INTUISI DARI BARCELONA.

Mulai dari awal
                                    

"Bisa nggak kalau foto itu berdua." Sosok di belakang Mya tiba-tiba protes, ia mendekat hendak merebut kamera sang istri, tapi Mya lebih sigap menyembunyikannya di belakang punggung.

"Kamu tahu, aku nggak mau foto sama kamu dengan alasan kita ini harmonis. Aku bosan sama alasan itu, aku mau kalau kita bisa foto bareng pun karena kita benar-benar sanggup foto berdua pakai ketulusan, bukan paksaan sebagai ajang kamu bisa ngeshow kalau kita ini pasangan." Buru-buru ia masukan kamera polaroidnya ke dalam sling bag, ia tak ingin dipasangkan lagi dengan Dewa dalam satu frame yang sama, frame yang tampilkan begitu banyak kebohongan. "Ingat, ya, Wa. Aku mau kalau kita foto bareng karena kita memang layak foto berdua, paham?" Mya melenggang pergi.

"Apa yang nggak layak dari kita? Gue sama lo ini pasangan!" seru Dewa berhasil membuat Mya hentikan langkah, perempuan itu menoleh sejenak seraya hela napas panjang. "Sekalipun kita pasangan, kita masih belum layak, Wa. Kamu nggak bisa paham maksud omongan aku ini? Antara kita nggak ada cinta, sekalipun ada ....." Mya tatap lurus ke depan—pada Mercusuar Hercules. "Semoga salah satunya nggak tersiksa karena kisah cinta sendiri." Setelah itu Mya tetap melenggang pergi biarkan Dewa tertampar dengan pengakuan Mya yang begitu nyata.

***

"Gimana keadaannya di sana, aman?" Suara Sakti sudah cukup membuat Mya merasa lega, sudah berapa hari ia tak mendengar suara teman dekatnya itu, tak ada bekal yang biasa dibuatkan ibu Sakti untuk Mya, tak ada ajakan makan siang atau pulang bersama. Secuil rindu muncul di benak Mya, ia rindu suasana Jakarta yang sumpek, tapi begitu banyak hal membuatnya merasa senang. Di Barcelona beberapa hari memang cukup membuat Mya senang, hanya saja lebih pada suasana serta apa pun yang bisa ia rekam menggunakan bola mata, bukan pada manusia yang memilih tidur di rumah temannya usai mendesak sang istri agar beristirahat di ranjang.

Oke, tak buruk juga jika Dewa membiarkan Mya di kamar hotel sendirian, ia takkan paranoid jika bangun pagi dapati Dewa yang hanya kenakan handuk usai keluar dari kamar mandi. Mya bisa bergumul dengan bantal-bantal serta membuat selimut berantakan seperti di kamar sendiri.

"Aku baik-baik aja kok, gimana kabar kamu sama anak-anak, Sak? Kalian minta oleh-oleh apa biar aku cari besok."

"Aku sih nggak usah, Mya. Dengar suara kamu juga udah senang, yang penting kamu baik-baik aja, kan? Urusan pernikahan saudara kamu udah kelar, kan?" Mya menarik napas rasakan dadanya terasa sesak, ia memang berbohong pada teman-teman di kantor perihal alasan kepergiannya ke Barcelona, ia katakan pada mereka jika ada saudara yang melangsungkan pernikahan di Barcelona. Mya sungguh tak miliki alasan lain, apalagi kepergiannya mendadak, ia sampai harus memohon saat bertelepon dengan atasannya demi sebuah panggung sandiwara yang berpindah tempat selama beberapa hari ke Barcelona.

"Kamu serius nggak minta oleh-oleh? Di sini banyak benda futuristik, lho. Bukannya Tante Sania suka sama barang-barang yang punya nilai seni tinggi," tutur Mya terdengar merayu, "di sini ada pasar yang jual barang-barang berkelas, tapi harganya miring, Sak."

"Kamu paham banget sama mama, pantas dia keukeuh mau menantunya kamu aja." Terdengar kekehan Sakti, tapi Mya hanya bisa tersenyum kecut, ia merasa tak bisa kabulkan mimpi kecil dari sepasang ibu dan anak itu.

"Kalau kamu nggak mau oleh-oleh nggak apa-apa, besok aku carikan yang buat Tante Sania aja, ya."

"Mama kangen kamu, Mya."

"Aku juga, sampaikan salam ke Tante Sania."

"Di situ pasti udah malam, kan, Mya. Udahan ya teleponnya, jangan lupa istirahat. Aku tunggu sampai di Jakarta lagi."

"Oke, bye." Mya rebahkan tubuh seraya tatap langit-langit kamar, ia putar ponselnya menggunakan jemari, pikiran perempuan itu mulai berkelana jauh, entah ke mana, yang jelas Mya tengah berilusi untuknya sendiri. Ia simpan ponsel di bawah bantal, mencoba terpejam tanpa siapa pun di sebelahnya, tak ada khawatir yang ia rasa setelah Dewa putuskan pergi. Perlahan tapi pasti—kelopak mata Mya mulai luruh hingga menutup sempurna, menyembunyikan netranya dari suasana sekitar, membawa tubuhnya pada lelah yang harus dilenyapkan, Mya ingin berfantasi dalam pikirnya sendiri.

***

Mya berdiri di dekat tebing Laut Atlantik Utara, hanya saja ia tak sendirian di sana, tapi juga bukan bersama suaminya. Mya berhadapan dengan seseorang yang seringkali membuat segala harap baiknya pecah dalam sekejap, mengingat hubungan mereka saja sudah membuat Mya sangat muak, ia memang tak tahu sedikit pun tentang urusan suaminya dan sang pasangan yang belum juga terpisah itu, Mya tak ingin tahu dan berharap mereka berdua lekas menghilang dari dunianya.

Wajah itu pernah Mya lihat dua kali, pertama dalam bingkai foto di kamar Dewa, kedua saat ia dapati sepasang kekasih di sudut kafe beberapa waktu lalu, tapi kali ini Mya benar-benar beradu pandang dengannya dalam radius sekitar lima belas centi. Mereka teramat dekat, entah apa yang membuat keduanya sampai harus bertemu di dekat Mercusuar Hercules.

Dalam netra masing-masing tersimpan bahasa yang ingin mereka ungkap, bahasa yang tak perlu didengar banyak orang. Entah harus bagaimana Mya bersikap pada perempuan yang dicintai suaminya, jika orang lain mungkin bisa memaki sebab dirasa merebut, tapi Mya merasa jika tak ada perebutan antara mereka. Dewa dan Marisa saling mencintai, hubungan mereka terjebak dalam pernikahan yang sudah terangkai cukup lama, saat semua itu terjadi—tak ada yang mengaku mundur, tapi tetap salah, harusnya Dewa lebih paham jika perempuan yang lebih layak ia cintai adalah istrinya meski hubungan dengan Marisa sudah terjalin sebelum kehadiran Mya.

"Jadi, kamu tahu tentang aku sama Dewa?" Marisa buka suara, ia mulai lontarkan bahasa kalbu yang sejak lama terpendam.

"Aku tahu." Fokus Mya tak bergeser sedetik pun dari manusia yang layak ia sebut musuh.

"Kamu nggak ada niat mundur?"

"Mungkin pertanyaan itu lebih cocok untuk kamu, karena di sini aku istri sah Dewa."

"Kamu serius?" Marisa tertawa. "Dewa bahkan nggak cinta sama kamu, Dewa cinta sama aku. Kami saling cinta sejak lama, harusnya kamu ngerti siapa yang lebih layak buat mundur."

"Aku minta maaf, Marisa. Aku nggak berharap lebih dari Dewa milik kamu, aku cuma menginginkan sebuah keadilan, karena aku sama dia juga terjebak dalam sebuah hubungan rumit. Aku belum ingin mundur, isi hati orang nggak ada yang tahu, aku melakukan semua ini supaya orangtuaku bahagia di surga."

"Mya, faktanya Dewa nggak akan mencintai kamu, dia mencintai aku sampai selamanya. Sakit kalau kamu terus menjalin hubungan sama orang yang nggak akan pernah mencintai kamu." Marisa keukeuh mendorong agar Mya mundur segera dari perang yang telanjur mereka jalankan.

"Aku yakin suatu hari bakal ada yang berubah saat Dewa tahu kalau jalan yang dia pilih salah. Mau sebesar apa cinta kamu sama dia—kalau dia suami perempuan lain—jelas nggak layak untuk kamu harapkan. Marisa, tolong berhenti, jangan usik rumah tangga orang lain."

"Kamu sakit?" Tiba-tiba Marisa mendekati Mya, tanpa aba-aba kedua tangannya mendorong Mya sekuat tenaga hingga perempuan itu terjun dari tebing hampiri lautan biru nan dalam di bawahnya.

Byur!

***

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang