Wonder Rose

113 12 3
                                    

Rose masih menggerutu seolah orang yang dikiriminya chat sejak lima belas menit lalu bakal otomatis membalas katalknya.

"Aku rasa dia pura-pura nggak dengar kita."

Dia baru saja melewati gang kecil saat menangkap suara seseorang. Dia nggak berniat menguping awalnya tapi ada yang nggak beres dari obrolannya.

"Babi sialan kau bakal mati kalau nggak berhenti disitu."

kemudian Rose  dengar suara beberapa langkah kaki.

"A.. aku mohon biarkan aku pulang. Kau sudah manggangguku di sekolah."

Rose akhirnya mengintip. Ada tiga siswa SMA di bawah tiang telepon, seorang lagi yang Rose yakini korban perundungan itu menunduk di hadapan dua bocah kerempeng sialan yang baru saja menamparnya.

"Hei, gendut! Kau berani ngomong ya sekarang."

Kepala Rose rasanya mau meledak karena marah. Tanpa pikir panjang dirinya meraih batu bata yang ditemukannya di bawah gerbang rumah orang.

Cekrek.

Bunyi kamera ponsel dan nyala flash praktis menarik perhatian mereka.

"Oh, jadi kalian pengganggu adikku." Rose menunjukkan ponselnya sambil menimang batu bata di tangan satunya.  Gatal sekali kepengin menimpuk bocah yang kini memandangnya syok.

"Aku sudah mengirim video kalian ke dinas pendidikan. Kalian nggak usah ke sekolah besok." Katanya setenang mungkin. Aktingnya harus bagus. "Dik, sini!"

Bocah yang ketakutan sekaligus kaget itu menoleh.. melirik dua bocah di depannya namun bergerak was-was mendekati Rose. Keduanya masih kaku ditempat tapi jelas ketakutan setengah mampus karena ancaman Rose.

"Ah, aku juga mempostingnya di twitter."

Wajah mereka makin pasi, saling berpandangan lalu melarikan diri.  Rose nggak tinggal diam dia betulan melempar batu batanya, salah satunya kena tepat di punggung tapi seolah nggak peduli bocah itu  buru-buru menyelamatkan diri.  Rose mendadak kaku. Nggak berniat mengejar. Dia marah. Bayangan bocah-bocah malang yang mereka ganggu membuatnya kesal setengah mati.

"Lain kali bakal ku potong tangan kalian!" Teriaknya.

Sementara bocah di belakangnya mendekat perlahan, disaat yang sama Rose menoleh dan ekspresinya berubah khawatir.

"Bocah berandalan." Desisnya menemukan beberapa kancing seragam siswa bername tag Da Ran itu lepas. "mereka memukulmu juga?"

"Aku baik-baik saja, Noona. Terima kasih sudah membantuku."

Rose tiba-tiba saja menangis kencang.

"Mereka mengganggumu tiap hari bagaimana kau baik-baik saja." Tangisnya makin kencang membuat Da Ran kebingungan.

"Rosie."  Cowok tinggi berkaos hitam tiba-tiba datang dengan panik. Rose tambah nangis nggak keruan begitu melihat pacarnya.

"June..

"Hey, kau kenapa?" Meskipun sia-sia menanyai ceweknya yang lagi menangis, dirinya mustahil nggak cemas.  Mata tajam June lantas  melirik bocah di sebelahnya. "Apa yang terjadi?"



                                     ***





       "Sekali lagi terima kasih. " Da Ran membungkukan setengah badannya pamit begitu keluar dari mobil June.  Atas permintaan sekaligus rengekan ceweknya, mereka mengantar Da Ran pulang.

"Nggak capek nangis terus? Kita kan sudah mengantarnya, Rose." June menghela napas. 

"Aku juga nggak mau nangis tahu."

June nyengir, tangannya mengelus kepala Rose gemas.

"Tadi itu keren kok."

"Kau sih nggak datang tepat waktu. Kau kan bisa menghajar mereka dulu."

Nggak buru-buru menjawab sebab June menyalakan mobilnya.

"Kurasa melaporkan tindakan mereka juga lebih baik."

"Hah? Lapor siapa?"

"Tadi anak itu bilang kau lapor ke dinas pendidikan."

Rose sudah berhenti menangis, tapi masih sesenggukan. "Aku cuma ngancam doang."

June menatapnya tak percaya.

"Aku akan melakukannya nanti di rumah. Kalau tadi mana sempat." Rose mengambil ponselnya, sibuk sendiri. "Aku mau mempostingnya dulu di twitter."


June mendesah tawa. "Astaga."

"Kenapa?"

"Tidak."

Mereka nggak bicara lagi habis itu tapi nggak lama June duluan ngomong meskipun matanya masih lurus ke jalanan.

"Jangan takut."

Setelah itu Rose merasakan hangat tangan June yang menggenggamnya.  Astaga. Rose sendiri baru sadar dirinya menangis karena ketakutan.
Bocah yang ditimpuknya nggak mati kan?



Fin.


Nggak kepikiran apa2 pas ngetik ini cuma pengen nulis.. makanya Junenya agak melenceng dan kerasa banget maksain nulis. Ngedit aja males gusti tapi aslian pengen terus ngisi work ini biar gak berdebu. 

JUNES n ROSESWhere stories live. Discover now