Shadow

393 58 26
                                    

Cahayanya meninggi. Setiap orang yang melihatku jelas tidak akan tahu kalau aku yang duduk sendirian di sini sedang setengah mati menahan gelisah dan marah. Aku tidak pernah ikut campur masalah orang lain, begitu ingin tahu tentang kehidupan orang lain sebegininya, pada orang yang tidak aku kenal. Urusannya dengan mereka apa? Apa sih yang mereka mau?

Aku marah pada orang-orang yang ikut menghakimi tanpa tau apa-apa.

Tapi biarlah, biar emosi ini terkubur sejenak dibalik betapa khidmatnya aku meneguk segelas double espresso yang agak asin. Cukup menyiksa lidah sih sebenarnya. Ini ekstraksi espressonya bagaimana, sih? Nyiksa amat. Sampai aku minum sedikit demi sedikit. Namun, rasa asin itu tetap tidak bisa mengalahkan kesalku saat ini. Benar-benar tidak seberapa.

Jadi kalau baristanya tidak sengaja lihat ekspresiku yang sedikit mengernyit tidak santai, dia mesti tahu kalau kopinya agak bermasalah.

Bahkan kini aku merasa dipermainkan oleh secangkir kopi.

Sketch itu tersebar. Dibubuhi kalimat yang bikin sakit kepala. Sketch buatanku yang ditukar dengan sketch Aurora. Pun sketch yang Aurora buat.

Aku tidak tahu bagaimana sketch itu bisa dengan enaknya mampir ke pandangan mata orang-orang. Sketch itu tersebar! Padahal aku sudah membuang kertas itu, dan hasil scannya aku simpan sendiri, bahkan belum kusentuh lagi. Astaga, bagaimana bisa gambar itu menyebar? Ditambah dengan kalimat-kalimat mengesalkan itu?! Oke, dan aku terus mengucapkan hal ini berulang-ulang.

Pagi ini, ada kelas. Aku benar-benar tidak fokus. Bukan karena mata kuliahnya. Tapi tatapan sepanjang waktu dari setiap orang yang melihatku. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi memang benar-benar ada yang menegurku. Terang-terangan, di depan mataku, di depan orang lain, dia menunjukkan foto di ponselnya dan membacakan caption dengan lantang.

Tahu bagaimana rasanya saat pertama kali lihat dan baca tulisan itu? Lalu mendapati tatapan-tatapan jijik hingga benci dari orang-orang? Rasanya dadamu mendadak terasa perih sesaat, sakit. Seakan jantung kehilangan kemampuannya untuk sepersekian detik. Apalagi melihat sosok berhijab syar'i yang menatapimu dengan tatapan yang menyiksa hati. Kukira pakaian semacam itu bisa menjamin, setidaknya, sedikit saja penyampaian baik dalam berkomentar dan bereaksi terhadap informasi apa yang dia dapati tanpa menyakiti perasaan orang lain. Walau secara tidak langsung.

Pintu kedai terbuka. Tanpa mesti memperhatikan dengan seksama, aku langsung tau siapa yang datang. Aroma apel yang samar, warna rambut yang berbeda dari lainnya, gestur rupawan dan langkah yang begitu tegap. Dia kini duduk di hadapanku, memangku kedua sikunya di meja. Pagi tadi dia lebih dulu meninggalkan kelas. Ada perlu katanya, dan aku pun meninggalkan dia dengan pergi ke tempat ini. Dan kini, dua jam lebih setelah aku kemari, Fera baru terlihat lagi.

"Kamu ingin aku membunuhnya?"

Aku terlonjak. Kilatan di mata Fera membuatku yakin kalau apa yang baru saja diucapkan perempuan itu adalah kalimat serius.

"Atau melenyapkannya? Membuangnya?"

"Fer, dia manusia."

"Sejak kapan kamu sepeduli itu dengan manusia sampah?"

Oke, Fera sedang emosi. Ini bukan pertanda baik, aku harus lebih bisa tenang. Aku meneguk isi gelasku yang tersisa. Pih, asin. "Tunggu, berarti kamu tahu siapa orangnya?"

"Perempuan itu pasti terlibat, Kat."

Aurora. Pasti yang dia maksudkan adalah Aurora.

"Fer, kamu yakin? Bisa jadi dia....."

"Kamu jangan membela perempuan itu. Aku tau kamu nggak ingin dia dijadikan tersangka di sini, tapi menurutmu kalau dia nggak ikut dalam hal ini, gimana bisa sketsa itu menyebar, Kat? Hem? Kamu terlalu baik sama dia. Kamu nggak kenal dia itu siapa. Kamu nggak tau siapa orang-orang di sekitar dia."

Art TradeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang