Perahu Tua

413 90 77
                                    

Petang sebelum malam, kulihat ia datang. Petang sebelum matahari tenggelam, kurasa cinta itu mulai menyelam. Tepat ketika suara deburan ombak menyeruak memenuhi telingaku dan buihnya terpecah ketika menabrak bebatuan yang ada di sudut tepian pantai, cinta ini mulai hanyut bersama ombak-ombak itu yang kembali ketengah pantai. Menyelami rasa yang lebih dalam, mencipatakan sensasi yang tak terbayang. Sementara angin berhembus, pohon-pohon kelapa itu melambai. Hamparan pasir putih itu ikut menghiasi pemandangan indah dan menakjubkan ini.

Aku terpaku, mataku tak dapat beralih, pandanganku enggan berdalih. Gadis itu, benar-benar memiliki pesona yang luar biasa diantara kesedihan-kesedihan yang terpancar di matanya. Rambutnya yang tergerai ia biarkan menutupi sebagian wajahnya. Selalu datang di waktu yang sama, dengan kaki telanjangnya yang menyentuh butir-butir halus pasir putih. Kemudian duduk di ayunan kayu, memandangi sebuah perahu tua. Ia mampu bertahan lama memandangi perahu itu, tatapannya penuh kesenduan, sesekali tersenyum pahit.

"Benda usang itu, seperti kenangan yang pahit tetapi masih ingin kau ingat." Ucapnya saat itu, dengan matanya yang terus terpaku memandangi perahu tua itu. Sirat kesedihan itu enggan berlari dari kedua matanya, tapi ia tetap memaksakan seulas senyum.

Kuselipkan beberapa anak rambutnya di belakang daun telinganya. "Kalau pahit, kenapa harus diingat?" tanyaku.

Ia diam sejenak. Kami berdua kembali hening. Bahkan suara deburan ombak itu sama sekali tak terdengar. Mungkin ini rasanya hening yang riuh. Lalu tepat ketika matahari hendak tenggelam, gadis itu menoleh. Semua sisa-sisa cahaya matahari itu, terpancar melalui kedua matanya. Ini mungkin akan menjadi pemandangan paling mempesona yang ada di memori kepalaku.

"Tidak bisa."

"Apanya?"

"Kenangan itu. Tidak bisa dilupakan, walau aku ingin."

"Kenapa?"

"Karena itu satu-satunya kenangan yang kumiliki."

Tepat diujung senja, ketika matahari sudah tenggelam, dan malam mulai datang, kedua mata gadis itu memendam kepedihan namun senyumnya menyiratkan ketulusan. Angin dingin yang berhembus seakan-akan membawaku untuk ikut merasakan kepedihannya. Isyarat angin menuntunku untuk perlahan menarik gadis itu kedalam pelukanku. Sedetik kemudian ia terisak, namun terlalu jelas jika ia tengah mencoba untuk menahannya sekuat mungkin.

"Jangan ditahan." Ucapku pelan sembari mengelus rambut panjangnya.

Ia terisak, makin terisak. Tanpa kata, tanpa suara, aku diam mencoba mencerna semuanya. Hingga akhirnya gadis itu menjadi lebih tenang. Tubuhnya sudah tak berguncang akibat menahan tangis. Lalu sepasang bola mata itu menatapku terlalu dalam, begitu bersinar hingga aku tak sanggup menatapnya terlalu lama. Seakan sinar rembulan ada di dalam bola matanya.

"Lebih baik?" tanyaku.

Ia tersenyum manis, dengan binar mata yang bersinar terang dibalik kesembabannya. Ia kembali menatap perahu tua itu. Kuamati sekali lagi, nampaknya ia mulai mencoba berdamai dengan masa lalunya. Senyumnya tak lagi pahit, matanya tak lagi sendu. Ombak-ombak itu perlahan menggulung, menarik semua kesedihannya dan membawanya ke dasar laut yang paling dalam.

Bagian Kosong [COMPLETED]Where stories live. Discover now