Sedangkan Toru duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Namun saat Hiro baru ingin membuka kulkas, ada yang meneleponnya. Ia pun segera mengangkatnya dan di-loud speaker agar dapat diletakkan di meja dapur selagi ia mengisi ulang kulkas.

"Ada apa, Taka-nii?"

"Jangan lupa buang makanan atau minuman yang sudah kadaluwarsa! Air mineral di botol kau buang, beli yang baru!"

Hiro memutar bola matanya. "Aku mengerti! Kau kira aku anak kecil?!"

"Ya, kau memang anak kecil, adik kecilku."

Hiro terkekeh kecil mendengarnya.

"Lalu, apa lagi?" tanya Hiro.

"Aku pulang 3 hari lagi. Kuundur! Aku tidak jadi pulang besok, kuubah gara-gara leader sialan yang sedang bersamamu itu! Huh, menyebalkan sekali."

Kini Toru menatap horor pada ponsel Hiro. Hiro pun menatapnya seakan ingin membunuhnya.

"Masih karena itu?" tanya Hiro, yang masih melirik Toru dengan tatapan kesal.

"Iya! Jangan ganggu aku kalau bukan aku yang mengganggumu. Aku tidak ingin diganggu! Lihat saja, aku akan mengulitinya begitu sampai di sana!"

Piipp

Sambungan terputus. Taka menutup teleponnya. Dari tatapan Hiro, ia bisa melihat Toru yang bergidik ngeri mendengar penuturan kakaknya.

"Bagaimana? Kau takut pada kakakku?" tanya Hiro, masih sambil melakukan tugasnya.

Toru menoleh ke arahnya dengan mengernyit, membuat Hiro mengerutkan alisnya.

"Kenapa ekspresimu begitu?" tanyanya.

Kemudian Toru berkata, "Aku baru sadar. Dia marah padaku karena apa? Apa dia sudah tahu tentang masalah itu? Tapi dari siapa? Oh, dan aku juga menyadari ini. Karena aku tahu sandi apartemennya, bisa saja, kan, aku masuk kalau aku ingin."

Hiro sudah siap melempar Toru dengan botol beling air mineral di tangannya kalau ia tidak ingat akan dipenjarakan jika melukai seseorang. Hiro berdecak kesal, lalu meninggalkan tugasnya sebentar, menutup pintu kulkas, dan berjalan ke arah Toru agar duduk di hadapan orang itu.

"Kau pikun atau gimana?" tanyanya, "dan lagi, jangan sembarangan masuk ke sini! Aku adiknya saja, tidak tahu sandinya. Sedangkan kau, kau tahu sandinya. Tapi jangan seenaknya atau benar-benar kulempar dengan botol tadi!" ancamnya.

Toru menekuk wajahnya. "Aku benar-benar tidak tahu dia marah karena apa. Kalau kau tahu, beritahu aku."

Hiro menghela napas panjang. "Dia marah karena Ayaka mengiriminya foto kau dan Ayaka sedang berciuman di tempat tidur. Ayaka mengirim dua foto, yang satu kau tidak memakai atasan apapun, dan yang satu kau memakai atasan. Ayaka juga mengirim instastory Hideki temanmu, yang mana kau memakai pakaian yang sama. Itu berarti sehabis dari tempat Hideki, kau pergi bersama Ayaka hingga malam. Malah mungkin sampai pagi, aku mana tahu!"

Kedua tangan Toru mencengkram kepalanya. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Bukan begitu ceritanya! Kalian salah tangkap!"

Hiro memutar bola matanya. "Sudah ada bukti kok malah mengelak," katanya sinis.

Toru menghela napas kasar. "Serius, bukan begitu. Aku memiliki bukti banyak untuk itu, biar kujelaskan."

Karena penasaran juga, akhirnya Hiro mendengarkan penjelasan dari Toru. Sembari menjelaskan, Toru juga memberi bukti berita Ayaka belakangan yang diberhentikan sementara dari pekerjaannya dan juga riwayat pesannya bersama Hideki. Setelah mendengar semua itu, raut wajah Hiro kini malah khawatir.

"Aduh, bagaimana ini? Taka-nii salah tangkap. Mana dia tidak ingin diganggu oleh siapapun saat ini."

Toru berbaring di atas sofa dengan pasrah. "Aku juga tidak tahu." Kemudian ia menoleh ke Hiro saat mengingat sesuatu. "Hei, tapi dia memintaku menjemputnya saat dia pulang. Maksudnya apa?"

Hiro menghela napas. "Dia ingin balas dendam. Jadi, saat kau dan dia di dalam mobil, dia akan memintamu berhenti dan berkata dirinya ingin buang air kecil di pom bensin. Lalu dia akan meninggalkanmu menunggunya di sana bersama dengan waria yang akan disewanya."

Mendengar itu, bulu kuduk Toru merinding. Bahkan ini lebih seram menurutnya dibandingkan dengan menonton film horor. Membayangkannya saja sudah membuat Toru geli dan kesal. Apalagi benar-benar terjadi. Bisa-bisa ia sudah tak beres sampai di rumah.

Hiro malah tertawa melihat ekspresi Toru.

Benar, Taka-nii tidak salah memilih orang. Dia baik, meskipun tsundere.

"Tenang saja, aku akan membantumu. Tapi apa kau punya bayaran untukku?" ucap Hiro meledek.

Toru langsung duduk dengan mata berbinar. "Benarkah? Aku punya cokelat dari London kalau kau mau."

Hiro mendengus. "Hanya cokelat?" tanyanya.

Toru mengangguk pelan. Ia terdiam sebentar sebelum berkata, "Atau kau ingin mobilku? Aku memiliki banyak di rumah."

Hiro terkekeh. "Aku bercanda. Lagipula, aku tidak dapat mengendarai mobil. Aku akan membantumu dan mendapatkan cokelat itu."

Toru tersenyum senang. "Terima kasih, Hiro."

Hiro tersenyum membalasnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continue
.

[Mohon maaf apabila ada kesalahan eja, kepenulisan, dan kesalahan lainnya. Kritik dan saran sangat dinantikan. Terima kasih untuk kalian yang telah membaca cerita ini. Semoga kalian suka.]
.


.
Maaf, tadi ke-publish padahal mau nyimpen doang:') maaf juga ya chapter ini dikit. Tadinya mau nyambung, cuma setelah dipikir di chapter berikutnya aja deh ehehe..
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
.
.

zulaikhaputri
15 Juli 2020

The Love We've Made [End]Where stories live. Discover now