18. Permainan Hati

Start from the beginning
                                    

“Udahlah Dil. Ikut aja, lagian teman-teman kamu juga gak ada kan?” ujar bang Fajar.

Tunggu dulu, maksudnya gimana? Apakah bang Fajar berpikir jika aku tidak memiliki teman dikampus seluas ini? hahaah yang benar saja. Tapi sayangnya itu semua benar. Bukan tidak memiliki teman sih. Lebih tepatnya aku belum memiliki teman dekat yang satu hati denganku.

“Yaudah deh” jawabku pada akhirnya.

“Adit yang ngajak lo tolak. Giliran si Fajar yang ngajakin lo ngikut. Curiga gue” ujar Fikri.

Siapapun, tolong musnahkan Fikri dari hadapanku sekarang juga. Jangan sampai bang Fajar mengetahui jika dulu aku pernah menyukainya. Ralat, aku mengaguminya- dahulu.

“Yaudah yuk. Mau makan apa?” tanya kak Hani pada kami semua.

“Gua mah ngikut. Walaupun gua orang kaya, tapi selera gua sama rata” ujar Fikri sombong.

“Sombong banget” ledekku.

“Apa! Masalah buatlo” katanya lagi.

“Apaan sih. Dari dulu suka banget gangguin aku” ujarku padanya.

“Dari dulu?” tanya kak Hani tiba-tiba.

“Hmmm langsung makan aja yuk. Gue yang bayarin” kata Andra.

Feelingku, Andra selalu menghindar saat kak Hani berusaha mengungkit pertanyaan mengenai masalalu. Benar bukan?

***

Kami berlima duduk melingkari sebuah meja. Lima porsi bubur ayam sudah tersedia didepan mata. Jujur saja, inilah kali pertamaku memakan bubur ayam. Ntah apa rasanya, aku tidak tahu. Aku tidak terlalu suka makan makanan yang lembek. Seperti bayi saja.

Melihat keempat orang dihadapanku memakannya dengan lezat aku sedikit tergiur. Apalagi mereka menambahkan banyak cabe di bubur ayam mereka. Aku jadi penasaran apa rasanya. Tak tanggung-tanggung aku memasukkan dua sendok makan cabai ke dalam piringku.

“Keras banget sih” ujar kak Hani pelan sambil membuka botol minuman miliknya. Tanpa aba-aba dapat kulihat jika bang Fajar langsung megambil botol itu dan membukanya dengan mudah. Lalu diberikannya pada kak Hani.

“Makasih Fajar” kata kak Hani dengan tulus sambil tersenyum manis.

“Sama-sama” jawab bang Fajar bahagia.

Aku mengalihkan pandanganku dari ke-uwu-an mereka. Lalu beralih fokus pada rasa pedas yang terasa menyanga dimulutku. Sumpah demi apapun, bubur ini terasa sangat pedas untukku. Bahkan, warnanya sudah berubah menjadi warna merah karena sambal yang kuberi terlalu banyak. Buliran keringat mulai mengalir dipelipisku. Sejenak ku hentikan untuk memakan bubur itu. Aku mengambil tisu yang sudah terletak diatas meja lalu mengelap wajahku yang sudah penuh dengan keringat.

“Dil? Are you okay?” tanya Andra sedikit khawatir melihatku. Aku menggeleng mendengar pertanyaan Andra. “Pedas banget” tanpa sadar airmataku keluar begitu saja.

Buru-buru Andra mengambil sebotol air putih dan memberinya kepadaku. Ku terima air pemberian Andra dan meminumnya dengan tergesa.

“Pelan-pelan Dil” ucap Andra cemas. Saat Andra mengatakan hal itu aku dapat melihat jika kak Hani tidak suka.

“ Udah mendingan?” tanyanya. Akupun mengangguk pelan.

“Syukurlah” katanya sambil bernafas lega.

“Bagus juga akting lo Dil. Takjub gua” kata Fikri memuji  atau menjatuhkanku.

“Aku lagi gak akting ya” ujarku sambil menangis. Kesabaranku sudah mulai habis.

“Ehhh jangan nangis dong. Gua bercanda doang” ujarnya karena melihatku menangis.

“Aku pergi ke teman-teman dulu. Makasih untuk sarapannya” akupun pergi meninggalkan mereka berempat.

“Bercanda lo keterlaluan Fik” kata Andra yang masih dapat kudengar. Ku percepat saja langkah kakiku meninggalkan mereka.

Dapat kurasakan jika seseorang mengikuti dari belakang. Namun ku biarkan saja. Aku pun memutuskan untuk menenangkan diri dibangku yang sudah tersedia sambil menenangkan diriku. Perkataan Fikri benar-benar menyakiti hatiku. Saat hendak menghapus air mata menggunakan jilbab yang ku kenakan, sebuah sapu tangan bewarna hijau army muncul dengan tiba-tiba.

“Jangan dilap pakai jilbab. Pakai sapu tangan saya aja.” Ujar lelaki itu. Siapa lagi kalau bukan Andra.

“Fikri emang gitu. Jangan terlalu kamu masukin ke hati. Dari dulu kamu udah tahu sifat dia kan.” Kata Andra. Aku mengangguk “Sangat menyebalkan” kataku.

“Itu kamu tahu. Sudahlah, kamu terlihat tidak cantik saat menangis” ucap Andra menenangkanku. Namun aku menyalahkan arti dan memberikannya sebuah tatapan sayu.
“yang bilang gua cantik emangnya siapa.” Jawabku malas dengan logat ‘Lo gua’.

“Ehh maksud saya bukan gitu. Aduhh serba salah jadinya” kata Andra gusar.

“Santuy” jawabku.

Obrolanku dan Andra berakhir sampai disitu saat kak Hani menghampiriku.

“Dil, gapapa kan?” tanyanya.

“Gapapa kok kak” jawabku tersenyum, padahal mataku sembab.
Ku lihat bang Fajar dan Fikri juga berjalan menghampiriku. Apalagi Fikri dengan tampang bersalahnya.

“Dil sorry. Gua gak bermaksud bikin lo sampe nangis gitu. Gua Cuma iseng, bener deh” katanya.

“No problem Fik” aku sudah mengetahui sifat jahil Fikri dari jaman dulu. Jadi ku maklumi saja.

“Makanya jangan bercanda terus” kata bang Fajar sambil meninju pelan bahu Fikri.

“Niat gua Cuma main-main doang” ujar Fikri.

“Semua permainan menyenangkan Fik. Kecuali satu, permainan hati” kata Andra dan berhasil membuatku tertegun.

***

SCHEIDINGWhere stories live. Discover now