Cerita ke-001 "Tak Ada Lagi Rasa"

23 2 0
                                    

Satu hari pernah ku tolak untuk menghabiskan makan siangku. Pada dasarnya ini hanya  terlihat sederhana. Nyatanya, ragaku tak bisa seikhlas pikiran ini untuk tetap berjalan normal seperti sedia kala.

23 Januari 2006, sekitar 09.3x WIB.

Halo, aku Danis. Pagi itu bersama adik, kami berdua sedang asyik bermain petak umpet. Ini adalah salah satu keahlianku. Yaps, bersembunyi. Kau tahu? Kala itu aku menaiki pohon rambutan tua yang lama telah ada di pekarangan rumah sambil membawa sarung yang dapat menyamarkan keberadaanku sesampainya di atas.

"Danis, turun. Makan dulu" sahut suara Ibu saat posisi ideal ini masih belum terbongkar. Yah, siapa sangka, kan? Ibu tahu segalanya. Aku pun tertangkap basah oleh adik saat mulut ku masih menikmati beberapa buah rambutan yang menor dan mudah untuk dipetik.

"HAP!" teriak ku yang kala itu masih benar-benar berpikir bisa menjadi seorang ninja yang gagah dan menirunya. Hehe. Saat kecil, adakah kartun kesukaanmu? Selain ninja oranye, aku juga suka manusia karet, manusia kera, pemilik kekuatan yang dapat mengubah sampah menjadi pohon, dan banyak lagi. Tapi jangan ajak aku nonton yang seram-seram, ya? Aku agak sedikit takutan sih.

"Abang sini, duduknya di samping adik kamu ya" ajak Ibu seraya memintaku untuk merapat di dekat adikku. Kulihat ada peluh yang belum terusap di keningnya sesekali menetes ke piring makanan kami. Tak ada apapun yang perlu ku katakan melihat hal itu. Jijik? Tidak. Keringat itulah yang menjaga kami berdua sejak lahir. Saat aku tahu bahwa sejak adikku lahir, umur kami hanya terpaut jarak satu tahun saja dan Ayah kami telah tiada. Tapi,

"Ini apa, Bu? Kok ada parutan putih di mie gorengnya?" ucapku penasaran.

"Lho? Semalam katanya Abang mau makan keju kan?" tanya Ibu balik padaku. Rasa penasaranku saat mendengar ini adalah makanan yang ingin sekali kucoba sejak malam tadi menuntunku pada satu kata baru yang mencerminkan masakan Ibuku.

"Ih, ga enak Bu" ucapku sambil mengernyitkan dahi. Rasa apa ini? Apa ini benar-benar keju? Kata orang di televisi rasanya sangatlah nikmat. Tapi mengapa lidahku tidak bisa sependapat dengan mereka?! Kulihat Ibu mendekatiku dan mencicip sedikit makananku.

"Enak kok, Bang" ujar Ibu. "Keju rasanya emang begini. Habisin lho, nanti ditiru adik kamu" sambungnya. Kulihat senyum Ibu seolah berkata jika aku tak menghabisinya maka aku tak akan lagi mendapatkan makanan untuk sementara waktu. Sayangnya, aku yang masih anak-anak berontak enggan untuk lanjut memakannya.

Kau tahu? Wajah Ibu yang terlihat tulus penuh kehangatan itu seketika berubah menjadi wajah menakutkan yang kerap muncul saat beliau akan marah besar.

"KAMU INI?! SEMALAM KAMU YANG MINTA?! IBU CUMA BERUSAHA UNTUK MENUHIN APA YANG KAMU MAU!! SEKARANG KAMU HARUS HABISIN INI ATAU KAMU AKAN IBU HUKUM!! CEPAT!!" amuk ibuku benar-benar meledak. Tetapi, aku tetap berusaha untuk berhenti memakannya. Kuputuskan untuk segera beranjak pergi dan kabur layaknya anak kecil. Namun, kamu pun pasti pernah dengan istilah ibu akan selalu tahu bagaimana anaknya akan bertindak.

Tanganku berhasil digenggam dan langkahku tertahan. Badanku dibopoh masuk ke dalam kamar mandi dan aku pun dimasukkan ke dalam sebuah drum yang hampir penuh dengan air, hanya tersisa dari leher hingga ujung rambut kepalaku saja yang tidak basah.

"Kamu ibu hukum di dalam situ sampai sore nanti! Pikir baik-baik kesalahan yang kamu lakukan barusan!" tegas Ibuku.

Apa? Marah? Hahaha. Tidak. Aku tidak marah. Apa hak aku untuk marah balik pada beliau yang selalu membawaku sembilan bulan sepuluh hari dengan jerih payahnya? Hanya saja aku sedikit sedih tentang mulutku yang bisa-bisanya berkata masakannya tadi tidak enak. Aku tidak berpikir sejauh ini. Sepenuhnya memang salahku sebagai anak.

...

23 Januari 2006, sekitar pukul 17.1x WIB.

Ibu mengeluarkanku dari tempat hukuman. Ada adikku juga ternyata disebelahnya. Tampaknya ia baru bangun tidur. "Abang ngapain sembunyi disitu? Kan kita lagi ga main petak umpet" tanyanya. Sesak napasku ingin menjawab kalau aku baru saja dihukum. Apalagi melihat Ibuku yang raut wajahnya menahan pilu tampak memalingkan pandangannya dari kami berdua.

"Iya dong. Hahaha! Tadi waktu kamu tidur, Ibu nemenin Abang untuk main petak umpet lagi. Kamu sih cepat banget capeknya" jawabku sambil memaksakan senyum padanya. Beruntung adikku ini memang masih polos. Jadi, apapun jawabannya selama aku akhiri dengan senyum .. itu akan berarti bahagia. Sementara kami berdua lanjut mandi, tampaknya Ibu sedang menyiapkan baju ganti untuk kami berdua.

"Bajunya Ibu letakkan di depan pintu ya. Ibu mau lanjut siapin makan malam dulu" sahut beliau dari arah luar kamar mandi.

"Iya, bu" jawab ku.

Usai mandi dan berganti pakaian, kami berjalan menuju meja makan. Tak lagi terlihat parutan keju di atas hidanganku. Entah harus bahagia karena tak lagi harus menelan rasanya yang asing di lidahku atau harus sedih sebab masih teringat kejadian pagi tadi, satu yang aku tahu ... aku tetap harus tampak tersenyum menikmatinya.

"Habisin lho ya, ga ada keju lagi kok" ucap Ibu tersenyum sembari menyuapi adikku yang makan sambil bermain lego bersamaan.

"Hehe, iya Bu. Abang bakal abisin kok. Lagian, makanan kesukaan masa ga dimakan!" jawabku sumringah.

HAP! Aku terdiam untuk waktu yang cukup lama di suapan pertama. "Kenapa kamu, Bang?" sahut ibu bertanya saat aku tidak berisik dengan obrolan yang selalu ku utarakan tiap kali makan seperti biasanya.

Aku ... menangis dan .. bingung.

Kemana rasa yang seharusnya muncul? Kemana?! KEMANA?!! Aku menangis sejadi-jadinya dan itu benar-benar membuat ibu kalap. Bukan marah.

...

23 Januari, sekitar 18.2x WIB.

Kami sampai di sebuah klinik anak. Ibu meminta dokter jaga segera memeriksaku. Dan dari hasil diagnosa, nampaknya lidahku mati rasa untuk sementara waktu. Setelah ia mengakui tentang apa yang terjadi pagi tadi, ternyata ... badanku kaget dan menghukum diri sendiri secara tidak sadar. Bahkan sekalipun aku tahu alasannya, hingga dicoba dengan makanan apapun ... tetap sama saja. Tak ada lagi rasa yang muncul selain hambar.

Hari itu, aku kehilangan dua hal. Rasa pada makanan dan Ibu yang tak bisa senyum tulus lagi padaku. Padahal pagi tadi adalah kesalahanku, bukan beliau. Tapi bahkan hingga di usiaku yang telah beranjak dewasa ... dua hal ini tetap tak kunjung muncul lagi dalam hidupku.

...

19 November 2016, sekitar 09.1x WIB.

Sepuluh tahun berlalu sejak rasa itu hilang.

..

Hari ini ibu di jemput Tuhan. Ibu sudah sakit keras sejak lima tahun lalu. Satu hal yang selalu ibu katakan setiap malam di beberapa bulan terakhir, "Maafin Ibu ya, Bang".

Selama itu juga aku yang selalu menemani ibu disampingnya selalu menjawab, "Ibu ga pernah salah" sambil menangis. Beberapa bulan terakhir hanya ada tangis yang menghiasi malam ibu dan anak bodoh ini.

Ku pikir betapa bodohnya aku dulu.

Tapi .. kini aku tak lagi masalah dengan rasa. Keju parut yang selalu ku tambahkan di setiap makanan yang hendak ku santap selalu dapat mengembalikan rasa itu. Entah ini cara bodoh atau pintar untuk kembali melepas rindu dengan momen momen sewaktu ibu masih ada, nyata di sampingku.

PILUWhere stories live. Discover now