21 | Hati Sapi

2.2K 317 104
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika memang cinta dan suka ya harus berani bertutur kata. Ungkapkan, terkadang dengan cara seperti itu kita akan merasa lebih lega dan tenang."

Malam telah datang, cahaya bulan tengah bersinar dengan begitu terang, hamparan bintang-bintang semakin menyemarakkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam telah datang, cahaya bulan tengah bersinar dengan begitu terang, hamparan bintang-bintang semakin menyemarakkan. Tapi sayang keindahan itu hanya kunikmati seorang diri saja. Ternyata seperti ini rasanya sendiri dan merasa sepi, jika biasanya hari-hariku dipenuhi dengan tawa dan guyonan tak berkelas milik Naresh. Sekarang sudah lain, dan entah sedang apa dia saat ini. Apakah sama sepertiku juga?

"Kamu ngapain malem-malem nangkring di teras? Biasanya juga paling anti." Teguran itu kudapatkan dari Umi yang entah sejak kapan sudah berada di sisiku.

Aku hanya menoleh dan memberikannya senyum tipis. "Gak ada, pengen aja," jawabku asal.

Umi menatapku penuh selidik, dia merangkul lembut bahuku lantas berucap, "Seseorang yang semula bukan siapa-siapa lambat laun akan menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidup, jika kita sudah tak memiliki kesempatan untuk bersamanya lagi."

Aku menjatuhkan kepala di bahu Umi dan beliau dengan lembut langsung mengelusnya. "Sepertinya cara yang kalian tempuh cukup ampuh, terbukti sekarang kamu sedang merindu," cetus Umi yang langsung membuatku menjauh seketika.

"Umi apaan sih."

Beliau mengukir senyum misterius. "Jangan menyangkal, Umi tahu meskipun kamu enggan memberitahu. Adegan kepergok dua hari lalu semakin memperkuat asusmsi Umi, bahwa memang kalian sudah sama-sama menaruh hati."

Aku diam dan lebih memilih untuk menatap lurus ke depan. Namun kepalaku sontak menghadap ke arah Umi, saat mendengar kalimat yang cukup menohok hati.

"Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Jika memang cinta dan suka ya harus berani bertutur kata. Ungkapkan, terkadang dengan cara seperti itu kita akan merasa lebih lega dan tenang," terangnya dengan sunggingan lebar.

Aku dibuat mati kutu olehnya, tapi dengan lembut Umi membawa tubuhku dalam rengkuhan. Refleks tanganku pun melingkari pinggang beliau, sedang kepalaku sudah kembali jatuh di pundaknya.

"Aku gak berani, malu."

Hanya kalimat itu yang mampu kuutarakan. Dua hari tak bertemu pandang sudah cukup menyiksa, hatiku merasakan sebuah kekosongan dan kehampaan. Mungkin memang benar bahwa aku sudah mulai jatuh cinta padanya.

Umi terkekeh pelan lantas berujar, "Masa sama suami sendiri malu. Itu wajar, bahkan ungkapan cinta itu sangat diperlukan untuk mempererat hubungan."

Aku mendongak dan langsung dihadiahi senyum manis olehnya. "Telepon coba minta jemput," titahnya seraya menyodorkan gawai milikku.

Keningku berlipat bingung. Kenapa benda canggih itu bisa berada di tangan Umi?

Penghujung Cintaku | Cinta Tapi Diam Series 2 [END]Where stories live. Discover now