Chapter 34

2.4K 286 23
                                    


Cyara POV

"Gimana, dok?" tanya Praditya seakan tak sabar menunggu hasil tesnya yang pertama setelah 3 bulan melakukan terapy obat-obatan serta menerapkan pola hidup sehat.

Wajah dokter Indira terlihat serius menekuri berbagai kalimat dalam selembar hasil laboratorium yang baru saja dibawakan susternya. Dia menggeleng, membuat aku dan Praditya sedikit kecewa, eh Praditya malah terlihat sangat kecewa.

"Masih belum ada perubahan. Ukuran katupnya masih jauh dikatakan normal," Praditya mendesah.

"Jadi apa yang harus kami lakukan, dok?" tanyaku.

"Saya harap Mas dan Mbak harus sabar. Setiap pengobatan atau terapi penyembuhan tidak mungkin ada yang instan, pasti harus proses. Kesembuhan setiap orang akan berbeda-beda, tergantung kita yang menjalankannya. Ada yang prosesnya cepat, ada yang lambat, bahkan ada yang tidak sembuh sama sekali. Itu tergantung kita. Saya harap Mas dan Mbak tidak patah semangat," Aku dan Praditya kini sama-sama diam memerhatikan dokter Indira yang serius menuliskan sesuatu di dalam kertas. Mungkin itu resep.

Sejak pamit pada dokter Indira, menebus obat di apotik hingga kini sudah duduk di dalam mobil, Praditya tak banyak bicara. Dia hanya akan sesekali menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, itupun dengan jawaban yang sederhana.

"Kalau kita gak punya anak gimana?" itu adalah kalimat terpanjang yang diucapkan Praditya. Aku menoleh lalu tersenyum sambil memberikan usapan menenangkan di lengannya yang sedang sibuk memegang kemudi.

"Kita pasti punya. Kamu lagi berobat, pasti sembuh dan kita pasti punya anak," kataku berusaha membesarkan hati suamiku. Padahal jauh dilubuk hatiku, akupun tidak tahu akan seperti apa. Harapan memiliki anak kini seakan abu-abu sejak Praditya di vonis mengidap teratozoospermia. Aku pun sama sepertinya, merasa tidak yakin. Tapi aku tak bisa mengatakan itu secara terang-terangan. Dia butuh aku untuk menguatkan. Meski aku juga butuh seseorang untuk menguatkan. Tapi siapa?

Sejak vonis itu sampai di telinga kami berdua 3 bulan lalu, aku dan Praditya belum bercerita pada siapapun. Baik orang tuanya atau orang tuaku. Kami melewatinya berdua. Padahal aku sangat butuh berbicara dengan seseorang, sekedar untuk bertukar pikiran dan sedikit bercerita untuk melepaskan beban. Tapi aku tak bisa. Aku tak sampai hati membuka aib suamiku di hadapan siapapun. Aku menjaga perasaannya. Ini berat untukku, apalagi buat dia. Karenanya sampai saat ini, meski terasa berat aku tetap menyimpannya sendiri. Toh, aku memiliki Allah yang maha mengetahui, yang maha kuasa, yang maha segalanya. Hingga hampir tiap malam Allah-lah yang menjadi tempatku berkeluh kesah.

"Kalau setelah berobat dan tetep gak berhasil?" aku kembali menoleh dan menatapnya dengan penuh kelembutan.

"Kamu pasti sembuh. Kita pasti punya, kalaupun memang gak punya ya udah kita ikhtiar dengan cara lain. Kalau gak berhasil juga, ya udah kita berdua aja juga gak apa. Kata Mas kan Cuma aku sama Mas juga gak apa-apa, kita pasti akan bahagia," kataku membesarkan hatinya.

***

Sehabis dari rumah sakit, aku mampir sebentar ke Cyara's mengecek pekerjaan para karyawanku dan mengambil pesanan mama. Lima puluh dessert box untuk acara pengajian sore ini. Sengaja aku yang mengambil dan mengantarnya langsung, karena ini weekend dan kami sudah janji akan menginap di rumah mama.

"Ini anak si abang?" tanya seorang ibu saat melihat aku menggendong Dzaki, anak dari Sasti dan Mas Raka.

"Bukan ini kan anaknya Sasti. Si abang belum di kasih. Jeng Iren kan baru balik dari singapur, makanya pas aqiqahan Sasti dulu gak datang," kata seorang ibu menimpali.

Still My HomeWhere stories live. Discover now