Aurora

793 95 26
                                    

Mataku menyipit. Matahari sudah mulai mengendap-endap menyinari isi ruang kamar Fera yang rapi. Aku masih merasakan tangan Fera yang melingkar di pinggangku. Kepalanya masih bersandar di punggungku. Posisi tidur kami tidak banyak berubah dari terakhir mataku terjaga di tengah malam.

Jika ada yang berharap terjadi sesuatu semalam di kasur ini, sayang sekali jawabannya adalah: hanya terjadi ciuman panas yang berakhir pada pelukan pengantar tidur.

Aku bergerak perlahan untuk beranjak dari kasur, sebisa mungkin tidak membuat Fera terbangun. Hari ini kami tidak ada jadwal mata kuliah namun biasanya kami akan pergi ke perpustakaan sebelum tengah hari untuk mulai membuat proposal tugas akhir atau sekedar mencari bahan. Tapi semenjak Ghani menjadi penghuni setia perpustakaan yang selalu duduk di kursi dekat rak seni rupa, aku jadi menghindari gedung penuh rak-rak buku itu.

Kamar Fera tidak terlalu luas. Ukuran kamar kontrakan standar dengan kamar mandi dalam. Aku sudah menganggap kamar kontrakan Fera adalah kamarku dan dia pun telah menganggap kamar kontrakanku sebagai kamarnya. Berbeda dengan kamar Lana yang jarang dikunjungi dan terlalu rapi serta aneh untuk kumasuki. Juga kamar Rama yang teramat berantakan dan tidak nyaman untuk didatangi. Aku tidak pernah ke tempat Ghani. Dia asli penghuni kota ini dan dia tinggal di perumahan elit yang setiap gerbangnya dijaga beberapa satpam berseragam lengkap dan gagah. Belum ada dari kami yang pernah mampir ke rumah Ghani yang katanya megah. Entah desas-desus dari mana tapi seangkatan kami sepakat tentang isu tersebut dan Ghani tidak memberikan komentar apapun tentang itu.

Aku berjalan mendekati jendela yang langsung menatap langit pagi Kota Bandung yang agak mendung. Cuacanya sangat menggodaku untuk kembali berbaring dan berselimut dengan manis. Kamar Fera ada di lantai tiga dan punya pemandangan yang oke. Genting-genting merah bata dan beberapa bangunan eksentrik di sekitar pemukiman di tambah beberapa pohon yang mencuat dan langit yang indah membuat jendela Fera memiliki pemandangan magis di beberapa waktu tertentu.

"Babe?"

"Pagi Fer." Aku memutar badan, agar bisa menatapnya dengan nyaman.

"Kamu sedang apa di sana? Kemari." Suaranya serak dan berat. Dia menepuk-nepuk permukaan kasur di sisinya. Aku menurut saja dan kembali berbaring di sana dan Fera langsung memelukku seperti guling.

"Kat?"

"Hem?"

"Kemarin kita jadi sepasang kekasih sungguhan. Itu bukan mimpi, kan?"

Aku memiringkan tubuhku agar bisa bertatapan langsung dengan wajahnya. Kupandangi wajah manis itu dengan gemas. Bukannya menjawab dengan kata-kata, aku justru mencium pucuk hidung mancungnya. Lalu menciumi pipinya.

"Ih, bukannya menjawab pertanyaanku," dia memberengut kesal dengan wajah yang sebagian warnanya masih tersangkut di alam bawah sadar.

Aku menjawab lagi dengan kecupan manis di bibirnya. Kini wajah bantalnya berhiaskan rona merah di pipinya. Ferrariku ini memang menggemaskan. Setiap lelaki yang pernah memilikinya pasti merasa beruntung.

"Kat!" Dengan gerakan kilat dia mengubah posisi bantal yang tadinya dia jadikan alas kepala menjadi tameng untuk menutupi wajahnya.

Aku tertawa. Ferrariku malu setelah kucium. "Mau ke kampus hari ini?"

Fera menggeleng. Setidaknya itu yang aku kira karena bantal yang masih dia pegang erat bergerak naik turun berulang kali.

"Kalau makan siang di kantin kampus, mau? Aku sedang ingin makan fillet ikan di sana."

Fera melepas tameng bantalnya, "mau!"

"Oke, jam sebelas kita ke kampus ya." Aku memeluknya. Kami jadi saling peluk. Kepala Fera bersembunyi di leherku, sesekali bergerak membuat hembusan napasnya terasa begitu menggelitik. Cuaca pagi ini begitu mendukung kami untuk saling berbagi kehangatan seperti ini. Nyaman sekali.

Art TradeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang