Chapter Thirteen

225 29 11
                                    

22.50

Toru mengeluh. Ia membuka matanya perlahan, mengerjapkan matanya beberapa detik sebelum akhirnya sadar kalau ia terbangun di tempat yang berbeda. Tempat yang cukup asing buatnya, tetapi ia merasa pernah ke tempat ini. Setelah memproses otaknya, ia membelalakan matanya. Ia sangat yakin kalau kamar ini adalah kamar Ayaka.

Dan benar saja! Saat ia menoleh ke samping kiri, ia melihat Ayaka tertidur dengan hanya memakai tanktop putih. Ia pun segera melihat tubuhnya.

"Ck. Ayaka!"

Ia tidak peduli lagi. Berani sekali wanita itu melakukan hal ini padanya.

Kepalanya mengingat kembali saat-saat siang tadi. Pantas saja Ayaka memintanya mengambil saus sambal, pasti waktu dia pergi dipergunakan wanita itu untuk memasukkan obat yang membuatnya pusing dan pingsan, sehingga ia berada di sini saat ini. Ditambah wanita itu dengan beraninya membuka atasannya dan membuat mereka seolah-olah melakukan itu. Toru semakin membenci wanita itu.

"Ayaka! Buka matamu!"

Ia berdiri dan memakai atasannya. Saat selesai memakai atasannya, Ayaka terduduk dengan wajah mengantuk. Tidak ada rasa bersalah di wajahnya. Ia hanya menatap Toru dengan wajah bingungnya. Seolah-olah Toru yang bersalah di sini.

"Kau benar-benar keterlaluan, Ayaka! Apa yang ada di pikiranmu, hah?!"

Dengan santainya Ayaka memakai bajunya kembali. Lalu ia mengambil ponselnya di atas meja, mengutak-atiknya sebentar, lalu menunjukkan sebuah foto kepada Toru.

"Bagaimana kalau foto ini yang kukirim ke Taka-san?"

Toru berdecak frustasi. Ternyata tidak hanya melakukan hal yang telah ia pikirkan tadi, tetapi Ayaka juga menciumnya dan mengabdikan momen tersebut di ponselnya untuk mengancam dirinya. Ya, tentu saja! Itu membuat Toru khawatir. Toru tidak ingin Taka mengetahuinya. Toru tidak ingin membuat Taka sedih ataupun marah padanya. Ia tidak ingin Taka menjauhinya. Ia tidak ingin mereka marahan dan berjauhan.

Melihat Ayaka masih dengan senyum menyebalkannya itu, tanpa pikir panjang Toru segera mengambil tas Ayaka yang dipakainya semalam. Sontak Ayaka berdiri. Dengan cepat, Toru mengambil barang-barangnya dan membawa tas itu keluar. Ia menutup pintu kamar Ayaka dan menahan pintunya agar tidak bisa dibuka. Dengan segera ia mengambil kotak beludru berwarna biru dan memeriksa isinya. Setelah memastikan kalungnya ada, ia membuang tas itu sembarang dan berlari keluar dari apartemen wanita itu. Ia segera menjauhkan diri dari tempat Ayaka, tetapi dengan tetap menjaga gerak-geriknya agar tidak ada yang mencurigainya. Nanti ia dikira habis berbuat sesuatu.

Setelah sampai di parkiran, Toru segera menemukan mobilnya. Ia buru-buru masuk dan mengendarainya keluar dari sana.

Ia berdecak frustasi, mengacak rambutnya. Berkali-kali ia menyumpah serapahi wanita itu dan berjanji akan membalasnya. Ia tidak tahu harus kemana di malam hari begini. Ia ingin pergi ke rumah teman-temannya, tetapi ia takut mengganggunya. Namun itu sepertinya lebih baik dibanding pergi ke klub malam untuk minum dan menghilangkan rasa frustasinya. Yang ada besok paginya ia akan sakit kepala berat dan masalahnya tidak cepat selesai.

Ia memutuskan untuk ke rumah Tomoya. Entah mengapa, nama drummernya itu melintas di otaknya. Dengan cepat ia mengendarai mobilnya ke rumah Tomoya.

Setengah jam kemudian, ia sampai. Ia bergegas turun dari mobil dan menekan bel rumah Tomoya. Cukup lama sampai akhirnya Tomoya keluar untuk membuka gerbang rumahnya.

"Aish, kenapa kau lama sekali?" kata Toru.

Tomoya mengernyit. "Kau membangunkanku, tahu! Sadarlah leader, ini tengah malam! Kau malah berkunjung di tengah malam begini."

Toru berdecak. "Aku punya masalah dan tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Boleh kau biarkan aku masuk dulu?"

Tomoya bergumam sebagai jawaban. Bahkan Toru tidak memikirkan mobilnya yang terparkir di luar.

"Hei! Parkirkan mobilmu dulu!"

Dengan kesal Toru segera memarkirkan mobilnya di garasi Tomoya. Kemudian keduanya masuk setelah Tomoya menutup gerbang. Untung saja keluarganya yang lain tidak bangun, apalagi anak-anaknya. Kalau sampai bangun, sudah dapat dipastikan ia akan memukul kepala leader-nya itu.

Toru dan Tomoya duduk di ruang pribadi Tomoya. Cukup jauh dari ruang anak-anaknya sehingga tidak mengganggu apabila Toru berisik. Tomoya membuatkan Toru secangkir kopi dan satu untuknya. Ia meletakkan kedua cangkir di atas meja, di hadapan mereka masing-masing. Lalu ia membuka percakapan.

"Ada apa kau kemari tengah malam?" tanya Tomoya penasaran.

Toru terlihat kalang kabut. Tomoya dapat mengetahuinya hanya dari wajah dan gerak-gerik Toru.

Toru pun menceritakan masalahnya. Dari saat dia mendapat secarik kertas itu hingga ia kabur dari apartemen Ayaka. Dan ia pun juga menjelaskan tentang kalung berharganya.

Kini ganti Tomoya yang berdecak kesal. Matanya menjadi terbuka lebar karena hal ini.

"Kenapa sih dengan wanita itu?! Mencari masalah terus denganmu. Lagian sih, sudah kubilang sejak kalian belum pacaran, jangan pacaran dengannya. Kau ngeyel! Inilah akibatnya kau tidak mendengarkanku."

Toru menghela napas. "Bukannya membantu, kau malah menyalahkanku. Aku sedang pusing, tahu!"

Tomoya mendengus. Akhirnya ia berpikir untuk menggunakan otaknya baik-baik. Semenit kemudian, ia teringat.

"Hei, tadi kau bilang kalau terjadi apa-apa katakan pada Hideki. Sekarang kau harus menghubunginya! Dia pasti membantu."

Toru menyetujui ide Tomoya. Ia pun menghubungi Hideki.

"Halo, ada apa?"

"Ah, maaf jika mengganggumu tengah malam begini, Hideki-san."

"Tidak apa-apa. Lagipula, aku belum tidur. Katakan, ada apa?"

"Aku ingin meminta bantuanmu. Bisakah kau...."

°°°

Prancis

Toru terlambat.

Ia benar-benar terlambat.

Kini Taka sedang menatap sebuah foto yang dikirim oleh Ayaka dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti rasanya sedih, bercampur kesal, tetapi terpikirkan suatu hal juga.

Kemudian ia menerima pesan baru dari Ayaka. Wanita itu mengirim instastory Hideki Komiyama, teman Toru, beberapa waktu lalu. Terlihat dengan jelas bahwa pakaian yang dipakai Toru sama persis seperti foto yang dikirim Ayaka.

Detik selanjutnya, entah mengapa, Taka merasakan hatinya sesak. Ia merasa dipukul. Ia merasa dikhianati, dicurangi, tidak dianggap, dan dipermainkan. Setetes air mata jatuh ke pipinya, seiring dengan genggamannya pada ponselnya yang kian menguat.

"Kau jahat, Toru-san!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continue
.

[Mohon maaf apabila ada kesalahan eja, kepenulisan, dan kesalahan lainnya. Kritik dan saran sangat dinantikan. Terima kasih untuk kalian yang telah membaca cerita ini. Semoga kalian suka.]

zulaikhaputri
13 Juli 2020

The Love We've Made [End]Where stories live. Discover now