Amateur

508 41 7
                                    

Jam empat sore, ketika hujan sudah benar-benar reda, aku duduk di samping kemudi, membiarkan Ghani membawaku ke pameran. Lagi-lagi, aku memakai bajunya. Aku numpang mandi lagi di kamar mandi mewahnya. Kali ini ada aroma terapi yang menguarkan aroma sereh. Bikin makin betah untuk mandi lama-lama. Tapi Ghani tidak membiarkanku untuk terus bersemedi di bawah pancuran air hangat dan aroma sereh yang menenangkan. Aku tidak boleh bersembunyi di kamar mandi, katanya.

Pandanganku menerawang langit yang sudah tidak lagi menjatuhkan butiran sejuknya itu. Aku penasaran, apa yang sedang mengintaiku di balik para awan dan atmosfer bumi ini. Hati kecilku menjerit-jerit tak karuan "culik aku! Ayo culik aku!"

Aku menoleh pada Ghani yang sedang asik menyetir. Lelaki ini memang dingin. Tapi tampan. Aku tahu, yang suka padanya banyak. Dia malah suka padaku. Dasar Ghani. Dan aku tidak pernah menyadari kalau ternyata Aurora dekat dengan Ghani. Aku juga tidak pernah tau kalau Rama juga ada kaitannya dengan Aurora. Bahkan aku merasa Lana juga menyembunyikan beberapa hal dariku. Ah. Aku jadi berpikir, sebenarnya aku ini bermakna apa bagi teman-temanku? Mengapa mereka menyembunyikan hal-hal penting ini dariku? Mereka tau sesuatu dan hanya aku yang tidak. Apa selama ini aku dikelilingi para penipu? Apa aku terlalu payah terjebak pada sandiwara yang bahkan aku tak memiliki peran di dalamnya?

Kami menghabiskan perjalanan tanpa kata-kata. Hanya suara radio dengan volume pelan yang mengisi kekosongan. Jarak yang memang tidak terlalu jauh, jadi terasa makin dekat. Karena aku tiba-tiba diharuskan turun semenjak Ghani mematikan mesin mobil dan membuka kunci pintu.

"Ayo Kat, jangan biarkan seniman menghilang saat pameran."

Aku menghela napas kasar. Ucapan Ghani mendorongku pada realita. Lari dari masalah memang bukan pilihan baik. Ghani terus berjalan di sisiku sampai kami masuk ruang pameran. Saat aku menoleh padanya untuk terus minta ditemani, ternyata dia menghilang. Meninggalkan aku yang berdiri kaku dengan tatapan menyapu seluruh ruangan.

Di dekat sekat papan yang memajang lukisan dedaunan berembun di tengah cangkir-cangkir teh, aku melihat sosok yang amat kukenal.

Ada Fera di sana, sedang mengobrol dengan seseorang. Rama. Lelaki itu kemudian menyadari kedatanganku dari jauh lalu dia perlahan memundurkan langkah dan pergi meninggalkan Fera yang langsung berbelok arah untuk pergi. Sayangnya, dia menemukan mataku dan menghentikan gerakan kakinya.

"Kat."

"Rama kemana? Eh, Bram-mu maksudnya."

"Hah." Fera menarik semua lelahnya dalam satu tarikan napas panjang. "Tidak tau."

————————

Fera POV

Semalam, Lana memang sengaja mengajak Katina untuk pulang duluan. Rama mau bicara padaku, katanya. Tidak lama setelah mereka pulang, aku dan Rama berpindah tempat ke rumah temannya. Dia memang jarang di kosan. Sekalinya di kosan hanya membuat berantakan dan tidak pernah ada niatan untuk bersih-bersih.

Rama kembali melontarkan permintaannya. Urusan tanah yang kemarin sudah selesai. Aku membatalkannya. Membuat dia semakin marah. Aku tidak pernah melihat Rama semarah itu. Dia bilang aku sudah mempermainkannya. Tentu aku balik marah padanya. Dia sudah mengacaukan hari-hariku belakangan ini.

Lalu dia semakin membuatku seram. Tatapannya tidak pernah sebengis itu. Giginya gemeratakan menahan emosi. Di rumah itu sepi. Aku tidak tahu kemana temannya pergi atau setidaknya jika ada penghuni lain di rumah itu, jelas mereka semua tidak ada. Atau mereka memilih untuk bersembunyi dan menghindari pertikaian kami.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Oct 25, 2020 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Art TradeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora