End

892 68 12
                                    

TERROR DI CEREMAI (END)

Kakek putih itu tampak mengatakan sesuatu kepada ibu tua. Dengan khidmat ibu tua itu mendengarkan, disusul dengan anggukan. Perlahan dia menoleh pada orang itu yang sedang memegangi lehernya yang menghitam. Tanpa mengatakan apapun dia hanya mengangguk, tapi nampaknya orang itu pun mengerti. Dia memapahku untuk berdiri.
Rupanya kami diminta untuk segera turun dan meninggalkan Kakek putih itu dengan Nyi Linggi.

Sebelum pergi kulihat Ibu tua itu mencium tangan si Kakek. Dengan lembut kakek putih itu menepuk pundaknya. Disusul orang itu yang tidak hanya mencium tangan, tapi juga bersimpuh andai saja tidak ditahan oleh si Kakek. Dan seperti juga kepada Ibu tua, Kakek ini pun menepuk pundak orang itu.
Tinggal aku yang tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku pun mengikuti keduanya, mencium tangan Kakek Putih itu. Tangannya begitu lembut dan harum. Dengan hanya menciumnya membuatku merasa aman.

Sambil membelai rambutku, kudengar dia berbicara pelan, "kamu pulang. Jadikan ini sebagai pelajaran. Jaga tingkah laku dan tutur kata dimanapun kamu berada."

Aku mengangguk pelan. Mendengar kata pulang, tanpa sadar air mataku mengalir. Dia menepuk-nepuk pundakku dan mempersilahkanku untuk pergi.

Terlalu segan untuk menatap wajahnya, dengan menunduk aku menjauh dan mengucapkan salam.

Dengan tertatih aku mengikuti orang itu dan si Ibu tua menuju jalur turun, meninggalkan Kakek dengan Nyi Linggi.
Tidak ada satu pun yang berbicara diantara kami. Dalam gelapnya jalur Ciremai kami melangkah dengan diam.

Aku meraba kantong celanaku, benda pembawa petaka itu masih disana, terbungkus kain putih. Kenapa harus kain putih? Aku bertanya dalam hati. Apa pembalut kotor itu jadi semacam benda gaib atau sejenisnya? Karena yang sekilas kutahu, benda-benda mistis seperti keris, tombak dan sejenisnya biasanya dibungkus dengan kain putih juga.
Tapi apapun itu nanti, yang jelas aku gembira bisa berhasil membawanya turun. Benda ini kunci kesembuhan Ayu.

Dari belakang, aku mengamati punggung bongkok ibu tua itu. Ibu ini merawat Ayu, juga naik untuk menjemputku disaat yang benar-benar kritis. Ternyata dunia belum kekurangan orang baik.

Lalu orang itu. Langkahnya yang biasanya lincah, sekarang berjalan pelan mengikuti langkah ibu tua. Tanpa dia, aku jelas tidak mungkin selamat melewati malam ini. Diluar senyumnya yang menyebalkan dan kata-katanya yang ketus, dia orang baik. Penampilannya yang kumal khas pendaki gunung menyembunyikan ketaatannya beragama. Berkali-kali, malam ini dia selalu mengingatkanku berdoa, beristighfar dan mengingat Allah. Setelah ini selesai, aku janji akan membalas kebaikannya.

Tapi lalu aku menyadari sesuatu yang janggal. Aku naik lagi untuk mengambil kotoran sial itu sebagai syarat kesembuhan Ayu. Kenapa makhluk-mahkluk itu malah menghalangiku? Bukankah seharusnya mereka justru senang. Kenapa mereka malah menerorku sepanjang perjalanan? Bukan hanya teror biasa, mereka berniat mencelakakanku.
Seribu pertanyaan tiba-tiba menyeruak dikepalaku. Malam ini benar-benar tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.

Orang itu melirikku, senyumnya tampak jail. "Kapok ya naik Ciremai boy?"

Aku cuma bisa tersenyum ditanya begitu. Kapok? Jelas banget. Bukan cuma Ciremai, sepertinya setelah ini aku pensiun naik gunung

"Jangan lemah boy. Kejadian ini ambil pelajarannya." Katanya lagi. Orang itu seakan bisa membaca pikiranku.

Aku mengangguk mengiyakan.
"Bang, terimakasih banyak udah nolongin saya bang." Kataku kali ini, "kalo ngga ada abang, ngga tau gimana nasib saya."

Orang itu tertawa-tawa menyebalkan, tapi aku malah gembira melihat tawanya.

"Lu selamat bukan cuma karena gua boy. Lu juga harus terima kasih ke banyak orang yang nolong lu. Ada Mak Ncep, orang-orang di Cibunar, orangtua lu yang ngga putus do'ain lu dirumah, Ayu, termasuk juga Nyi Linggi. Dan tingkatin ibadah lu sebagai wujud syukur sama yang Maha Besar" Jawab orang itu. Kemudian dia melanjutkan "Ada maksud dari setiap kejadian boy."

Teror CeremaiWhere stories live. Discover now