Bab 2

28 5 1
                                    

Jakarta, tiga bulan sebelum Ratu Indonesia

Demi memarkirkan Audi A4nya di salah satu tempat parkir mobil. Pagi ini ia tiba di sekolah agak pagi, jadi bisa memilih tempat parkir dengan leluasa. Setelah di rasa beres, Demi keluar mobil, menuju ke kelas.

Demi menghembuskan napas, memanjatkan sedikit doa di dalam hati supaya apa yang dilakukan hari ini lancar.

"Demi bisa, hari ini luar biasa, Demi bermental baja!"

Setelah merapal doa yang menjadi mantra, Demi masuk ke dalam kelas.

"Permisi," ucap Demi ketika ia mau menuju bangkunya. Selain mempunyai teman sebangku yang super menyebalkan, tempat duduk Demi agak kurang strategis. Karena dia tinggi, Demi selalu mendapat tempat duduk di belakang, pojok kiri pula! Iya sih, setiap dua bulan di rolling, nyatanya tetap saja, khusus untuk perempuan keturunan Bali itu, akan terus berada di bangku belakang. Menyusahkan!

"Kalo lo masuk, gak boleh keluar lagi!" kata teman sebangkunya.

Demi mentautkan alis. "Kok gitu? Ya gak bisa gitulah! Gue mau ke kantin habis ini," Demi berdecak, kesal.

"Bisa lempar tuh tas, terus cabut. Itu saran terbaik dari gue."

Demi memutar bola mata, mau tidak mau, terpaksa sekali... ia menuruti perkataan teman sebangku yang selalu membuat hatinya panas tersebut.

Demi keluar kelas dan menuju kantin. Ia menghubungi sang sahabat, Patricia untuk menemaninya sarapan sekarang.

"Dem! Kucel amat sih muka?" sapa Patricia membawakan dua gelas jus jeruk. "Diminum dulu," lanjutnya menyodorkan satu gelas untuk Demi, satu gelas lainnya untuk dirinya sendiri.

"Thank you," jawab Demi kemudian kembali menyuap roti bakar. "Gue pesenin roti bakar kesukaan lo ya."

"Udah, gampang. Cerita dulu, lo kenapa? Gue soalnya lagi membawa berita baik nih!"

Demi mentautkan alis. "Berita baik? Apa?"

"Demiiii! Lo dulu!" sewot Patricia.

Demi tersenyum. Memang hanya Patricia yang mampu memarahinya seperti ini, mengingat tidak banyak yang mau berteman dengannya.

"Destroy! Biasalah dia. Sepertinya gak ada hari tanpa membuat gue naik darah."

Patricia mengangguk paham. "Sabar ya! Seperti namanya, Destroy. Huh! Anyway, gue punya ini buat lo! Ikutan ya!" Patricia memberikan Demi sebuah brosur lomba ajang kecantikan yang lumayan bergengsi di tingkat nasional, Ratu Indonesia.

Demi melirik malas. "Enggak ah! Persiapannya gue malas."

"Gue bantuin! Apa yang lo butuh? Night gown? Baju formal? Daily outfit? Baju olahraga? Aksesoris? Sepatu? Sebutin!"

Demi kembali menggeleng. "Gue mau belajar yang bener aja, Pat."

Patricia berdecak. "Selama ini lo gak pernah keluar dari dua besar, Dem. Gue gak terima alasan klasik, ah!"

Demi menggeleng untuk ketiga kalinya. "Gue pasti gagal, Pat. Gue gak masuk kriteria mereka."

"Dem... ini yang ngomong beneran elo? Sejak kapan Demi Tunzi gue jadi begini? Gak ada salahnya mencoba, lo bisa! Lo luar biasa! Lo lupa sama mantra lo sendiri?"

Demi terdiam. Benar kata Patricia, tidak ada salahnya mencoba. Pengalaman bukannya guru yang terbaik, mungkin Demi melupakan bagian ini.

Demi tersenyum. "Oke, gue coba. Tapi beneran ya, lo mau bantuin gue?"

"Yes! Iya dong. Thank you, Demi!"

Mereka berpelukan singkat. "Dengan senang hati, Pat."

Break the StereotypeTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon