Arga mengangguk lemah. "Lo bisa, kan, temenin gue sebentar?"

Ara terdiam sebentar, kemudian mengangguk kaku.

"O-oke."

"Ambilin gue minum."

"Minum orangtua, mau?"

Sontak Arga langsung menoleh pada Ara. "Lo ngajakin gue mabok bareng?"

"Cuman ada itu aja minumannya."

"Enggak usah. Gue dateng kesini bukan buat mabok."

"Bercanda. Gue ambilin air putih."

"Nggak usah."

"Oke."

Ara duduk di samping pemuda itu, sesekali Ara bisa mendengar suara helaan nafas kasar dari Arga. Sepertinya, masalah yang dialami Arga sekarang cukup berat. Tidak biasanya Arga merenung seperti ini.

"Kenapa lo lari kesini saat ada masalah?" tanya Ara memecahkan keheningan.

"Nggak tau, gue juga nggak ngerti kenapa harus dateng ke apartemen lo. Padahal lo bukan dokter psikolog," jawab Arga.

Ara menghela nafas panjang. "Ada masalah, ya? Kalau lo mau cerita, silahkan. Mungkin gue bisa jadi pendengar baik buat lo."

Mendengar hal itu, Arga pun menatap Ara dengan tatapan yang penuh kesedihan. Tidak ada lagi tatapan tajam yang selalu Arga tampilkan seperti dulu Ara melihatnya pertama kali. Tidak ada wajah menyebalkan apapun disana, yang Ara lihat hanya wajah muram dan sorot mata sedih seperti seseorang yang memiliki penuh banyak trauma.

"Lo masih punya nyokap?"

"Nggak, udah meninggal dari gue kecil."

"Gue masih ada, tapi cuma raganya aja. Gue juga udah nggak pernah tau kabar dia lagi semenjak kejadian sialan itu."

Ara tertegun. "Sorry sebelumnya, orang tua lo udah pisah?"

Arga mengangguk sebagai jawaban.

Tanpa meminta penjelasan dari Arga, Arga sudah terlebih dahulu membuka suara sambil menceritakan semua tentang kehidupannya. Awal dimana rasa trauma itu datang, dan masih membekas sampai sekarang. Penjelasan yang diberikan Arga pun juga terdengar lantang, namun siapa sangka jika Arga menceritakan itu sambil menahan air matanya. Jangan lupakan bahu Arga yang sedikit bergetar ketika menceritakan itu semua.

Ternyata, seorang ketua geng motor ini juga mempunyai masa lalu yang kelam.

Di tinggal oleh seorang Ibu memang menyedihkan, apalagi ditambah Ibu-nya tidak menginginkan kehadiran anaknya, itu sungguh lebih menyedihkan. Hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu, rasanya seperti hidup tanpa rumah. Kosong dan Hampa.

Setelah selesai mendengarkan cerita dari Arga, Ara tersenyum hangat sambil memegang bahu Arga. "Pasti rasanya sakit banget, ya? Gue sangat mengerti gimana perasaan lo sekarang, rasa trauma yang lo simpan bertahun-tahun. Kita sebagai manusia memang nggak pernah tau tentang takdir kehidupan itu gimana, tapi dengan itu semua, bisa membuat kita jadi lebih siap lagi buat menjalankan hidup."

"Ga, semua orang punya kisah hidup masing-masing. Lo cuman perlu terima semua yang udah terjadi di kehidupan lo itu, kita juga nggak bisa menghindar atau mengelak semuanya. Dan lo tau? Dengan ujian yang lo alami waktu itu, pasti Tuhan sudah menyiapkan sesuatu kebahagiaan buat lo. Lo harus tau, di setiap ujian yang Tuhan kasih, pasti ujungnya selalu ada hadiah bahagia disana." lanjut Ara kembali berbicara.

Tatapan Arga terus fokus menatap mata Ara. Mendengarkan apa yang dikatakan olehnya.

"Jadi, mulai sekarang lo nggak perlu menyalahkan diri sendiri atas apa yang semuanya terjadi, lo hanya perlu menerima dan yakin bahwa setelah ini lo pasti bisa dapetin kebahagiaan yang jauh lebih baik." perlahan satu tangan Ara terulur memegang kepala Arga, lalu mengusapnya pelan.

ARGA [END]Where stories live. Discover now