Thalassa mengeram marah ketika Arkan meledeknya, ia pun menghentakan kakinya dan pergi meninggalkan Arkan. Gadis itu memang suka sekali meninggalkan Arkan ketika sedang bicara.

Arkan memandang punggung Thalassa yang kian menjauh darinya. "Gimana tuhan mau adil sama lo, kalo lo nya aja gak percaya sama Tuhan" pekik Arkan sontak saja membuat Thalassa berhenti melangkah.

Thalassa berbalik dan menatap Arkan dengan tatapan penuh tanda tanya. "Maksud lo apa ngomong gitu?" Sarkasnya.

Arkan mengangkat bahunya acuh lantas ia berjalan ke arah Thalassa. Thalassa pun di buat bingung oleh sikap Arkan.

"Nope, gue cuma mau bilang kalau lo itu manusia yang gak tau diri. Lo udah di kasih nyawa sama tuhan tapi lo malah gak percaya adanya tuhan. Lo menuntut keadilan sedangkan diri lo aja gak gak adil. Jadi? Siapa yang harus di salahkan di sini?" Tanya Arkan sambil menatap lekat mata hijau tua milik Thalassa.

Thalassa membuang pandangannya dan memutuskan kontak mata antara dirinya dan Arkan, tatapan Arkan benar-benar membuatnya merasa terpojok dan terintimidasi.

Arkan menggerakkan jari telunjuknya dan menyentuh dagu Thalassa lalu membuat Thalassa menatap kembali matanya. "Jawab gue Sa" ucapnya.

Thalassa berdecak kesal, ia menghempaskan tangan Arkan yang berada di dagunya dengan kasar. "Lo gak berhak ikut campur urusan gue" Tegasnya.

Arkan berdecih lantas tertawa hambar melihat sikap Thalassa yang masih saja arogan. "Sebenernya gue juga gak mau ikut campur urusan manusia arogan yang gak tau diri kayak lo. Tapi mau gimana lagi? Lo sendiri yang buat gue jadi ikut campur urusan lo" jawab Arkan.

"Lo ngomong apa si? Belibet tau ga"

"Iya kayak hidup lo, belibet, rumit, berantakan. Iya kan?" Tanya Arkan membuat Thalassa kembali merasa tersudutkan.

"Lo—Oke fine! Mau lo apa?" Tanya Thalassa yang sudah putus asa.

Arkan tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan Thalassa. "Gampang, gue mau lo berubah jadi manusia lebih baik dan terkahir gue mau lo percaya sama tuhan, entah tuhan yang mana yang lo percaya, tapi satu yang perlu lo tau, Tuhan itu cuma satu, cuma cara memahami tuhan itu sendiri beda-beda tergantung kepercayaan nya. Dan keputusan ada di elo, lo mau memahami tuhan dengan bagaimana itu tergantung lo Sa" jawab Arkan.

Thalassa mendesah pasrah. "Sebenernya g-gue punya kepercayaan" cicit Thalassa.

"Apa?!"

"Kepo lo! Udah sana pergi jauh-jauh dari gue!" Usir Thalassa.

Arkan mendengus kesal, kenapa susah sekali sih membujuk Thalassa. "Lo juga balik ke kelas, kerjaan tugas lo" balas Arkan.

"Bacot!"

Thalassa melenggang pergi setelah mengatakan itu pada Arkan. Sedangkan Arkan hanya bisa mengelus dadanya, mencoba sabar akan sikap Thalassa.

•°•°•°•°•

"Permisi tuan, ini ada laporan dari sekolah"

Staf itu menunduk sambil memberikan amplop coklat pada majikan nya yang sedang duduk di kursi kebesaran nya, pria yang di panggil 'tuan' itu terlihat sangat angkuh bahkan ia mengabaikan ucapan staf tadi dan lebih memilih fokus pada laptopnya. Setelah menaruh suratnya di meja atasannya, staf itu lalu keluar dari ruangan itu meninggalkan atasannya itu sendiri di ruangan besar nan mewah yang menjadi ruangan pribadi atasan nya itu.

Nama 'Nathaniel Axender' tercetak tebal di atas meja nya. Nathan a.k.a pemilik perusahaan dan petinggi perusahaan yang sangat berperan penting dalam berjalan nya bisnis di negri ini. Semua perusahaan mencari Nathan untuk di ajak berkerjasama dengan perusahaan nya. Mengingat Axender'company adalah perusahaan yang sangat besar dan juga memiliki keuntungan yang luar biasa jika bekerja sama dengan nya.

Perusahaan yang di pimpin Nathan itu sekarang sudah masuk ke pasar dunia, produk yang di luncurkan dari perusahaan itu juga sangat laku di pasaran membuat perusahaan itu semakin maju.

Nathan melirik surat yang tadi di berikan oleh staf nya. Ia mengambilnya dan membuka surat itu. 

Nathan menghela nafasnya, lagi-lagi surat panggilan orang tua dari sekolah. Sebenarnya apa yang anak nya perbuat, sehingga surat dari bimbingan konseling itu datang padanya hampir setiap minggu.

"Kapan sih anak itu gak buat masalah?" Monolog nya pada diri sendiri.

Nathan menaruh kasar surat itu di mejanya lantas ia mengendurkan dasinya agar bisa bernafas lebih bebas lagi.

Mata elang nya menatap Figura kecil yang terletak di atas mejanya. Figura itu adalah foto Kanaya, mendiang istrinya yang pergi meninggalkannya enam belas tahun yang lalu. Wanita yang sampai sekarang masih ada di hati Nathan, dan Nathan masih sangat mencintai wanita itu. Wanita yang dulu pernah ia sia-siakan, wanita yang dulu pernah ia abaikan dan setelah ia sadar akan perasaan nya, wanita itu malah pergi menghadap tuhan. Meninggalkan dirinya dan putri kecilnya.

Tanpa sadar setitik air mata keluar dari mata elang nya, dadanya terasa terhempit ia juga mulai kesulitan bernafas. Ah sial! Mengingat kenangan dulu membuat dirinya tersiksa. Nathan merogoh kantongnya namun sialnya ia tidak menemukan obatnya. Dimana sih obat nya?

Rasa sesak di dadanya semakin menjadi-jadi, bahkan kepalanya terasa berputar-putar. Pandangan nya kian memburam. Nathan menggelengkan kepalanya mencoba memfokuskan pandangannya namun nihil. Yang terjadi malah semakin parah. Sekelebat ia mendengar suara ketukan pintu, entah dari siapa ia tak tau. Nathan memegangi kepalanya yang semakin terasa pusing seraya menatap Figura istrinya.

"Andai kamu masih hidup Nay, semua nya pasti gak akan serumit ini. Maafin aku Nay" gumam Nathan.

Bruk

setelah itu ia merasa tubuhnya limbung dan pandangan nya pun menjadi gelap.

Tok..tok...

"Pak! Pak!"

"Pak Nathan?"

Tok..tok...

Ceklek..

"Pak Nathan ini Lap—ASTAGFIRULLAH PAK NATHAN!!"

Tbc.





A.n

Key mau ucapin banyak-banyak trimakasih buat kalian yang dukung cerita key dari jaman Vanya-sampai cucunya Vanya, gak tau lagi sedih kalo di ceritain mah.

Buat kalian para penulis-penulis baru, tetap semangat, dan terus optimis dengan karya kalian! SEMANGAT!

udag A.n hari ini segitu doang, sampai jumpa besok sayang-sayang nya key.

Still UnfairWhere stories live. Discover now