2 - Second Big Brother

3.2K 293 5
                                    

Rick tanpa segan-segan melayangkan tanganya ke wajah anaknya sehingga ia tersungkur ke lantai. Aku yang melihatnya terkejut dan syok terutama saat mendengar suara tamparan yang kuat itu hingga terngiang-ngiang di benakku.

"Jika kau berani mengganggunya lagi, bersiaplah masuk ke ruanganmu." ucap Rick dingin tanpa belas kasih melihat anaknya tersungkur di lantai sambil menahan tangisnya.

Suasananya benar-benar menegangkan. Sampai-sampai tubuhku berkeringat.

Rick berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku dan mengusap kepalaku lembut.

"Maafkan Liam, ya, dia pasti sudah mengganggu istirahatmu," ucap Rick berbanding jauh dengan sikapnya barusan, "jika kamu masih lelah silahkan istirahat kembali, Martha akan membawakan sarapan untukmu, paham?"

Aku hanya bisa mengangguk dan Rick pun tersenyum lalu beranjak dari duduknya.

"Hari ini ayah akan pulang terlambat, tak perlu menunggu untuk makan malam, oke, Lyn?" ucap Rick, ia menatap ke arahku.

"O-oke..." jawabku sedikit susah payah mengeluarkan suaraku agar tidak terdengar bergetar.

"Lyn," panggil Rick, "bisakah kamu memanggilku... 'ayah'?" Rick tersenyum lembut seolah ia sedang memelas.

Saat itu masih kaget dan juga syok, aku hanya bisa menatapnya dengan ekspresi bingung sampai akhirnya Rick tertawa.

"Hahaha, pasti kamu masih belum terbiasa. Tidak apa, Lyn, kamu bisa panggil aku 'ayah' jika kamu sudah bisa menerima ayah barumu ini." Rick pun berbalik pergi, ia sempat berhenti di hadapan Noah sambil berkata, "awasi saudaramu." dengan nada dingin dan berlalu keluar ruangan.

Begitu Rick keluar dari kamar, kami bertiga seketika menghela nafas seolah telah berada di dalam air dari tadi. Tubuhku reflek beranjak dari kasur dan menghampiri saudara angkat laki-lakiku yang jika aku tidak salah dengar namanya adalah Liam.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku membantunya duduk. Kulihat darah mengalir dari hidungnya.

Sudah lama aku tidak melihat darah sebanyak itu, sehingga bukannya membantu Liam, aku malah semakin panik.

"K-kau berdarah--bagaimana ini-" ucapku gugup.

Liam mengusap hidungnya, "Tidak apa-apa," ucapnya.

"Yang dipukul 'kan, Liam," ucap suara lainnya, aku menoleh ke saudaraku yang lain, yang lebih tua dari kami semua, "kenapa kau yang menangis?"

Tak sadar aku meneteskan air mata, aku hanya tidak tega melihat Liam dipukul seperti tadi sehingga tubuhku ikut gemetar karena syok.

"Hei, aku sungguh tidak apa-apa," ucap Liam dengan noda darah yang masih menempel di wajahnya, ia menepuk bahuku.

"M-maaf," ucapku segera mengusap air mataku.

Itu pertama kali Liam tersenyum. "Ngomong-ngomong, kau adalah saudari baru kami, berapa usiamu?" tanya Liam.

"Dua belas tahun," jawabku.

"Oh, berarti kita seumuran!" seru Liam, aku sedikit tidak percaya melihatnya tersenyum lebar seperti itu setelah dipukul. "Kalau Noah 13 tahun,"

Aku melirik ke arah Noah, ia hanya memberikan tatapan datar seolah tak tertarik bicara padaku.

"Liam, obati lukamu dan bersiap untuk sarapan." ucap Noah lalu pergi meninggalkan ruangan.

"Baik," jawab Liam patuh.

"B-biar aku bantu!" ucapku menawarkan diri.

Lalu aku membantu Liam berdiri sekalipun ia bilang dirinya baik-baik saja. Sesekali darah masih mengucur dari hidungnya membuatku khawatir sekaligus takut.

My Psycho Brothers [End]Where stories live. Discover now