Facebook

1.4K 80 36
                                    

Dan kamu yang menyapa lebih dulu,
Berbagi cerita hati dan masa depan.
Inginmu ku ada di dalam rencanamu itu,
Dan lalu kau beranjak saat aku menjawab ‘iya'

Friend Request, accepted

“Aku pernah menjalin hubungan, bertahan beberapa tahun dan berakhir dengan tak pasti.”

Dengan kisahmu aku terbuai. Cerita hatimu kau bagikan padaku. Kau bilang rasanya nyaman berbagi denganku, karna aku tidak menghakimi.

“Kenapa bisa begitu?” tanggapku. Kukira dia sudah cukup mapan untuk dijadikan masa depan. Usianya pun sudah matang. Tak ada alasan realistis lain untuk tidak mempertimbangkannya.

“Dia tidak ingin menikah.”

“Ah, I see.” Kataku memberi pemahaman. “dan kenapa dia tidak ingin menikah?”

Kurasa ada alasan kenapa seseorang tidak ingin membagi hidup dengan seseorang yang akan melengkapi hidupnya. Dan beberapa alasan tentu saja bisa dipatahkan.

“Sebenarnya bukan tidak ingin menikah. Tapi dia ingin menikah di umur tiga puluh enam.”

“Berapa umurnya sekarang?”

“Dua puluh tujuh.”

“Apa kau keberatan menunggu sembilan tahun lagi?” tanyaku, mengingat usia dia sendiri sudah di ujung dua puluhan. Sembilan tahun, bukankah itu waktu yang cukup lama? Waktu yang bisa saja berkurang atau bertambah jika keputusan-keputusan lain mempengaruhi.

“Tentu saja keberatan.” Jawabnya cepat. “ibuku selalu menanyakan soal pernikahan padaku. Aku tinggal anak satu-satunya yang belum menikah.”

I see

“Aku yakin, dia wanita karir yang sukses.” Tebakku. Bukan hal baru lagi jika wanita-wanita yang terlanjur sukses akan mulai menomor sekiankan pernikahan.

“Tidak juga. Dia seorang perawat.”

“Perawat senior?”

“Tidak tahu. Kita jarang membicarakan pekerjaan dan penghasilan.”

Are you kidding me?”

Bagaimana orang-orang ini membicarakan pernikahan sedangkan dua hal penting itu tidak pernah ambil bagian dalam pembicaraan mereka?

“Sebentar,” aku menjeda pertanyaan yang hendak kulontarkan. Memilah kata-kata yang tidak akan menyinggungnya.

“Kau yakin hubungan kalian sudah berjalan beberapa tahun?” tanyaku. “I mean, ada yang janggal.”

Kudengar ia akan menjawab lalu urung. Kurasa ia tengah berpikir. Aku terbiasa menjadi pendengar yang baik, jadi aku tidak mendesaknya. Aku menyukai kisah-kisah mereka yang mau berbagi kisah denganku. Tidak jarang kujadikan sebagai inspirasi untuk kutuliskan.

“Keberatan jika kita pindah ke whatsapp?”
Aku berpikir sejenak. Aku sangat jarang memberikan nomor yang kugunakan di WA kepada orang baru.

“0895 333 906XXX.” Aku membalasnya lima belas menit kemudian setelah pertimbangan yang cukup lama. “sorry. I need to do something for a minute. Ayo, kita lanjutkan ke aplikasi sebelah.”

**

“Hai, ini aku Ethan.”

Aku tersenyum membacanya.
“Hai juga, Ethan. Should we continue your story?”

“Boleh aku menelepon? Aku susah menjelaskannya kalau konsentrasinya terbagi dengan mengetik.”

Wait a minute.”

Set Up byTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang